PIRAMIDA.ID – Langkah Kapolda Metro Jaya, Irjen Asep Edi Suheri, yang menggandeng para pedagang kopi keliling (Starling) sebagai mitra Polri, patut diapresiasi sebagai kebijakan progresif yang membumi. Di tengah tantangan menjaga ketertiban ibu kota, Irjen Asep justru menegaskan bahwa keamanan bukan monopoli aparat, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh warga negara.
Kebijakan ini mencerminkan bentuk nyata community policing konsep kepolisian yang humanis, partisipatif, dan berakar dari masyarakat. Dengan melibatkan Starling sebagai “mata dan telinga” Polri, Kapolda tidak sedang menginstrumentalisasi rakyat kecil, melainkan mengakui eksistensi mereka sebagai bagian dari sistem sosial yang hidup dan dinamis.
Sebagian pihak mungkin menilai langkah ini berlebihan, bahkan tak lazim. Namun kritik semacam itu lahir dari pandangan elitis yang gagal memahami esensi keamanan modern: bahwa rasa aman tumbuh dari kepercayaan dan partisipasi, bukan dari jarak dan sekat. Di jalan-jalan kota, Starling adalah saksi kehidupan; mereka tahu denyut, arus, dan perilaku masyarakat. Justru di sanalah Polri menemukan mitra sejati.
Langkah Irjen Asep adalah wujud dari nilai Pancasila sila ketiga, Persatuan Indonesia. Ia menyatukan aparat dan rakyat dalam semangat gotong royong menjaga ketertiban. Di sisi lain, kebijakan ini juga mengandung nilai keadilan sosial, karena memberi peran bermakna bagi mereka yang kerap terpinggirkan.
Dalam pandangan saya, inilah wajah Polri yang ideal: tegas dalam penegakan hukum, namun hangat dalam merangkul rakyat. Kapolda Metro Jaya tidak sedang membuat kebijakan populis, melainkan menghidupkan ruh solidaritas yang lama hilang di tengah birokrasi dan jarak sosial.
“Ketika rakyat dan aparat bersinergi, hukum bukan lagi sekadar aturan, tapi menjadi cermin moral bangsa,” demikian Antony menegaskan.
Dengan kebijakan ini, Kapolda Asep Edi Suheri bukan hanya menjaga keamanan, tetapi juga menjaga kepercayaan, modal utama yang tak ternilai bagi setiap institusi penegak hukum.