Melsi Tiolina Sinaga*
PIRAMIDA.ID- Sudah hampir 9 bulan sejak Maret 2020 lalu, Indonesia berada pada titik yang harus berperang melawan pandemi Covid-19 ini. Pada situasi ini kita dipaksa untuk hidup berdampingan dengan wabah ini.
“Artinya kita harus hidup berdampingan dengan Covid-19. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, berdamai dengan Covid,” kata presiden kala itu seperti dikutip dari siaran pers resmi, Jumat (15/5/2020).
Namun hidup berdampingan dengan Covid-19 bukanlah hal yang mudah, gerakan kita menjadi terbatas bahkan untuk menjadi produktif pun pada situasi yang seperti ini rasanya menjadi lebih sukar. Tidak terkecuali dalam dunia pendidikan, pasalnya pandemi ini tidak hanya berdampak pada dunia perekonomian saja, namun dampak yang begitu nyata juga terlihat jelas pada dunia pendidikan saat ini.
Semenjak ditetapkannya pembelajaran daring atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), yang telah berlangsung bersamaan dengan ditetapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Indonesia telah mengalami perubahan dalam sistem pendidikan.
Dengan ditetapkan sistem pembelajaran jarak jauh ini, para siswa dituntut untuk tetap mengikuti pembelajaran secara online. Banyak pro dan kontra yang bermunculan mengenai PJJ ini, baik dari kalangan orang tua atau bahkan dari pihak siswa itu sendiri. Para siswa banyak yang mengeluh akibat pembelajaran daring yang dianggap tidak efektif.
Pasalnya guru sebagai pihak pendidik hanya mampu memberikan berbagai macam tugas tanpa menjelaskan materi terlebih dahulu. Selain itu kondisi keadaan yang tidak mendukung dan terletak jauh dari pusat kota, hal ini tentu akan berdampak pada kondisi jaringan internet yang tidak stabil.
Akibatnya para siswa pun merasa monoton dan tidak bersemangat atau hilang gairah untuk mengikuti pembelajaran. Bahkan di satu sisi ada yang merasa jenuh, kalau sudah seperti ini apa yang akan terjadi?
Krisis minat yang dialami sebagian besar peserta didik, tidak lain dan tidak bukan hanyalah membawa berita buruk. Seperti yang baru terjadi, seorang pelajar SMA dari Dusun Bontote`ne, Desa Bilalang, Kecamatan Manuju, Kabupaten Gowa ditemukan meninggal di rumah, diduga bunuh diri dengan cara meminum racun; penyebabnya karena depresi dengan sekolah online, banyak tugas yang diberikan, dan jaringan internet yang sering putus.
Dari kasus ini jelas terlihat bahwa sudah terjadi krisis minat dalam diri pelajar tersebut. Ini baru satu kasus, lalu bagaimana jika muncul kasus yang lain? Yang mungkin motifnya berbeda namun masih tetap dengan penyebab yang sama.
Saya pribadi selaku mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta yang berada di kota Pematangsiantar menelaah bahwa, permasalahan ini tidak akan selesai dengan sangat mudahnya jika solusi yang ditawarkan hanya sebatas pemberian kuota internet gratis.
Seperti yang sudah saya katakan di atas, pasalnya seberapa banyak pun kuota internet yang diberikan oleh Kemendikbud, namun jika kondisi letak perkampungan yang jauh dari pusat keramaian kota dan belum terjamah oleh infrastruktur yang memadai, hal itu pasti akan menimbulkan koneksi internet yang buruk.
Seperti yang terjadi di tiga dusun di Nagori Siporkas, Kecamatan Raya, Simalungun, Sumut, yang mengharuskan para siswa naik ke lereng bukit bahkan memanjat pohon untuk mendapatkan sinyal.
Hal yang senada juga dikatakan oleh Hendra Putra selaku Kepala Nagori (Desa) Siporkas. Terkait kendala sinyal yang terjadi di tiga dusun di desanya, yakni Dusun Bah Pasunsang, Butu Ganjang, dan Borno.
“Jangankan internet, menelepon saja susah di tiga dusun itu,” kata Hendra, Selasa (4/8).
Nah, jika sudah seperti ini apa yang akan terjadi? Yang akan terjadi adalah menurunnya kualitas pendidikan di tengah pandemi Covid-19 ini. Minat peserta didik pun akan menipis untuk mengikuti pembelajaran. Sejalan dengan apa yang terjadi di Kabupaten Simalungun, di pelosok negeri ini pun banyak yang mengalami hal yang serupa.
Akibatnya banyak anak-anak yang usianya masih sebagai pelajar justru malah mendadak menjadi buruh harian lepas, inilah dampak dari krisis minat tersebut. Padahal pemerintah mengeluarkan keputusan Pembelajaran Jarak Jauh ini adalah untuk mencegah siswa melakukan aktivitas di luar rumah.
Jika kondisi pendidikan saat ini masih saja berjalan dengan cara yang seperti ini, terlepas dari krisisnya minat siswa dalam pembelajaran daring ini, juga tenaga pendidik yang tetap membebani siswa secara berlebih, dan berpotensi untuk menimbulkan rasa jenuh, di mana akan berdampak pada putusnya harapan siswa untuk tetap bertahan dalam menghadapi perubahan sistem pembelajaran ini.
Bukan tidak mungkin jika 10 tahun ke depan Indonesia akan kehilangan generasi emas. Hal ini tentu akan berdampak bagi perkembangan bangsa kita yang tercinta ini. Generasi yang harusnya diharapkan mampu membawa perubahan yang pesat, justru menjadi generasi yang buta akan ilmu pengetahuan.
Dampak inilah yang akan terjadi. Pemicu dari masalah ini mungkin terdengar begitu simple, namun pernahkah kita membayangkan bagaimana kondisi negara kita ke depannya jika hal ini benar-benar terjadi?
Dari sini kita paham bahwa, pendidikan adalah hal yang sangat berperan dalam mempengaruhi kesuksesan bangsa. Jadi untuk itu, pemerintah juga diharapkan harus mampu memberikan perhatian yang lebih kepada dunia pendidikan, baik dari segi infrastruktur, dari segi dukungan kepada guru sebagai tenaga pendidik, serta kepada para siswa.
Dan harapan saya adalah semoga ke depannya pendidikan di Indonesia dapat berjalan dengan seefektif mungkin, baik dalam kondisi seperti sekarang ini ataupun kondisi normal sebelumnya. Jangan mudah menyerah pada suatu hal, mari kita anggap serangan pandemi Covid-19 ini sebagai ajang untuk membenahi tatanan dari sistem pendidikan kita.
Seperti pribahasa mengatakan, “Habis gelap terbitlah terang”. Artinya adalah tidak ada kesulitan yang tidak berakhir. Mari menuju Indonesia yang maju dengan menyokong dunia pendidikan kita.(*)
Penulis merupakan mahasiswi FKIP Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar.