Dalam falsafah hukum, Kita mengenal tingkatan hukum yang berawal dari nilai, asas, norma, dan undang-undang. Nilai yang merupakan hal atau sesuatu yang dianggap baik dalam kepentingan masyarakat. Asas merupkan prinsip dasar atau fundamental yang menjadi landasan. Kemudian, perlunya sebuah aturan yang mengakomodir kepentingan antar kelompok dalam masyarakat yang kita kenal dengan norma. Terahir, adalah undang undang, sebuah bentuk hukum tertulis yg dibuat oleh lembaga resmi.
Didalam konsepsi tersebut, etika berada pada tataran norma dan asas, dengan demikian posisi etika adalah jauh di atas hukum. Implikasinya, pelanggaran etika secara sosiologis mendapatkan celaan sama atau bahkan lebih dari pelanggaran hukum (baca: undang-undang)
Penulis setuju pada pandangan Jean-Jacque Rousseau membedakan kepentingan itu ada dua, antara kepentingan masing-masing ( volonte de tous) dan kepentingan umum ( volonte Generale). Kepentingan masing-masing itu hanyalah kepentingan yang sama sekali tidak mencerminkan kepentingan kelompok, sebab sifatnya individual. Sedangkan kepentingan umum adalah kepentingan bersama yang mengarah pada kepentingan umum dan sifatnya bersama.
Kepentingan umum jelas menyangkut kepentingan bersama, akan adanya keamanan, kenyamanan dan keadilan.
poin tersebut dinilai serupa dengan paham “asli” perpolitikan Indonesia, yakni menciptakan masyarakat adil, makmur dan sejahtera.
Salah satu cara yang dinilai untuk mencapai masyarakat aman, makmur dan adil adalah dengan dibentuknya DPR-RI. (Baca: sejarah DPR)
DPR mengemban tugas dan fungsi yng diatur dalam UUD tahun 1945 hasiln amandemen, yakni sebagai lembaga pelaksana undang-undang, pelaksana dan pengawas terhadap pemerintah dan fungsi anggaran. Hak- hak yang dimiliki DPR adalah hak budget, inisiatif, amandemen, serta wewenang menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) bersama pemerintah. Lembaga yng diharapkan penuh dengan norma dan etika dalam bekerja.
Fenomena yang cukup menarik perhatian saat ini adalah tindakan DPR dan pemerintah yang secara bersama-sama menyetujui beberapa kebijakan yang menyengsarakan rakyat, yakni:
1. Tunjangan fantasi DPR vs kondisi ekonomi nasional:
Rakyat mengamuk karena terungkap bahwa setiap anggota DPR menerima tunjangan rumah senilai Rp50 juta per bulan , di luar gaji pokok— jumlah ini dianggap sangat tinggi, terutama di tengah krisis ekonomi dan ketimpangan sosial.
2. Pemotongan anggaran & pajak ekstrem yang menekan masyarakat.
Pemotongan anggaran secara agresif—terutama di sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur—dikombinasikan dengan kenaikan pajak (seperti PBB-P2 hingga ratusan persen di beberapa daerah), memicu kemarahan masyarakat. DPR RI disalahkan dalam isu pemotongan anggarankarena perannya seblembaga legislatif yang mempunyai kekuasaan besar dalam pengesahan kebijakan anggaran.
3. RUU ketenagakerjaan dinilai mandet di kondisi PHK massal dimana mana.
Buruh mendesak pembentukan Satgas PHK untuk menyatukan dan mencegah PHK massal. Mereka juga menuntut pengesahan RUU Ketenagakerjaan baru (baca: beritasatu.com)
Kaitan dengan tulisan ini terletak pada peran DPR sebagai perwakilan rakyat seakan akan berubah menjelma sebagai dewan penyengsara rakyat, perampok, sampai pembunuh rakyat. Bersemangat mengejar kantong rakyat, memajaki di setiap tikungan, tidak ada bebas pajak. Tidak ada lagi sisipan ‘Etika’ dalam mengeluarkan kebijakan.
___
Kini, masyarakat merasa kehilangan daya untuk bersuara. Mereka merasa tak punya pelindung. Para tokoh dan elit senayan yang seharusnya berdiri di barisan depan malah berkhianat dan menyengsarakan. Berusaha membungkam dan menghilangkan hak masyarakat dengan kekuasaan dan senjata yang ada.
Tak perlu penelitian yang rumit untuk menangkap kenyataan ini. DPR dalam momen ini memperkuat kesan bahwa mereka telah tercerabut dari denyut nadi rakyat. Berdiri sebagai penyeimbang kekuasaan, DPR justru terkesan menjadi bagian dari sistem yang menjadikannya tidak berpihak.
Diam adalah pilihan. Tapi dalam situasi ini, diamnya DPR ada—dan sejarah akan mencatatnya.
Hal negatif layaknya balon terus menerus membesar pada akhirnya meledak juga.
Massa aksi turun menyuarakan kekecewaan dan rasa bosan dikhianati. Jika dibiarkan, kondisi ini berpotensi memicu gelombang aksi lanjutan sampai skala nasional maupun internasional.
Karena rasa bosan dan rasa kecewa yang meledak, masyarakat turun sebagai tanda marah.
Sebaiknya DPR RI hentikan ambisinya untuk mengeluarkan kebijakan yang berkepentingan pada kelompoknya saja, karena hanya akan menguras energi dan semakin menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. DPR RI selaku bagian dari lembaga legislatif fokus kepada tugas dan fungsinya, salah satunya adalah mengawasi jalannya pemerintahan agar dapat berjalan sebagaimana mestinya bukan justru bermesraan dengan kekuasaan yang akhir-akhir ini semakin lalim, Semoga.