PIRAMIDA.ID-Tragedi meninggalnya seorang pengemudi ojek online setelah terlindas mobil rantis milik aparat keamanan dalam pengamanan demonstrasi, kembali menelanjangi wajah buram praktik kepolisian di Indonesia. Peristiwa ini tidak bisa dianggap sebagai kecelakaan lalu lintas biasa. Ia adalah potret kegagalan aparat dalam menghadirkan keamanan yang humanis, serta bukti bahwa negara masih abai dalam memenuhi kewajiban paling mendasar: melindungi hak hidup setiap warganya.
Insiden tersebut menimbulkan luka mendalam di masyarakat. Seorang warga yang tengah bekerja mencari nafkah justru kehilangan nyawanya akibat kelalaian dan kesembronoan aparat. Ketika kendaraan taktis yang seharusnya digunakan untuk melindungi dan mengatur situasi justru menjadi penyebab kematian, maka kita dihadapkan pada fakta pahit: pendekatan keamanan yang dijalankan negara tidak berorientasi pada keselamatan rakyat, melainkan pada demonstrasi kekuasaan.
Gagal Totalnya Reformasi Polri
Sejak era reformasi 1998, Polri dijanjikan sebagai institusi sipil yang profesional, humanis, dan akuntabel. Pemisahan Polri dari ABRI kala itu dimaksudkan untuk merombak kultur lama yang militeristik, represif, dan sarat dengan kekerasan. Namun, lebih dari dua dekade berjalan, janji itu semakin kehilangan makna. Tragedi demi tragedi menunjukkan bahwa reformasi Polri hanya berjalan di permukaan, sementara akar masalah tetap terpelihara.
Seorang ojol yang menjadi korban maut mobil rantis adalah bukti nyata gagalnya transformasi tersebut. Aparat masih terjebak dalam logika kekuasaan ketimbang pelayanan publik. Penggunaan mobil rantis di ruang padat sipil tanpa memperhitungkan risiko keselamatan adalah cermin dari SOP yang amburadul dan budaya institusi yang tidak berubah.
Kegagalan ini juga tampak dari cara Polri merespons berbagai tragedi serupa. Alih-alih membuka proses hukum transparan, kasus-kasus seperti ini sering direduksi menjadi “kelalaian teknis” yang hanya berujung pada sanksi administratif. Budaya impunitas yang melekat semakin mempertegas bahwa reformasi Polri tidak menyentuh persoalan mendasar. Aparat yang semestinya menjadi pelindung, justru sering kali berubah menjadi ancaman nyata bagi keselamatan sipil.
Kultur kekerasan yang diwarisi dari masa lalu tidak pernah benar-benar ditinggalkan. Polri masih memelihara wajah represifnya: dari tragedi Kanjuruhan, berbagai kasus penembakan, hingga peristiwa ini. Semua membuktikan bahwa institusi ini gagal menginternalisasi paradigma HAM dalam setiap lini kerja. Dengan kondisi demikian, wajar bila publik mempertanyakan relevansi dan arah reformasi Polri yang selama ini dijanjikan.
Pelanggaran HAM yang Sistematis
Dari perspektif hak asasi manusia, IJLS menilai bahwa peristiwa ini adalah pelanggaran serius. Hak untuk hidup adalah hak fundamental yang dijamin oleh UUD 1945 dan berbagai instrumen internasional yang telah diratifikasi Indonesia, seperti Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Hak tersebut bersifat non-derogable: tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, bahkan dalam kondisi darurat.
Namun kenyataan di lapangan berbicara lain. Aparat negara justru menjadi pihak yang merenggut hak hidup seorang warga sipil. Ketika seorang pengemudi ojol yang sedang mencari nafkah kehilangan nyawanya akibat kelalaian penggunaan mobil rantis, maka negara telah gagal memenuhi kewajiban konstitusionalnya.
Selain pelanggaran hak hidup, tragedi ini juga melanggar hak atas rasa aman sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G UUD 1945. Warga sipil seharusnya terlindungi dalam setiap aktivitas di ruang publik, bukan justru terancam oleh kehadiran aparat. Prinsip proporsionalitas dalam penggunaan kekuatan, yang merupakan standar internasional dalam penegakan hukum, sama sekali diabaikan.
Peristiwa ini bukan insiden tunggal, melainkan bagian dari pola sistematis di mana aparat kerap mengabaikan HAM dalam praktik pengamanan. Dari cara mengelola aksi unjuk rasa, penggunaan senjata, hingga penggunaan kendaraan taktis, semuanya memperlihatkan absennya perspektif HAM. Pola ini mengindikasikan adanya state negligence atau kelalaian negara yang berulang, dan dalam konteks hukum HAM internasional, kelalaian semacam ini dapat dianggap sebagai pelanggaran HAM oleh negara.
IJLS menegaskan bahwa tragedi ini tidak boleh dipandang sebagai kecelakaan biasa. Peristiwa ini adalah pelanggaran HAM yang nyata dan kegagalan negara dalam menjamin keselamatan warganya.
Tragedi ojol korban mobil rantis harus menjadi titik balik. Negara tidak bisa lagi bersembunyi di balik alasan “situasi lapangan”. Selama pendekatan keamanan masih dikelola dengan logika kekuasaan dan bukan logika kemanusiaan, maka tragedi serupa hanya tinggal menunggu waktu untuk kembali terjadi.
IJLS menegaskan juga bahwa tragedi saat ini tidak cukup dijawab dengan sekadar permintaan maaf. Nyawa manusia tidak bisa ditebus dengan retorika. Permintaan maaf hanyalah formalitas tanpa arti jika tidak diikuti dengan pertanggungjawaban nyata.
Karena itu, IJLS mendesak :
– Presiden harus segera mencopot Kapolri sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kegagalan institusional yang berulang. Tanpa pergantian kepemimpinan, Polri akan terus gagal bertransformasi dan sepatutnya dibubarkan.
– Usut Tuntas dan Adili Aparat dan pihak yang bertanggung jawab harus diproses hukum secara transparan di pengadilan. Tidak boleh ada lagi penyelesaian tertutup atau sanksi administratif apalagi hanya minta maaf.
– Evaluasi Total Standar penggunaan mobil rantis, gas air mata dan peralatan taktis dalam pengamanan massa agar mengutamakan keselamatan sipil.
– Agenda reformasi Polri harus dihidupkan kembali, bukan sekadar slogan. Budaya represif harus digantikan dengan paradigma pelayanan berbasis HAM.
– Mekanisme pengawasan eksternal harus diperkuat agar praktik impunitas tidak terus berluang.(AFP)