PIRAMIDA.ID — Peluncuran Robot Polri sebagai bagian dari langkah modernisasi institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menuai beragam respons dari publik. Meski membawa semangat inovasi berbasis teknologi, namun sejumlah kritik dari masyarakat di media sosial mengemuka, terutama terkait belum optimalnya kinerja robot tersebut serta pertanyaan publik terhadap urgensi dan efektivitasnya di tengah berbagai tantangan yang dihadapi institusi Polri saat ini. Senin, 30 Juni 2025.
Kritik ini berkembang pesat di ruang digital. Sejumlah netizen mempertanyakan apakah kehadiran Robot Polri benar-benar menjadi jawaban atas kebutuhan masyarakat, atau justru menjadi bentuk pemborosan anggaran di tengah turunnya kepercayaan terhadap institusi hukum tersebut. Tak sedikit pula yang membandingkan inovasi ini dengan realitas di lapangan, seperti rendahnya respons terhadap laporan masyarakat, penyelesaian kasus-kasus hukum yang lambat, hingga persoalan integritas oknum aparat.
Menanggapi hal tersebut, Fawer Sihite, seorang pengamat kebijakan publik dan alumni Pascasarjana Universitas Kristen Duta Wacana dengan jurusan Magister Kajian Konflik dan Perdamaian, menyampaikan pandangannya. Ia menilai bahwa inovasi berbasis teknologi seperti Robot Polri pada dasarnya merupakan langkah positif dalam menjawab tantangan zaman yang serba digital dan cepat berubah. Namun, menurutnya, masalah utamanya bukan pada inovasinya, melainkan pada cara komunikasi dan penjelasan kepada publik yang belum maksimal.
“Kita tidak bisa menolak perkembangan teknologi. Robot Polri adalah bentuk niat baik institusi untuk melakukan transformasi. Tapi problemnya adalah masyarakat gagal memahami apa maksud dari inovasi itu, dan ini karena tidak adanya penjelasan yang utuh, narasi yang menyeluruh, dan komunikasi yang efektif dari pihak Polri sendiri,” ujar Fawer.
Fawer menegaskan bahwa dalam era keterbukaan informasi seperti sekarang ini, niat baik saja tidak cukup. Setiap langkah inovasi yang dilakukan institusi negara harus disertai dengan instrumen komunikasi publik yang transparan, terbuka, dan menyentuh akal sehat masyarakat.
“Sekarang ini bukan eranya di mana cukup dengan niat baik. Publik akan menilai berdasarkan persepsi yang mereka tangkap. Maka, jika Polri tidak membangun komunikasi strategis yang menjelaskan maksud dan tujuan dari inovasi seperti Robot Polri, maka ruang misinterpretasi akan terus terbuka. Ini bisa berakibat fatal, karena bukan hanya inovasi itu tidak diterima, tapi tingkat kepercayaan terhadap institusi pun bisa makin tergerus,” tegasnya.
Fawer juga mengingatkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum sangat menentukan stabilitas sosial dan rasa aman di masyarakat. Karena itu, ia menyarankan agar Polri tidak hanya fokus pada peluncuran inovasi, tetapi juga menyusun program yang menyentuh akar persoalan komunikasi publik dan membangun dialog yang jujur serta terbuka dengan masyarakat.
Di tengah tantangan zaman dan meningkatnya ekspektasi publik, Fawer berharap Polri bisa menjadikan momentum kritik terhadap Robot Polri ini sebagai refleksi dan kesempatan untuk membenahi pendekatan komunikasi serta orientasi pelayanan publik secara menyeluruh.
“Setiap institusi harus mampu belajar dari kritik, bukan alergi terhadapnya. Kritik netizen itu adalah bentuk partisipasi publik. Tinggal bagaimana institusi seperti Polri menyikapinya secara dewasa dan menjadikannya sebagai bahan evaluasi dan penguatan,” tutup Fawer. (Tim)