Ryan Sugiarto*
PIRAMIDA.ID- Angka kasus positif COVID-19 terus naik dan belum jelas tanda-tanda bakal mereda. Lonjakan kasus yang makin tidak terkontrol tentu menimbulkan kekhawatiran bagi banyak sektor kehidupan masyarakat. Data Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu memperkirakan, kerugian ekonomi akibat COVID-19 mencapai Rp 316 triliun.
Estimasi itu didasarkan pada besaran pertumbuhan dalam situasi normal yang mencapai 5 persen, sementara pada faktanya tingkat pertumbuhan ekonomi di triwulan pertama sebesar 2,97 persen dari produk domestik bruto (PDB). Pada tingkatan global, IMF memproyeksikan kerugian perekonomian global akibat adanya Covid-19 mencapai USD 12 triliun yang didasarkan pada akumulasi dua tahun (2020 dan 2021).
Covid-19 telah membuka permasalahan terselubung yang selama ini dihadapi manusia modern. Infrastruktur kesehatan di negara-negara maju ternyata rapuh. Jerman yang sukses menekan angka pandemi memiliki 2.000 rumah sakit (RS) dengan populasi penduduk sebesar 83 juta dengan rasio ranjang di ICU paling banyak, yakni 8,2.
Sementara itu, Indonesia memiliki 2.813 RS dengan populasi tiga kali lipat dibanding Jerman, yakni 267 juta jiwa. Padahal, persoalan besar pandemi ini adalah terbatasnya infrastruktur kesehatan, tenaga medis, dan alat pelindung diri (APD). Pandemi menyadarkan kita bahwa industri kesehatan yang dianggap canggih pun ternyata gagal melindungi warga.
Belum ditemukannya vaksin membuat hari ke depan penuh dengan ketidakpastian. Wabah menjungkirbalikkan seluruh tatanan masyarakat, sentuhan fisik, dan gerak manusia. Relasi dan aktivitas sosial atau komunal dibatasi. Masyarakat kehilangan sumber pekerjaan karena hilangnya aktivitas ekonomi. Jaring pengaman sosial diperkuat di mana pemerintah merealokasi dana dengan menaikkan anggaran penanggulangan COVID-19 sampai Rp 677,2 triliun dari sebelumnya Rp 405,1 triliun.
Pemerintah membuat berbagai protokol untuk persiapan new normal. Namun, berjalannya tatanan normal baru ini menimbulkan dilema antara kepentingan ekonomi dan kesehatan warga. Belum lagi, tatanan era normal baru ini kerap disederhanakan pada jaga jarak, cuci tangan, dan menggunakan masker. Padahal, membuat tatanan normal baru membutuhkan siasat-siasat kebudayaan.
Gamangnya pemerintah mengonstruksi tatanan normal baru bukan tanpa sebab. COVID-19 telah mengubah tatanan yang ada tanpa teriakan revolusi. COVID-19 menyadarkan bahwa manusia dan sistem pemikirannya sangat rapuh dan rentan. Kapitalisme sebagai buah gagasan telah menghancurkan dirinya sendiri. Konsepsi neoliberalisme luluh lantak oleh COVID-19.
Ideologi sistem ekonomi pasar, kapitalisme, dan sistem demokrasi dunia mengindikasikan kegagalan dalam membangun industri kesehatan untuk menghormati martabat manusia. Indikasinya, kapasitas basis ideologi pembangunan ekonomi tidak dapat menjamin keselamatan, martabat manusia, dan keadilan sosial. Sementara itu, sosialisme juga gagal menawarkan solusi saat pandemi.
Kesimpulannya, ideologi ekonomi dan paradigma pembangunan kesehatan manusia dengan fakta empiris pandemi COVID-19 mengonfirmasi yang dikatakan dalam buku The End of Ideology (1960) oleh Daniel Bell. Ia menuturkan bahwa ideologi grand-humanistik yang lebih tua, yang berasal dari abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah habis dan ideologi baru yang lebih baik segera muncul. Bell berpendapat bahwa ideologi ekonomi, demokrasi, dan sistem politik menjadi tidak relevan di antara orang-orang yang ’’masuk akal’’ dan pemerintahan masa depan akan didorong oleh penyesuaian dekonstruksi tatanan baru.
Pandemi ini adalah momentum yang tepat untuk mendekonstruksi atas isme-isme dan instrumen pelaksanaan yang ada. Tatanan baru perlu dirumuskan. Meminjam konsep filsafat analitik pascamodern oleh Jacques Derrida (1930-2004), ’dekonstruksi’ ditujukan pada upaya pembongkaran terhadap kemapanan pemaknaan simbol dan bahasa (analitik) yang melekati kesadaran manusia.
Dekonstruksi istilah gerak sosial dalam konteks bencana wabah justru membatasi gerak persing_gungan fisik yang bermuara pada jalinan sosial, bertentangan dengan pemaknaan yang selama ini melekati kesadaran masyarakat, sebagaimana aktivitas jabat tangan, berpelukan, atau aktivitas fisik lain. Gerak sosial tersebut kemudian dapat diarahkan pada aktivitas akal budi, melibatkan segenap instrumen ruhiyah yang meliputi rasa, karsa, dan cipta, untuk memproduksi konsep gerak sosial baru.
COVID-19 sering kali dinilai dari sisi negatif sebagai sebuah ancaman, tapi satu hal yang luput dari kesadaran kita adalah COVID-19 telah mendekonstruksi semua tatanan. Berangkat dari kenyataan ketika pemerintah tidak membangun perencanaan baik yang kemudian tata ruang itu diambil alih oleh swasta, sehingga kemudian yang mengatur adalah swasta dan kekuatan modal, tebersit di pikiran, apakah C0VID-19 diciptakan bukan bebas nilai? Apakah ada gelombang baru pasca-COVID-19? Apakah ada sebuah upaya dekonstruksi dan konstruksi lain yang disiapkan?
Ada satu entitas yang selama ini kuat dari guncangan COVID-19, yakni desa. Desa-desa di Nusantara adalah komunitas yang paling kuat bantalannya. Saat kota diserbu COVID-19 dan segalanya luluh lantak, orang-orang desalah yang justru menopang logistik warga kota. Mereka pun bisa beradaptasi secara subsisten.
Orang-orang desa juga sigap menjaga keamanan lahir batin. Dan lagi-lagi, desalah penolong bagi para perantau ketika mereka ’’dipaksa” pulang karena tak ada rezeki di kota. Warga desa yang bergerak adalah gelombang baru yang membawa harapan Indonesia. Selama berabad-abad desa telah membuktikan dirinya sebagai penopang bangsa yang se_sungguhnya. Desa adalah manifestasi dari konstruksi masa depan baru atas tatanan COVID-19 itu sendiri.
Apa yang membuat desa ke depan bisa menjadi penopang konstruksi tatanan baru? Jauh sejak Indonesia belum lahir, desa telah mengonstruksi kekuatan gotong royong sebagai puncak relasi sosial. Ekonomi desa bergerak karena konstruksi relasi yang dibangun antar manusianya adalah kerja sama. Kegamangan terkait representasi politik negara dijawab desa dengan cara musyawarah antarwarga. Tiga hal yang selama ini coba direnggut oleh liberalisme dan kapitalisme dari desa.
Desa sewajarnya bermusyawarah mencarikan formula tatanan Indonesia baru. Tujuannya, memformulasikan tatanan baru itu dari pengetahuan dan nilai-nilai yang hidup di desa. Siasat-siasat kebudayaan berupaya dibuat dengan mengontruksi kembali tema-tema kehidupan masyarakat desa dari segala aspek. Di antaranya, ekonomi berkeadilan, pendidikan, kesehatan semesta, keamanan dan ketertiban, pemberdayaan perempuan dan anak, kedaulatan pangan, serta lingkungan hidup.
Pandemi bagi desa bukanlah waktu berpangku tangan. Pandemi bagi desa adalah kesempatan untuk membangun tatanan yang lebih bermartabat, berkeadilan, dan berkesetaraan.
Penulis merupakan Ketua Kongres Kebudayaan Desa, dosen psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta. Artikel ini telah tayang di Jawapos.com