Piramida.id
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy
Selasa, Juni 17, 2025
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
Piramida.id
  • Berita
  • Dialektika
  • Dunia
  • Edukasi
  • Ekologi
  • Ekosospolbud
  • Kabar Desa
  • Pojokan
  • Sains
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Spiritualitas
Home Dialektika

Polisi Virtual di Indonesia: Ciptakan Ketertiban atau Ancam Kebebasan Berekspresi?

by Redaksi
27/04/2021
in Dialektika
99
SHARES
709
VIEWS
Bagikan ke FacebookBagikan ke WhatsappBagikan ke Telegram

Laras Susanti & Wisnu Prasetya Utomo*

PIRAMIDA.ID- Sejak mulai aktif pada Februari, satuan tugas digital kepolisian Indonesia – kerap disebut polisi virtual – telah mengirim peringatan terhadap 200 konten media sosial yang diduga mengandung ujaran kebencian.

Kepolisian menyakini polisi virtual dapat mengatasi penyebaran konten yang mengandung hoaks dan kebencian, agar dunia maya negeri ini bersih dan bebas dari konten yang melanggar Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Menurut kami penggunaan polisi virtual tidak menjawab masalah karena masalah sebenarnya ada di UU ITE yang perlu direvisi.

Kehadiran polisi virtual justru menambah masalah baru. Alih-alih menciptakan ketertiban, mereka justru mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara.

Akar masalah

Munculnya polisi virtual berawal dari pernyataan Jokowi yang meminta masyarakat aktif menyampaikan kritik dan lalu melontarkan wacana revisi UU ITE yang akhirnya tidak direalisasikan juga.

Jokowi juga meminta Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) untuk lebih berhati-hati dalam menyikapi laporan warga terkait UU ITE dan dalam menerjemahkan UU itu. Pihak kepolisian kemudian menindaklanjuti dengan pembentukan polisi virtual yang tidak menjawab akar masalah UU ITE.

UU ITE memang kerap menjerat warga dalam kasus pidana.

Data Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara SAFEnet mencatat sampai dengan Oktober 2020, ada 324 kasus pidana terkait pelanggaran UU ITE.

Kasus saling melapor antar warga karena perilaku di dunia digital memang lumrah terjadi. Hanya saja, selama ini jerat UU ITE justru erat dengan relasi kuasa dalam masyarakat.

Permasalahannya terletak pada formulasi karet UU ITE; formulasi yang pada praktiknya dapat digunakan pihak yang lebih kuat menekan yang lebih lemah.

Jeffrey Winters, ilmuwan politik Amerika Serikat di Universitas Northwestern, Amerika Serikat, dalam orasi ilmiah tentang oligarki, demokrasi, dan supremasi hukum di Indonesia menyebut bahwa negara yang memiliki masalah supremasi hukum bukan berarti tidak ada hukum di tengah masyarakat.

Hukum berlaku bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, tapi utamanya mereka yang lemah, tidak bisa membuat mereka yang kuat untuk tunduk.

Sistem hukum tidak berdaya atau dirusak oleh orang yang berkuasa karena mereka punya kapasitas, sumber daya, atau koneksi untuk mempengaruhi penegakan hukum.

Situasi inilah yang terjadi dalam jerat UU ITE ke warga.

Masalah baru polisi virtual

Dari segi hukum, pembentukan polisi virtual sudah bermasalah.

Polisi virtual mulai aktif berdasarkan Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.

Namun, SE itu tidak secara jelas dapat menjadi dasar hukum pendirian polisi virtual.

Secara singkat, SE tersebut menggambarkan kondisi sosiologis Indonesia saat ini, dan bahwa penerapan UU ITE terkait pencemaran nama baik dan penghinaan tidak sejalan dengan hak kebebasan berpendapat di ruang digital.

Kepolisian, menurut surat itu, hendak menyediakan penegakan hukum yang adil bagi masyarakat.

Namun, dalam pelaksanaan kerjanya, polisi virtual ini bisa memunculkan dampak sebaliknya, yaitu keengganan atau ketakutan yang mengancam kebebasan berekspresi.

Tugas polisi virtual meliputi pemantauan unggahan-unggahan media sosial. Jika mereka menemukan unggahan yang mengandung unsur fitnah; suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA); atau hoaks; ujaran kebencian, mereka akan melakukan kajian.

Jika unggahan tersebut diputuskan sebagai sebuah pelanggaran, maka polisi akan menghubungi pelaku dan memberi peringatan untuk menurunkan unggahan. Jika pelaku tidak mematuhi, polisi akan melakukan pemanggilan.

Salah satu kasus yang mencuat melibatkan seorang warga Slawi, Jawa Tengah, yang diduga menyebarkan hoaks dalam komentar di media sosial tentang Gibran Rakabuming – Walikota Surakarta, Jawa Tengah, dan putra pertama Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Kewenangan ini sangat membingungkan.

Setelah kepolisian memutuskan suatu unggahan melanggar hukum, tidak ada mekanisme pembelaan diri untuk orang yang diduga mengunggah konten.

Pemilik akun tidak memiliki mekanisme untuk menguji keputusan tersebut.

Di titik inilah, organisasi masyarakat sipil khawatir polisi virtual justru dapat membuka ruang kesewenang-wenangan.

Salah solusi

Polisi virtual tidak menyelesaikan masalah UU ITE.

Kritik terhadap UU ITE yang sudah terjadi bertahun-tahun, maka jalan keluar sesungguhnya adalah upaya secara perundang-undangan – baik lewat revisi atau upaya lain terhadap UU ini.

Mencoba menghilangkan asap tanpa memadamkan api adalah usaha yang sia-sia.

Polisi virtual yang terlanjur aktif sekarang perlu dievaluasi. Sangat penting untuk memastikan pemilik akun yang diduga melanggar UU ITE memiliki kesempatan membela diri.

Dalam memverifikasi suatu konten, kepolisian perlu melibatkan perwakilan masyarakat sipil.

Tak kalah penting, kepolisian juga perlu memastikan polisi virtual diawasi dengan baik secara internal dan membuka ruang eksternal bagi masyarakat untuk terlibat.

George Orwell dalam novel klasiknya “1984” yang terbit pada 1949 sudah lama mengingatkan betapa berbahayanya ketika orang merasa terus-menerus diawasi tidak hanya dalam tingkah lakunya tetapi juga bahkan dari sejak dalam pikiran.

Dari sinilah kita lalu mengenal istilah Orwellian, kondisi saat kebebasan justru dirusak oleh kekuasaan dan regulasi yang berlebihan dan kejam dengan menggunakan pengawasan masif dan disinformasi.

Efeknya, orang akan semakin takut bersuara bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya wajar di negara demokratis. Ketakutan yang paling sering muncul adalah adanya upaya sensor diri dalam warga karena merasa terus-menerus diawasi oleh polisi.

Demokrasi mempersyaratkan terjadinya pertukaran opini dan argumen secara sehat dan rasional. Namun ketika prasyarat utama itu tidak terjadi, demokrasi bisa hanya tinggal nama.(*)


Source: The Conversation

Tags: #ite#kebebasanberekspresi#medsos#polisivirtual
Share40SendShare

Related Posts

Pidato Lengkap Jefri Gultom di Dies Natalis GMKI ke-74: Bangkit Ditengah Pergumulan

26/02/2024

Bangkit Ditengah Pergumulan Pidato 74 tahun GMKI Jefri Edi Irawan Gultom Para peletak sejarah selalu berpegang pada prinsip ini, ‘’perjalanan...

Pewaris Opera Batak

11/07/2023

Oleh: Thompson Hs* PIRAMIDA.ID- Tahun 2016 saya menerima Anugerah Kebudayaan dari Kemdikbud (sekarang Kemendikbudristek) Republik Indonesia di kategori Pelestari. Sederhananya,...

Mengapa Membahas Masa Depan Guru “Dianggap” Tidak Menarik?

01/05/2023

Oleh: Agi Julianto Martuah Purba PIRAMIDA.ID- “Mengapa sejauh ini kampus kita tidak mengadakan seminar tentang tantangan dan strategi profesi guru di...

Membangun Demokrasi: Merawat Partisipasi Perempuan di Bidang Politik

14/04/2023

Oleh: Anggith Sabarofek* PIRAMIDA.ID- Demokrasi, perempuan dan politik merupakan tiga unsur yang saling berkesinambungan satu dengan yang lain. Berbicara mengenai...

Dari Peristiwa Kanjuruhan Hingga Batalnya Indonesia Tuan Rumah Piala Dunia U-20

03/04/2023

Oleh: Edis Galingging* PIRAMIDA.ID- Dunia sepak bola tanah air sedang merasakan duka yang dalam. Kali ini, duka itu hadir bukan...

Prinsip-Prinsip Disiplin Kelas

02/04/2023

Oleh: Muhammad Muharram Azhari* PIRAMIDA.ID- Pengertian disiplin menurut Elizabeth Hurtock mengemukakan bahwa; Disiplin itu berasal dari kata "discipline", yaitu seseorang...

Load More

Tinggalkan KomentarBatalkan balasan

Terkini

Berita

Refleksi Hari Lahir Pancasila, Fawer Sihite: Kita Harus Dengarkan Hati Nurani Rakyat

01/06/2025
Berita

Kalah Sebagai Calon Ketua Umum, Fawer Sihite Pastikan Dukung Kepemimpinan Prima Surbakti dan Jessica Worouw di GMKI

28/05/2025
Berita

Aliansi Mahasiswa Siantar Se-Jabodetabek Akan Kepung Mabes Polri: Tuntut Penangkapan Wali Kota Wesli Silalahi

11/05/2025
Berita

Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH): Penegakan Hukum atau Alibi Militerisasi Atas Nama Konservasi?

09/05/2025
Berita

Ketua Front Justice: Kepemimpinan Wesly Silalahi Dinilai Gagal, Siantar Mengarah ke Kemunduran dan Kota Gelap

07/05/2025
Berita

GMKI Cabang Bandar Lampung Ungkap Krisis Kepolisian di Daerah Lampung: “Kekuasaan Tanpa Kendali, Rakyat Tanpa Perlindungan”

01/05/2025

Populer

Dunia

Sumber Air Bersih dan Air Minum di Arab Saudi

07/06/2020
Dialektika

Prinsip-Prinsip Disiplin Kelas

02/04/2023
Berita

Aliansi Mahasiswa Siantar Se-Jabodetabek Akan Kepung Mabes Polri: Tuntut Penangkapan Wali Kota Wesli Silalahi

11/05/2025
Berita

Ketua Front Justice: Kepemimpinan Wesly Silalahi Dinilai Gagal, Siantar Mengarah ke Kemunduran dan Kota Gelap

07/05/2025
Ekologi

Mengenal Prof. Mr. St. Munadjat Danusaputro, Guru Besar Hukum Lingkungan Hidup

22/06/2020
Pojokan

Pesan Tersembunyi Ki Narto Sabdo Dalam Lagu Kelinci Ucul

23/09/2020
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba

No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba