PIRAMIDA.ID – Aula pemilihan Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) 2025-2028 dipenuhi semangat demokrasi. Poster kandidat terpampang, orasi visi-misi bergema. Namun, di balik sorak-sorai itu, bayangan skandal besar mengintai. Salah satu calon, Ivan Ahda, disebut-sebut berada di tengah pusaran kasus korupsi pengadaan Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Nama Ivan tak asing di lingkaran kebijakan pendidikan. Selaku Deputy Executive Director di Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) 2019-2024, ia terlibat dalam lingkaran pengadaan Chromebook yang dipromosikan sebagai langkah strategis memperkuat digitalisasi sekolah. PSPK ikut menggelar riset, diskusi kebijakan, dan memberi masukan yang kemudian mengarah pada pengadaan massal perangkat tersebut. Dalam proses itu, diduga kuat posisi Ivan menempatkannya di meja-meja rapat penting mulai dari forum penyusunan rekomendasi hingga presentasi hasil riset yang menjadi dasar kebijakan.
Masalah muncul ketika aroma penyimpangan tercium. Harga satuan Chromebook diduga membengkak jauh di atas harga pasar. Mekanisme tender dipertanyakan, dan distribusi perangkat disebut tak merata. Sejumlah analisis menunjukkan adanya kesalahan desain kebijakan yang justru menguntungkan segelintir pihak. Jejaknya kembali menelusuri peran PSPK sebagai simpul legitimasi, di mana Ivan diduga berada di garis depan.
Keterlibatan PSPK dalam tahap formulasi kebijakan membuatnya berada di wilayah yang disebut “proximity of corruption” — jarak dekat dengan pusat keputusan yang melahirkan kebijakan bermasalah.
Dalam konteks hukum, jabatan Ivan sebagai Deputy Executive Director tidak bisa dilepaskan dari doktrin pertanggungjawaban kelembagaan (corporate liability doctrine). Doktrin ini menegaskan bahwa pengurus atau pimpinan lembaga yang secara aktif mengambil bagian, memberikan persetujuan, atau membiarkan terjadinya tindak pidana, dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Dengan kata lain, posisi Ivan bukan hanya simbol administratif, melainkan bagian dari struktur kepemimpinan yang memberi legitimasi pada kebijakan yang berujung pada praktik korupsi.
Dalam kasus ini, Direktur PSPK sekaligus Eks Stafsus Nadiem, Fiona Hindayani, juga disebut sebagai salah satu tersangka karena diduga ikut menandatangani dokumen penting dan memfasilitasi proses yang melanggar prosedur. Sejumlah pihak lain yang ditetapkan sebagai tersangka termasuk pejabat Kemendikbudristek yang menangani pengadaan langsung, menunjukkan adanya jaringan koordinasi antara lembaga riset, birokrasi, dan penyedia perangkat.
JAMPidsus harus segera memproses Ivan Ahda. Mengabaikan perannya hanya akan memperkuat kesan adanya tebang pilih dalam penegakan hukum, sementara jabatannya sebagai Deputy Executive Director jelas menempatkannya pada posisi yang memiliki konsekuensi hukum kelembagaan sesuai doktrin pertanggungjawaban pidana.
Di media sosial, terutama TikTok dengan akun @arahankonoha, warganet heboh membahas dugaan keterlibatan Ivan Ahda. Video dan diskusi tentang perannya dalam skandal Chromebook trending, menimbulkan pertanyaan keras: bisakah calon pemimpin alumni ini benar-benar dipercaya, ataukah ia hanyalah simbol ambisi tersembunyi di balik skandal korupsi?