PIRAMIDA.ID – Institut Rumah Keadilan Indonesia (IRKI) menilai pernyataan mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra M. Hamzah, sebagai bentuk penyimpangan tafsir hukum. Pernyataan Chandra soal pedagang pecel lele yang bisa dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dinilai keliru secara konseptual dan membahayakan perlindungan hukum bagi warga sipil.
Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Mahkamah Konstitusi (MK). Perkara ini tercatat dalam nomor 142/PUU-XXII/2024.
Koordinator IRKI, Fa’ahakho Dodo Zebua, menegaskan bahwa perluasan tafsir terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor harus dibatasi secara ketat. Ia menyebut penafsiran yang terlalu jauh justru berpotensi mengaburkan arah penegakan hukum.
“Pernyataan itu mencerminkan pendekatan hukum yang menyesatkan. Tafsir atas norma pidana tidak boleh dibangun dari asumsi ekstrem yang menjauh dari konteks pembentukannya. Hukum pidana harus tunduk pada asas lex stricta,” ucap Fa’ahakho Dodo kepada wartawan piramida, Minggu, (22/06) di Kuningan Jakarta Selatan.
Dalam sidang tersebut, Chandra menyampaikan kekhawatiran atas multitafsir pasal-pasal Tipikor. Ia memberi ilustrasi bahwa pedagang kaki lima yang menggunakan trotoar tanpa izin dapat dianggap merugikan keuangan negara, dan dengan demikian bisa dikenai sanksi pidana korupsi. Menurutnya, contoh itu menunjukkan betapa luas dan kaburnya norma yang sedang diuji.
Namun bagi IRKI, contoh semacam itu justru berbahaya. Menurut Zebua, UU Tipikor adalah hukum pidana khusus yang ditujukan untuk menangani penyalahgunaan kekuasaan dalam kerangka penyelenggaraan negara. Ia menilai tidak relevan jika perangkat hukum ini diarahkan kepada masyarakat yang tidak memiliki relasi dengan kekuasaan.
“UU ini tidak dibuat untuk menjerat penjual makanan di pinggir jalan. Tafsir seperti itu bisa mengarah pada kriminalisasi warga miskin yang tidak punya kuasa atas ruang kota,” tuturnya.
Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, turut menanggapi pernyataan tersebut. Ia memastikan bahwa aktivitas pedagang kaki lima tidak memenuhi unsur delik dalam UU Tipikor karena tidak ada penyalahgunaan wewenang maupun kerugian negara yang dapat dibuktikan secara nyata.
“Itu terlalu jauh. Tidak bisa dikenakan Tipikor,” ujar Johanis seperti di kutip dari detik, Jumat (20/6).
IRKI mengingatkan bahwa norma pidana tidak boleh diterapkan secara analogis. Prinsip nullum crimen sine lege certa mengharuskan rumusan norma pidana dibuat secara jelas, tegas, dan terbatas. Tanpa kejelasan itu, hukum pidana bisa berubah menjadi alat represif bagi kelompok lemah.
“Kalau pasal-pasal ini terus dibiarkan multitafsir, maka bisa saja hukum digunakan untuk menjerat rakyat kecil yang tidak paham prosedur, sementara koruptor justru lolos lewat celah tafsir,”imbuhnya.
Ia menegaskan bahwa subjek hukum dalam UU Tipikor adalah mereka yang menjalankan fungsi kekuasaan publik, baik secara struktural maupun fungsional. IRKI menilai tidak semua pelanggaran administratif dapat serta-merta dikualifikasikan sebagai tindakan korupsi, apalagi jika pelakunya bukan bagian dari institusi negara.
“Pedagang tidak memiliki jabatan publik, tidak mengatur anggaran negara, dan tidak punya kewenangan hukum. Maka sangat keliru jika mereka diposisikan sebagai pelaku tindak pidana korupsi,” tandasnya.
Perdebatan soal batas tafsir UU Tipikor kembali mencuat di tengah proses sidang yang masih bergulir di Mahkamah Konstitusi.
Di saat semangat pemberantasan korupsi makin tinggi, tafsir hukum yang mengambang justru membuka peluang kekeliruan dalam menempatkan siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab. MK kini dihadapkan pada pilihan menjaga ketat koridor hukum atau membiarkan ketidakpastian menjadi bagian dari praktik peradilan. (tim)