PIRAMIDA.ID – Suasana haru dan semangat memenuhi ruang pertemuan Hotel Serenauli, Laguboti, ketika lebih dari 150-an orang dari berbagai latar belakang—pimpinan gereja, lembaga keumatan, organisasi masyarakat sipil, akademisi, petani, hingga Masyarakat Adat—berkumpul dalam acara peluncuran buku “Jeritan Bona Pasogit” dan konsolidasi gerakan menolak keberadaan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Tano Batak. Kegiatan ini difasilitasi oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan United Evangelical Mission (UEM). Senin, 14 Juli 2025.
Kegiatan itu bukan sekadar peluncuran buku. Tetapi juga menjadi ruang berbagi kesaksian, hasil riset, kemarahan yang terpendam, dan harapan akan masa depan yang lebih adil bagi Tano Batak.
Dalam sambutannya, Alfian mewakili PGI menyampaikan bahwa acara ini merupakan inisiatif PGI untuk mengajak gereja-gereja terlibat aktif merespons krisis ekologi yang semakin mengkhawatirkan di kawasan Danau Toba.
“Pertemuan ini kami inisiasi untuk membahas secara serius hasil kajian dan penelitian terkait kerusakan lingkungan di kawasan Danau Toba. Ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi menyangkut tanggung jawab iman kita sebagai gereja terhadap seluruh ciptaan Tuhan,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa PGI tidak bertindak sebagai pelaksana program, melainkan sebagai pemantik keterlibatan kolektif gereja. “Kami menyurati gereja-gereja di Sumatera Utara, mengajak para pimpinan gereja untuk berkumpul, berdiskusi, dan merumuskan langkah bersama. Gereja tidak boleh diam. Kita harus berdiri bersama umat dan alam yang terluka, karena panggilan gereja adalah juga untuk merawat kehidupan,” tegas Alfian.
Buku “Jeritan Bona Pasogit”, yang dikerjakan sejak Maret 2025, menghadirkan suara-suara dari bawah—jeritan rakyat yang hidupnya terganggu akibat ekspansi industri HTI PT TPL.
Pdt. Dr. JP. Robinsar Siregar, salah satu penyusun buku, menyebutkan bahwa temuan ini menunjukkan secara nyata dampak eksploitasi yang mengakibatkan krisis ekologi, hilangnya sumber penghidupan, serta perlawanan yang lahir dari komunitas perempuan dan Masyarakat Adat. “Buku ini belum mencakup semua wilayah terdampak, tapi cukup mewakili luka besar yang sudah terlalu lama didiamkan,” ujarnya.
Arie Rompas dari Greenpeace memperluas pandangan dengan membongkar jaringan bisnis PT TPL yang terkait dengan Royal Golden Eagle (RGE) milik Sukanto Tanoto. Ia menyebut TPL sebagai bagian dari “perusahaan bayangan” yang menggunakan banyak nama dan entitas untuk menghindari akuntabilitas atas kerusakan lingkungan. “TPL tidak hanya beroperasi di Danau Toba, tetapi juga membuka konsesi besar-besaran di Sumatra dan Kalimantan,” tegasnya.
Pdt. Firman Sibarani, M.Th dengan lantang menyuarakan bahwa tanah Tapanuli bukan untuk dijarah, tetapi diwariskan. “Tanah ini milik rakyat. Pemerintah semestinya melindungi, bukan menyerahkan kepada korporasi. Jika ingin damai dan hidup sejahtera, maka PT TPL harus ditutup.”
Sementara itu, Prof. Dr. Posma Sibuea menekankan perlunya transformasi ekologi. Ia mengajak peserta untuk mengubah pola konsumsi dan produksi, menghormati alam, serta menolak pendekatan eksploitatif terhadap sumber daya.
Data dari Badan Lingkungan Hidup Sumatera Utara menegaskan bahwa hingga tahun 2010, hanya tersisa sekitar 12 persen dari 356.800 hektare hutan di kawasan Danau Toba. Kini, lahan kritis semakin meluas, produktivitas pertanian menurun drastis, nelayan kehilangan hasil tangkapan, dan krisis pangan mulai mengancam. Dalam diskusi, disebutkan pula bahwa prevalensi stunting meningkat dan air Danau Toba tercemar secara serius.
Menjelang akhir acara, suasana hening ketika Pastor Walden Sitanggang membacakan Pernyataan Sikap Pimpinan Gereja se-Sumatera Utara. Dalam suaranya yang tenang namun tegas, ia menyampaikan isi hati gereja-gereja yang telah lama menyaksikan penderitaan umatnya akibat operasi PT TPL.
“Kerusakan lingkungan sesungguhnya bukan semata perkara teknis ekologis, tetapi juga persoalan iman. Ketika tanah dijarah, air dicemari, udara dikotori, dan pohon-pohon ditumbangkan demi keragusan kapitalis, maka ciptaan Tuhan sedang dirusak dan dihina. Gereja tidak bisa diam.”
Berangkat dari suara umat dan hasil kajian buku Jeritan Bona Pasogit, Pimpinan-pimpinan Gereja Se-Sumatera Utara menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Memohon kepada Bapak Presiden Republik Indonesia, Haji Prabowo Subianto, untuk menghentikan operasional PT. Toba Pulp Lestari secara permanen.
2. Meminta kepada pemerintah untuk memastikan perusahaan memenuhi kewajibannya kepada seluruh buruh tetap maupun buruh harian lepas, yang muncul akibat penutupan PT. Toba Pulp Lestari sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Memohon kepada Gubernur Sumatera Utara Dan seluruh Kepala Daerah dan DPRD Sekitar kawasan Danau Toba Untuk bersama-sama Dengan gereja dan masyarakat Berjuang bersama Untuk penutupan PT. Toba Pulp Lestari.
(vin)