Lutfi Retno*
PIRAMIDA.ID- Tiga orang murid kelas 5 SD sedang duduk melingkar di halaman sebuah rumah kayu. Mereka membaca buku paket dengan terbata-bata. Hal tersebut merupakan pemandangan yang lumrah di Pulau Tangnga, Sulawesi Barat. Pulau yang dihuni 100 KK tersebut hanya memiliki sebuah sekolah dasar dengan guru-guru yang tinggal di daratan Sulawesi.
Kadang, jika cuaca buruk, guru-guru tersebut tidak mengajar. Terbatasnya guru juga menyebabkan seorang guru bergantian mengajar di dua kelas. Tak heran, jika murid kelas 5 dan 6 SD belum lancar membaca. Mereka hanya berlatih membaca dan menulis di sekolah karena orangtua mereka buta huruf.
Pemandangan tersebut mungkin bukan hal yang aneh terjadi di daerah pelosok. Di berbagai daerah, ada banyak anak sekolah dasar bahkan di tingkat pendidikan SMP yang masih belajar mengeja. Sedihnya, murid-murid sekolah ini dipaksa mempelajari hal sama seperti anak sebaya mereka di kota-kota besar Jawa. Mereka tergagap-gagap untuk mengikuti kurikulum yang dibuat di pusat.
Dibuat oleh orang-orang yang besar dan tinggal di Pulau Jawa. Anak-anak ini harus belajar mengenai menabung di bank, internet, hingga Bahasa Inggris yang tidak mereka butuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak nelayan tersebut tidak pernah belajar mengenai ikan dan laut yang kelak akan menjadi mata pencahariannya di sekolah.
Sekolah kadang justru menjauhkan anak didik dengan lingkungannya. Generasi muda Dayak di Kalimantan Barat misalnya. Mereka kini tidak lagi mengenali obat-obatan dan tumbuhan hutan yang bisa dimakan. Dahulu, seorang anak belajar dari orangtuanya.
Ia dibawa ke hutan saat orangtuanya bekerja mengumpulkan makanan dan hasil hutan yang bisa dijual. Di sela-sela membantu orangtuanya, seorang anak belajar mengenali tumbuhan dengan menggunakan seluruh indranya.
Semenjak anak-anak bersekolah, mereka tidak lagi pergi mengikuti orangtuanya ke hutan dan ladang. Kini, jarang ada orang di bawah 40 tahun yang tahu tentang apa manfaat tumbuhan hutan, karena mereka tidak lagi kenal lingkungannya. Pengetahuan mengenai obat-obatan dan pangan lokal pun kemudian menghilang, karena tidak lagi digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Orang lebih memilih membeli makanan atau obat yang dihasilkan oleh industri.
Orang-orang ini selepas lulus sekolah kemudian mencari kerja di kota. Hal tersebut terjadi karena desa sedikit menawarkan pilihan pekerjaan selain menggarap lahan. Pekerjaan menggarap lahan memberikan penduduk desa kecukupan pangan.
Tapi, tingginya biaya produksi dan rendahnya harga produk pertanian menyebabkan sedikitnya pendapatan yang petani peroleh. Setelah muncul kebutuhan untuk membayar sekolah, biaya berobat, dan barang-barang konsumsi, pendapatan dari pertanian tidak lagi cukup. Penduduk desa kemudian memilih untuk pindah ke kota mencari pekerjaan yang memberi pemasukan lebih.
Hal tersebut tidaklah berkelanjutan dalam jangka panjang. Di masa pandemi seperti ini, orang-orang yang berpindah mencari kerja di kota kelimpungan.
Konsumsi masyarakat berkurang, sehingga beragam industri kehilangan konsumen. Hal pertama yang kantor dan pabrik lakukan adalah mengurangi tenaga kerja. Para penganggur baru ini kemudian kebingungan
Mereka terpaksa kembali ke desa tanpa memiliki pengetahuan apa yang bisa dikerjakan dengan di sana. Pendidikan formal gagal mengajarkan muridnya mengenali potensi lokal dan kemudian memanfaatkan untuk hidupnya. Di sisi lain, muncul sekolah-sekolah alternatif yang menawarkan pembelajaran kontekstual.
Yaitu sebuah konsep belajar di mana guru menghadirkan situasi dalam dunia nyata di kelas.
Guru juga mendorong supaya siswa menghubungkan antara apa yang ia pelajari di kelas dengan hal yang ia lakukan dalam masyarakat. Sayangnya, sekolah-sekolah seperti ini sangat terbatas jumlahnya. Pendidikan jenis ini juga membutuhkan guru yang tidak sekadar mentransfer apa yang ada di buku paket.
Penulis merupakan kontributor di Kongres Kebudayaan Desa.