PIRAMIDA.ID – Koordinator Wilayah II PP GMKI menyampaikan keprihatinan mendalam atas rangkaian kasus keracunan yang terjadi dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Sumatera Selatan, bersamaan dengan kondisi pendidikan yang semakin carut-marut di provinsi tersebut. Dalam beberapa bulan terakhir, publik dikejutkan oleh dua insiden keracunan massal yang melibatkan siswa sekolah dasar. Kasus pertama menimpa delapan siswa di Kabupaten Empat Lawang pada Februari 2025. Tidak lama berselang, peristiwa yang lebih besar terjadi pada 5–6 Mei 2025 di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), dengan jumlah korban awal 64 siswa dari lima sekolah, yang kemudian meningkat menjadi 121 siswa menurut Dinas Kesehatan Provinsi Sumsel, bahkan mencapai lebih dari 170 siswa menurut sejumlah laporan lain. Pemerintah daerah akhirnya menghentikan sementara distribusi MBG di wilayah tersebut. Namun hingga kini belum ada transparansi hasil uji laboratorium, penjelasan teknis yang utuh, maupun pertanggungjawaban jelas dari pihak mana pun terkait rantai produksi, kebersihan pengolahan, hingga distribusi makanan kepada anak-anak sekolah.
Menurut Koordinator Wilayah II PP GMKI, fakta bahwa dua insiden besar terjadi dalam rentang waktu begitu dekat menunjukkan bahwa persoalan MBG bukanlah kecelakaan tunggal, melainkan indikasi serius atas lemahnya tata kelola program. Celah sanitasi, standar keamanan pangan yang tidak dipenuhi, proses distribusi yang tidak layak, hingga ketiadaan mekanisme pengawasan yang ketat membuka ruang risiko yang akhirnya mengorbankan kesehatan anak-anak. Dalam rilis ini, Dwiki Simbolon selaku Koordinator Wilayah II PP GMKI menegaskan bahwa negara telah gagal menjalankan prinsip kehati-hatian dalam program sebesar MBG. “Kita tidak sedang membicarakan komoditas biasa; kita sedang bicara soal makanan yang masuk ke tubuh anak-anak. Dua kali keracunan dalam waktu singkat bukan hanya alarm, tetapi bukti kelalaian struktural. Negara tidak boleh bermain-main dengan keselamatan warganya, apalagi anak sekolah,” tegas Dwiki.
Lebih jauh, Dwiki menilai bahwa kegagalan MBG tidak dapat dilepaskan dari kondisi pendidikan di Sumatera Selatan yang memang sudah berada dalam keadaan rapuh. Sekolah-sekolah di berbagai daerah masih menghadapi kesenjangan sarana yang parah, angka putus sekolah yang mengkhawatirkan, pemerataan guru yang minim, serta praktik pungli dan komersialisasi pendidikan yang terus terjadi. Manipulasi PPDB, intervensi politik dalam mutasi kepala sekolah, hingga diskriminasi akses bagi keluarga kurang mampu menjadi realitas yang merusak fondasi sistem pendidikan. Dalam konteks inilah tragedi keracunan MBG dan carut-marut dunia pendidikan Sumsel saling berkelindan: satu menunjukkan kegagalan negara menjaga keselamatan anak, sementara yang lain memperlihatkan kegagalan negara membangun masa depan mereka.
Dwiki Simbolon menegaskan bahwa pembenahan tidak boleh dilakukan setengah hati. “GMKI Wilayah II mendesak pemerintah untuk melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh proses MBG dan memastikan transparansi di setiap tahapnya. Selain itu, kami juga menuntut perbaikan fundamental dalam tata kelola pendidikan. Tidak ada artinya memberi makan anak jika pada saat yang sama sekolah mereka miskin fasilitas, guru tidak terlindungi, dan akses pendidikan dijadikan barang dagangan,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa pembangunan manusia tidak dapat direduksi menjadi proyek populis atau program sesaat, melainkan membutuhkan kerja struktural, keberanian moral, dan komitmen jangka panjang.
Karenanya, Koordinator Wilayah II PP GMKI menegaskan bahwa keselamatan dan masa depan anak-anak Sumatera Selatan harus ditempatkan di pusat setiap kebijakan. Program MBG tidak boleh hanya menjadi simbol kepedulian, tetapi harus dilaksanakan dengan standar dan pengawasan yang ketat. Hal yang sama berlaku untuk pendidikan: ia tidak boleh dibiarkan menjadi arena pungli atau alat politik, melainkan harus dipulihkan sebagai ruang pembebasan yang menjunjung martabat manusia. Dalam penutup rilis, Dwiki Simbolon menyampaikan, “Anak-anak Sumsel berhak mendapatkan gizi yang aman dan pendidikan yang bermartabat. Dua hal ini tidak bisa dipisahkan, tidak bisa dipertentangkan. Negara wajib hadir secara utuh, bukan sekadar lewat slogan, tetapi melalui kebijakan yang berintegritas dan berpihak pada rakyat.”
GMKI mengajak seluruh elemen masyarakat, orang tua, guru, mahasiswa, akademisi, hingga pemerintah,untuk bersama-sama mengawal perbaikan ini. Tragedi keracunan dan krisis pendidikan bukan hanya statistik; keduanya adalah cermin dari arah pembangunan yang keliru. Hanya dengan transparansi, pengawasan ketat, dan keberanian memperbaiki kesalahan, Sumatera Selatan dapat memastikan bahwa generasi mudanya tumbuh sehat, cerdas, dan terlindungi.












