Piramida.id
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy
Jumat, Mei 9, 2025
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
Piramida.id
  • Berita
  • Dialektika
  • Dunia
  • Edukasi
  • Ekologi
  • Ekosospolbud
  • Kabar Desa
  • Pojokan
  • Sains
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Spiritualitas
Home Pojokan

Mendengar Tembang Lawas Sebagai (Oto)Kritik Kualitas Musik Kontemporer

by Redaksi
23/07/2020
in Pojokan
100
SHARES
712
VIEWS
Bagikan ke FacebookBagikan ke WhatsappBagikan ke Telegram

PIRAMIDA.ID- Tampaknya sudah menjadi kodrati setiap insan untuk senantiasa menjadi “polisi tren”. Acapkali, segala penampilan dan style tiap insan itu harus diselaraskan dengan standard yang tren. Bila tidak selaras, suara sumbang berkumandang menyematkan kita sebagai kuno, kampungan, dan (uhuk!) ortodoks.

Nah, dalam hal ini, saya termasuk orang yang kerap mendapat predikat semacam. Mulai dari potongan rambut, penampilan berpakaian, hingga selera musik saya kerap disorot teman sekeliling – ya, disorot untuk diledek.

Pasalnya, tak lain, karena penampilan dan style saya dilihat gitu-gitu mulu dan, katanya, tak selaras dengan semangat globalisasi.

Padahal soal penampilan dan style kan masalah rasa dan kenyamanan kita. Betapa pun ringkihnya penampilan dan style itu, kalau itu buat nyaman, kalian bisa apa?

Misalnya, dalam hal potongan rambut. Sedari kali pertama saya berani pergi sendirian ke tukang pangkas rambut dua windu lalu, saya selalu setia dengan cukuran rambut ala eks-Kapten Liverpool, Steven Gerrard, yakni pendek dan rapi.

Saya nyaman dan merasa itu model yang pas di kepala saya. Tak terpengaruh untuk mencoba model lain di tengah menjamurnya inovasi model rambut saat ini.

Kemudian, dalam hal pakaian. Saya selalu konsisten membeli berbagai pakaian di pasar tradisional. Iklim tawar-menawar yang dibangun dalam kekhasan transaksinya amat menyenangkan dan cukup saya nikmati.

Hal lainnya, saya kerap mendapat donasi pakaian dari saudara saya yang tidak muat lagi untuk dikenakannya. Tidak terbersit di pikiran untuk mencoba membeli pakaian di mall atau distro pakaian yang – katanya – mengimingi diskon besar dan gila-gilaan itu.

Untuk kedua hal di atas, saya biasanya abai dan cuek bilamana ada suara sumbang atau nyinyir dari teman-teman luck nut saya terhadap selera saya itu.

Nah, yang kerap buat saya terpancing untuk jengkel adalah saat ada yang mulai ledekin selera musik saya. Iya, saya adalah penggemar setia tembang lawas.

Di playlist musik HP saya didominasi penyanyi-penyanyi tembang lawas, seperti Koes Plus, Trio Ambisi, Rachmat Kartolo, Tantowi Yahya, Bob Tutupoly, Pance Pondaag, Edi Silitonga, Rita Butar-butar, dan lainnya. Sisanya, lagu-lagu Batak – yang juga lawas dikemas dengan musik kekinian.

Sebagai penikmat karya lagu dan musik-musik lawas, seringkali saya disambut dengan perundungan tatkala mulai memutar lagu-lagu kenangan tersebut dan larut mendendangkannya.

“Lae, entah kek mana selera lagu mu. Tua kali. Lagu zaman bapakku dulu itu,” ucap teman saya saban hari lalu sembari ketawa cekikikan ketika saya memutar lagu Koes Plus yang berjudul “Diana” di playlist musik HP saya.

“Iya, kan. Entah apa. Macam dah orangtua kau. Macam gak ada lagi lagu lain. Banyak lagu-lagu baru dan keren yang bisa diputar,” sambung teman lainnya menimpali.

“Sukaku lah! Kan, aku yang dengar,” balas saya dengan ketus sembari tetap memutar lagu tersebut.

“Ehh, bebal. Kepala batu,” semat mereka kepada saya sambil nyengir kolektif.

Suasana dan nyinyir semacam senantiasa berulang hadir jika saya sudah mulai memutar list lagu lawas tersebut saat bersama teman. Sesuatu yang menjengkelkan.

Dan, saya kira, hal serupa dialami rekan sejawat lain yang juga menggemari tembang lawas. Ada semacam sebuah anomali dibangun bila generasi milenial menggemari tembang lawas.

Karenanya, saya ingin mengajukan pledoi atau pembelaan. Apa salahnya bila kita menggemari tembang lawas?

Saya tahu, deretan penyanyi favorit yang saya sebut di atas merupakan angkatan penyanyi yang populer dan menghiasi belantika musik Indonesian sebelum saya lahir, yakni pangsa masa muda para generasi baby boomers; generasi orangtua saya.

Wajar bila kemudian telinga teman saya dan umumnya generasi milenial kurang cocok dengan komposisi musiknya yang relatif sederhana dan miskin inovasi untuk standard musik kekinian.

Namun, ada hal yang menjadi alasan kuat saya untuk mengukuhkan diri dan terpikat dengan deretan penyanyi dan lagu lawas tersebut.

Lirik lagu-lagu lawas ini dikemas sangat puitik, diksinya elegan, suaranya jernih. Lagu-lagunya dinyanyikan begitu romantik namun tak lalu terjebak di kubangan chauvinis, juga nada yang melankolis namun menghindari kecengengan bila jiwa dicambuki cinta.

Itu nilai kekhasannya yang tidak saya dapati pada lirik lagu-lagu kekinian.

Saya sendiri bukan tidak pernah untuk mencoba menjajal-dengar lagu-lagu trend kekinian. Masa-masa remaja saya dihiasi oleh lagu-lagu Peterpan, The Fly, Padi, Dewa-19, dan lainnya.

Dan saya cukup menikmati karya-karya lagu saat itu. Nuansa puitik dan elegan di tiap lirik lagunya masih kental di era itu.

Namun, semakin ke sini, di tengah produktif dan menjamurnya mencipta karya lagu, lagu kekinian itu semakin minim kreasi dan hilang sentuhan puitisnya di tiap baitnya.

Nuansa liriknya terkesan bahasa sehari-hari, tidak sarat makna, hingga terkesan ditempatkan hanya sebagai sebuah produk hiburan yang menjual di pasaran semata, bukan ditempatkan sebagai sebuah karya seni.

Asumsi menurunnya kualitas musik saat ini tentu saja sudah menjadi rahasia umum. Dan tidak harus menjadi seorang pengamat musik kondang dan sepuh untuk melihat beningnya distingsi kualitas musik kekinian dan lawas tersebut.

Generasi milenial seperti saya pun dapat memahaminya.

Tak ayal, rasa ingin larut dan kembali dalam glorifikasi tembang lawas seringkali menguat dalam perbincangan generasi baby boomers, seperti orangtua saya tatkala mengomentari kualitas musik saat ini yang menurun.

Karenanya, bilamana saya saat ini juga justru menggemari tembang lawas, maka, ehem, itu adalah bentuk otokritik untuk menggugat menurunnya kualitas permusikan kita saat ini, bukan? Pun demikian dengan sejawat lainnya yang menggemari dan mendendangkan tembang lawasnya.

Adalah kekeliruan bila kami dirundung dengan ledekan dan nyinyiran.

Justru, dengan kami memutar dan mendendangkan kembali lagu lawas di ruang pertemanan kami, ingin menunjukkan kepada khalayak bahwa kualitas musik kita saat ini kalah dengan kualitas musik yang populer beberapa dekade lalu – dan terbukti mampu bertahan dan relevan dinikmati sampai saat ini.

Itulah ekspresi otokritik kami!


Editor: Red/Hen

Tags: #Budaya#musikjadul#musikkekinian#selera
Share40SendShare

Related Posts

Asal-usul Permainan Tradisional Anak-anak

12/07/2023

PIRAMIDA.ID- Anda merasa jenuh dengan bermain dengan gim di ponsel dan laptop? Terlalu lama bermain gim bisa menyebabkan kerusakan mata akibat...

Mengapa ada Tujuh Hari dalam Seminggu?

11/07/2023

PIRAMIDA.ID- Akhir pekan selalu tak kunjung tiba, kita harus menunggu enam hari penuh antara Senin dan Sabtu. Satu minggu itu...

Ini Medan, Bung!

05/03/2023

Supriadi Harja* PIRAMIDA.ID- Aku lupa, kapan aku pernah mengenal orang ini. Begitu melihatku, ia memperkenalkan diri. Namanya Pak Sukri. Namun...

Seperti Apa Sistem Absensi yang Banyak Digunakan di Indonesia?

20/12/2022

PIRAMIDA.ID- Aset terbesar perusahaan adalah karyawan. Tanpa karyawan, perusahaan tidak akan dapat mencapai tujuan perusahaan. Untuk mencapai tujuannya, human resources...

Mimpi

07/12/2022

Billie Gregorine* PIRAMIDA.ID- Semua orang sekiranya pastilah pernah bermimpi. Sambil rebahan, sayup-sayup kudengar lagu dari Nadin Hamizah yang judulnya 'Rumpang'....

Mengantongi Ragam Cerita dari Tanah Papua

04/09/2022

Oleh: Roberto Duma Buladja* PIRAMIDA.ID- Konsultasi Nasional (Konas) GMKI berlangsung pada 23–27 Agustus 2022 di Jayapura, tanah Papua. Kurang lebih...

Load More

Tinggalkan KomentarBatalkan balasan

Terkini

Berita

Ketua Front Justice: Kepemimpinan Wesly Silalahi Dinilai Gagal, Siantar Mengarah ke Kemunduran dan Kota Gelap

07/05/2025
Berita

GMKI Cabang Bandar Lampung Ungkap Krisis Kepolisian di Daerah Lampung: “Kekuasaan Tanpa Kendali, Rakyat Tanpa Perlindungan”

01/05/2025
Berita

Fawer Sihite Luncurkan Buku “Menghidupi Kembali Ut Omnes Unum Sint”: Refleksi dan Kebangkitan GMKI

22/04/2025
Edukasi

Refleksi Paskah dan Titik Balik Kebangkitan Ekonomi Indonesia

20/04/2025
Berita

DPD KNPI Simalungun Ucapkan Selamat Atas Terpilihnya Saudara Aldi Syahputra Siregar Sebagai Ketua KNPI Sumut Periode 2025-2028

19/04/2025
Berita

Remaja Naposo Bulung HKBP Martoba Gelar Prosesi Jalan Salib

19/04/2025

Populer

Berita

Ketua Front Justice: Kepemimpinan Wesly Silalahi Dinilai Gagal, Siantar Mengarah ke Kemunduran dan Kota Gelap

07/05/2025
Dialektika

Mengapa Demokrasi dapat Melahirkan Tirani?

21/02/2022
Dialektika

Enola, Gadis Kecil yang Dirampas Masa Depannya

21/06/2022
Pojokan

Pesan Tersembunyi Ki Narto Sabdo Dalam Lagu Kelinci Ucul

23/09/2020
Dialektika

Prinsip-Prinsip Disiplin Kelas

02/04/2023
Ekosospolbud

Jabu Sihol, Proyek Mengenal dan Belajar Budaya Batak

05/06/2020
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba

No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba