Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH): Penegakan Hukum atau Alibi Militerisasi Atas Nama Konservasi?
Oleh: Edger Josua Silalahi – DPP BARAK 106 (Barisan Rakyat Satu Juni)
Jakarta, Mei 2025 – Pemerintah telah membentuk Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 Tahun 2025. Di atas kertas, Satgas ini tampak sebagai upaya strategis untuk mengatasi masalah penguasaan ilegal kawasan hutan oleh korporasi besar dan meningkatkan penerimaan negara. Namun, jika ditelisik lebih dalam dengan pendekatan multi-analitik, Satgas ini menyimpan berbagai ironi dan paradoks yang patut dikritisi secara tajam.
Satgas PKH terdiri dari unsur TNI, Polri, Kejaksaan, dan kementerian teknis. Dikomandoi oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Satgas ini telah menyegel lahan milik beberapa perusahaan sawit dan mengklaim telah menguasai kembali kurang lebih 1 juta hektar kawasan hutan sejak Januari 2025. Tetapi, benarkah ini tentang hutan dan keadilan ekologis, atau tentang kontrol terpusat terhadap tanah dengan baju hukum dan kekuasaan?
Perpres ini lahir dari ketidakpuasan atas efektivitas PP No. 24 Tahun 2021. Tapi, alih-alih memperkuat mekanisme hukum berbasis komunitas dan kehutanan sosial, negara memilih jalur pintas: militerisasi kebijakan lingkungan. Satgas PKH menjadi alat represi legal, di mana niat penertiban justru berpotensi menambah konflik agraria, khususnya terhadap masyarakat adat yang tidak memiliki sertifikat legal, tetapi sudah tinggal di sana sejak generasi terdahulu.
Motif ekonominya pun cukup gamblang: denda administratif yang diambil dari korporasi tak berizin, yang kemudian menjadi sumber penerimaan negara. Apakah negara sedang memperjualbelikan hutan dengan membiarkan kerusakan terjadi dulu, baru kemudian menagih denda?
Struktur Satgas memang kuat, berisi aparat penegak hukum dan militer, dengan dukungan penuh dari Presiden. Namun, kekuatan ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, bisa menertibkan korporasi besar; di sisi lain, berpotensi menindas rakyat kecil tanpa mekanisme advokasi yang memadai.
Minimnya partisipasi publik dan tidak adanya strategi pemulihan ekologis adalah kelemahan fatal. Kekuatan tanpa legitimasi hanya akan memperbesar jarak antara negara dan rakyatnya.
Dalam narasi resmi, Satgas PKH adalah penyelamat hutan. Tapi, dalam praktik, ia bisa menjadi instrumen baru neoliberalisme: menata ulang kawasan hutan bukan untuk rakyat, melainkan untuk investasi legal yang lebih “teratur.” Ini bukan hanya tentang hukum, tetapi soal siapa yang mendapatkan kembali tanah, dan untuk kepentingan siapa.
Satgas menjadi sintesis aneh antara logika konservasi dan logika kapitalisasi. Ia bukan semata menjaga hutan, tapi mengkonstruksi ulang siapa pemilik sahnya: rakyat adat yang turun-temurun menjaga hutan, atau negara yang kini menegakkan aturan sesuai selera kekuasaan?
Kita tidak menolak penertiban. Kita menolak penertiban yang dilakukan dengan cara-cara represif, anti-partisipatif, dan berpotensi menciptakan ketimpangan struktural yang lebih parah. Bila negara sungguh ingin menyelamatkan hutan, maka langkah awalnya bukan militerisasi kebijakan, melainkan pengakuan hukum atas wilayah adat dan memperkuat kehutanan berbasis rakyat.
Satgas PKH adalah cermin. Ia bisa menjadi wajah progresif negara hukum, atau justru topeng baru dari rezim penguasaan tanah yang menindas.
Kita tidak anti penegakan hukum, tetapi hukum yang membutakan sejarah dan melupakan rakyat kecil adalah hukum yang timpang. Satgas PKH harus dibedah, bukan hanya dipuja. Kita butuh pemulihan ekologis yang adil, bukan penertiban sepihak yang melahirkan represi baru.
“Hutan bukan hanya sumber daya, ia adalah ruang hidup. Maka pertanyaannya: siapa yang benar-benar sedang ditertibkan?” (Tim).