PIRAMIDA.ID – Pemerintah Provinsi Sumatera Utara di bawah kepemimpinan Gubernur Bobby Nasution mengeluarkan kebijakan baru yang menetapkan sekolah setara SMA masuk hanya 5 hari, dengan waktu belajar diperpanjang hingga pukul 16.00 WIB. Lebih lanjut, sesuai dengan surat himbauan Gubernur Sumatera Utara 400.3/6055/2025 dikirimkan ke seluruh Kabupaten/Kota untuk diterapkan pada jenjang PAUD, SD, dan SMP.
Kebijakan ini diklaim sebagai langkah untuk menekan angka tawuran dan penyalahgunaan narkoba. Namun, kami dari Institute Law And Justice (ILAJ) menilai bahwa kebijakan ini sangat keliru, tidak tepat sasaran, dan justru membebani peserta didik serta tenaga pendidik di Sumatera Utara. Kebijakan ini perlu dicabut atau ditinjau ulang, karena tidak sesuai baik dari perspektif hukum maupun pendidikan.
1. Perspektif Hukum: Kebijakan Gubernur Melewati Kewenangannya dan Berpotensi Melanggar Hak Anak
Kebijakan ini tidak berdasar pada kerangka hukum yang jelas. Dalam sistem pemerintahan, Gubernur sebagai kepala daerah provinsi tidak memiliki kewenangan langsung dalam menetapkan sistem belajar harian bagi satuan pendidikan di tingkat PAUD, SD, dan SMP. Hal itu menjadi ranah Pemerintah Kabupaten/Kota, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui peraturan-peraturan nasional.
Selain itu, kebijakan ini berpotensi melanggar hak anak atas perlindungan dan kenyamanan dalam proses pendidikan, sebagaimana diatur dalam:
• UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
• UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
• PP No. 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
Kebijakan memperpanjang jam belajar hingga pukul 16.00 Wib bukan hanya tidak berlandaskan hukum, tapi juga berpotensi menimbulkan kelelahan mental dan fisik bagi anak-anak, terutama pada jenjang SMA sederajat serta apa lagi untuk SMP, SD dan PAUD yang masih dalam fase tumbuh kembang.
2. Perspektif Pendidikan: Tambah Jam Bukan Solusi, Justru Menambah Beban
Dalam dunia pendidikan, kualitas tidak ditentukan oleh kuantitas waktu belajar semata, tetapi oleh kualitas pembelajaran, metode yang digunakan, dukungan infrastruktur, kesejahteraan guru, serta partisipasi orang tua dan komunitas.
Gubernur seharusnya tidak menyederhanakan masalah pendidikan hanya pada jam dan hari sekolah, karena persoalan pendidikan di Sumatera Utara jauh lebih kompleks dan mendalam. Di antaranya: 1. Banyak sekolah masih kekurangan guru tetap, terutama di daerah terpencil. 2. Fasilitas belajar tidak memadai, mulai dari ruang kelas, laboratorium, hingga perpustakaan. 3. Minimnya pelatihan dan peningkatan kapasitas guru. 4. Kurangnya akses pendidikan berkualitas di desa dan pinggiran kota. 4. Ketimpangan pendidikan antara kota dan kabupaten.
Gubernur Bobby Nasution sebaiknya tidak membuat kebijakan hanya untuk terlihat sedang bekerja, apalagi jika kebijakan itu justru semakin membuat peserta didik dan masyarakat menderita.
Langkah semacam ini bukan solusi terhadap tawuran atau narkoba. Masalah sosial remaja harus diselesaikan melalui pendekatan intersektoral yang menyeluruh, mulai dari pembinaan keluarga, pendidikan karakter, penguatan organisasi pelajar, hingga penegakan hukum yang konsisten terhadap peredaran narkoba.
3. Kebijakan Reaktif yang Mengabaikan Kajian Akademik dan Suara Masyarakat
Pendidikan adalah sektor strategis yang menyentuh jutaan peserta didik, guru, dan keluarga. Maka, setiap kebijakan pendidikan harus berbasis data, kajian akademik, dan dialog publik, bukan hanya berdasarkan asumsi dan langkah reaktif atas situasi sosial.
Kebijakan ini tidak mencerminkan adanya naskah akademik, uji publik, ataupun evaluasi dampak. Bahkan organisasi profesi guru, asosiasi orang tua, dan lembaga pemerhati pendidikan tidak dilibatkan. Ini bentuk pengambilan keputusan yang sepihak dan tidak demokratis.
Penutup dan Rekomendasi
Institute Law And Justice (ILAJ) menegaskan bahwa:
1. Kebijakan 5 hari sekolah hingga pukul 16.00 bukan solusi terhadap tawuran dan narkoba.
2. Kebijakan ini tidak punya dasar hukum dan melewati batas kewenangan Gubernur.
3. Secara pedagogis, kebijakan ini membebani peserta didik dan tenaga pendidik.
4. Persoalan pendidikan di Sumut lebih substansial daripada sekadar hitungan hari dan jam.
Maka, kami meminta Gubernur Sumatera Utara mencabut kebijakan ini dan mulai membenahi sektor pendidikan dengan pendekatan yang substansial, kolaboratif, dan partisipatif.
Sudah saatnya pemerintah daerah berhenti membuat kebijakan yang populis namun tidak menyelesaikan akar persoalan. Pendidikan tidak boleh dijadikan objek eksperimen, karena yang dipertaruhkan adalah masa depan anak-anak kita.
Fawer Full Fander Sihite, S.Th.,S.H.,MAPS
Ketua Institute Law And Justice (ILAJ)