Oleh: Edis Galingging*
PIRAMIDA.ID- Dunia sepak bola tanah air sedang merasakan duka yang dalam. Kali ini, duka itu hadir bukan disebabkan adanya suatu peristiwa yang mencekam, melainkan disebabkan dibatalkannya Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan Piala Dunia U-20 tahun.
Tentu hal ini menyebabkan luka yang amat dalam, terkhususnya bagi para pemain tim nasional, pelatih, staf, dan tentunya para pecinta sepak bola tanah air.
Usut punya usut, dibatalkannya Indonesia menjadi tuan rumah bukan dikarenakan ketidaksanggupan panitia atau penyelenggara dalam menyelenggarakan kejuaraan tersebut. Akan tetapi, disebabkan adanya penolakan dari berbagai pihak atas kedatangan atau kehadiran Tim Nasional Israel ke Indonesia. Bahkan Gubernur Bali, I Wayan Koster melayangkan surat penolakan ke Menteri Pemuda dan Olahraga terkait kehadiran Timnas Israel ke Pulau Dewata itu.
Penolakan tersebut datang bukan hanya dari kalangan pejabat saja, bahkan partai, hingga organisasi berbasis keagamaan juga beramai-ramai menyuarakan penolakan keras kehadiran tim kesebelasan Israel ke Indonesia.
Berita penolakan ini tentu sampai kepada Federation Internationale de Football Association (FIFA) selaku organisasi sepak bola dunia yang mempunyai tanggung jawab penuh dalam penyelenggaraan kejuaraan sepak bola terbesar kedua di dunia tersebut. Sehingga pada tanggal 29 Maret 2023, FIFA resmi membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah kejuaraan bertaraf internasional itu.
Tentu, para pejabat, partai, organisasi yang menyuarakan penolakan akan bersikap cuci tangan. Sudah hal yang biasa, mereka akan menjawab secara normatif dan satupun tidak ada yang berani untuk bertanggung jawab atas batalnya kita menjadi tuan rumah.
Kita sepintas kembali mengingat tragedi malang yang terjadi di Kanjuruhan Malang terhadap para suporter Arema FC pada 1 Oktober 2022. Pertandingan sepak bola antara Arema FC menjamu Persebaya Surabaya tersebut masih membekas teramat dalam bagi para pecinta sepak bola dunia. Bagaimana tidak, peristiwa itu merenggut 135 nyawa penonton, yang notabene, mereka yang hadir hanya untuk menonton klub kebanggaan mereka.
Namun, yang kita sesalkan para pejabat seakan buta terhadap peristiwa itu dan gas air mata tertiup angin menjadi alasan polisi dinyatakan tidak bersalah dalam tragedi itu. Peristiwa tersebut menggambarkan bahwa negeri ini belum mempunyai sikap bahwa nyawa seorang manusia sangatlah berharga.
Hal di atas juga menunjukkan adanya standar ganda pemerintah atau pejabat dalam menanggapi peristiwa yang terjadi di Kanjuruhan Malang dengan kasus penolakan Timnas Israel bila dilihat dari aspek kemanusiaan.
Hal itu bisa kita lihat beberapa sikap pemerintah yang menolak kehadiran Tim Nasional Israel dengan alasan solidaritas dan kemanusiaan bagi bangsa Palestina, yang berbanding terbalik bila dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi di Kanjuruhan.
Bila melihat respons pemerintah dalam menyikapi peristiwa yang terjadi di Kanjuruhan, pemerintah kita seolah lepas tangan melihat peristiwa naas yang merenggut ratusan nyawa dan betapa tidak berharganya nyawa seorang manusia.
Mari kita kembali terhadap persoalan batalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20.
Perhelatan itu harusnya tidak lama lagi akan dilangsungkan di Indonesia. Hanya menghitung bulan, event internasional itu harusnya sudah berlangsung di Indonesia. Namun, keputusan FIFA resmi membatalkan Indonesia menjadi tuan rumah adalah sikap yang tegas dan sudah menjadi hal yang harus kita terima.
Adanya unsur politik sangat berperan penting dalam sikap penolakan Tim Nasional Israel. Kita ketahui bersama momentum Piala Dunia U-20 tidaklah jauh dari pesta demokrasi pada tahun 2024. Karena itu banyak pihak yang memanfaatkan momen itu sebagai momen yang harus dimanfaatkan untuk menaikkan elektabilitas seseorang, mendulang suara dari kelompok tertentu, atau menjadi momen untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Indonesia sebagai bangsa yang besar harusnya mampu membedakan antara urusan politik dan olahraga. Namun, sejak kapan dunia sepak bola Indonesia bisa lepas dari urusan politik? Bangsa ini rasanya sulit membedakan kedua hal itu.
Dunia sepak bola Indonesia ibaratkan benang kusut, yang tentu sukar untuk diperbaiki, sehingga kita harus mengorbankan perjuangan para anak muda yang mengejar cita-citanya untuk tampil di dunia, serta harapan para pecinta sepak bola tanah air, hanya untuk kepentingan segelintir pejabat yang dengan sengaja mempolarisasi isu tersebut.(*)
Penulis adalah Ketua Demisioner PMKRI Pematang Siantar periode 2021-2022.