PIRAMIDA.ID- Di balik kilau bisnis startup layanan transportasi daring seperti Gojek, Grab dan Shopee Express, banyak penelitian sudah membongkar hubungan kerja yang eksploitatif antara pemilik perusahaan dan pengemudinya.
Akibatnya banyak yang kemudian berasumsi bahwa pengemudi daring tersebut adalah entitas yang tidak berdaya dan tidak mampu memberikan perlawanan terhadap represi yang dilakukan pemilik modal.
Padahal, para pengemudi sudah melakukan banyak perlawanan dalam keseharian mereka sebagai bentuk protes mereka terhadap sistem yang eksploitatif dan tidak adil.
Sebagai contoh, banyak pengemudi Gojek yang melakukan aksi offbid (aksi mematikan aplikasi agar tidak menerima order) selepas keputusan manajemen menurunkan insentif untuk layanan pengantaran mereka pasca merger dengan Tokopedia.
Penelitian terbaru kami berusaha mendokumentasi bentuk-bentuk perlawanan semacam ini.
Dengan mengidentifikasi pola-pola perlawanan ini, kami ingin membuktikan bahwa pengendara Gojek memiliki kekuatan individual yang kuat dalam merespons sistem kerja yang eksploitatif meski dengan posisi tawar mereka yang lebih rendah secara sosial, politik, dan ekonomi.
Kami juga menemukan bahwa komunitas pengendara Gojek mengisi kekurangan tersebut dan mendukung berbagai bentuk perlawanan yang ada.
Hasil penelitian
Kami meneliti hampir 250 pengemudi Gojek laki-laki dan perempuan antara September-November 2019 dan 2020 (pada awal terjadi pandemi) di Yogyakarta. Penelitian melibatkan wawancara mendalam, diskusi kelompok terpumpun (focus group discussion), survei singkat, dan observasi langsung.
Kami memilih Yogyakarta karena kota ini memiliki pertumbuhan jumlah pengendara yang cukup signifikan dibanding kota-kota lainnya di Indonesia. Pada 2019, jumlah pengendara naik 92,5% menjadi 385 pengendara dari 200 orang pada tahun sebelumnya.
Kami menemukan bahwa bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan pengemudi Gojek di Yogyakarta berskala individual dan terbatas, pragmatis, jangka pendek, dengan tujuan untuk bertahan hidup.
Seorang ilmuwan politik Amerika Serikat, yang fokus pada masyarakat agraria, James Scott, menyebut model perlawanan ala pengemudi Gojek ini sebagai bentuk perlawanan sehari-hari (everyday resistance).
Scott menemukan model perlawanan ini di kelompok petani di Kedah, Malaysia pada awal 1980-an. Dia mengamati bagaimana para petani miskin ini mencuri segenggam beras dari lumbung majikannya untuk makan setiap hari.
Pemikir lainnya adalah Alison Brody, peneliti dari Inggris. Dia mengamati bentuk-bentuk perlawanan ini di kalangan pekerja kebersihan perempuan yang bekerja di mal-mal di Bangkok, Thailand. Kebanyakan para migran berasal dari desa yang sangat kental tradisi kekeluargaannya.
Brody menemukan bagaimana pekerja perempuan tersebut menyiasati sistem kerja yang melarang mereka ngobrol ketika bekerja dengan menemukan area yang jauh dari pemantauan bos agar mereka masih bisa mengobrol.
Di mata hukum, bentuk perlawanan ini melanggar aturan. Namun perlawanan macam ini biasanya dilakukan oleh individu yang tidak berdaya secara sosial, ekonomi dan politik. Sama seperti petani di Kedah dan pekerja kebersihan di Bangkok, pengemudi daring juga lemah posisinya.
Dari penelitian ini, kami berhasil mengidentifikasi setidaknya tiga bentuk perlawanan pengemudi Gojek di Yogyakarta.
1. Akun tuyul
Dengan membuat akun tuyul, pengemudi bisa menerima “order fiktif” yang membuat mereka tetap bisa mendapatkan order meski tidak sedang bekerja.
Pengemudi mendapatkan akun tuyul dengan menggunakan aplikasi tandingan yang sama dengan aplikasi resmi Gojek. Tidak jelas siapa yang membuat aplikasi tandingan ini, tapi beragam versinya tersirkulasi di group Telegram para pengendara Gojek.
Dengan menggunakan akun tuyul, pengemudi bisa mengakumulasi bonus dengan cepat, dengan tetap berada di rumah atau di bawah pohon rindang sambil beristirahat.
2. Terapi akun
Beberapa pengemudi Gojek yang berpengalaman memberikan jasa “terapi akun” ini kepada pengemudi lainnya agar kinerja mereka membaik. Jasa terapi akun biasanya ditawarkan oleh para pengemudi senior untuk membuat akun kliennya menjadi lebih responsif dalam menerima pesanan.
Di Yogyakarta, pengemudi Gojek menciptakan tiga istilah yang mengelompokkan akun yang mereka punya berdasarkan kinerjanya dalam menerima order : gacor, anyep, dan gagu.
Gacor artinya terlalu banyak bicara dalam bahasa Jawa. Ini istilah untuk akun yang cepat menangkap order karena si pengemudi rajin menerima pesanan mulai dari pagi hingga malam.
Anyep artinya tidak berasa dalam bahasa Jawa. Ini merujuk pada akun yang kecepatannya tidak menentu dalam mendapatkan order – kadang cepat, kadang lambat. Pemilik akun ini adalah pengendara yang tidak serajin pengendara akun gacor.
Gagu artinya tidak bisa bicara dan merujuk pada akun yang lama mendapat order karena pengemudi jarang menerima pesanan.
Melalui terapi akun, si pemberi jasa akan membersihkan memori ponsel kliennya dan menggunakan akun tersebut untuk menerima pesanan.
Akun biasanya sembuh ketika terus menerima pesanan dalam kondisi cuaca jelek. Ketika hujan, biasanya pengendara lain berteduh dan mematikan aplikasi mereka. Menerima pesanan dalam situasi ini, biasanya akan meningkatkan kinerja akun pengemudi, dari akun yang sulit menangkap pesanan (gagu atau anyep) menjadi akun yang mudah mendapat pesanan (gacor).
Di Yogyakarta, jasa untuk mendapatkan jasa terapi ini mencapai Rp 250.000 per akun pada 2020.
Hasil wawancara kami menunjukkan banyak pengemudi menawarkan jasa akun terapi ini untuk mendapat pemasukan tambahan di tengah semakin tingginya kompetisi antarpengemudi.
3. Akun joki
Ini adalah praktik jual-beli atau meminjamkan akun pada orang lain secara komersial.
Harganya tergantung status keaktifan akun. Akun gagu atau anyep jelas akan lebih murah daripada akun gacor.
Biasanya beberapa pengemudi yang sudah profesional membeli akun-akun tidak aktif kemudian melakukan terapi pada akun-akun sehingga mereka menjadi aktif, sebelum akhirnya menjualnya dengan harga sekitar Rp 2,5 juta di Yogyakarta.
Sementara untuk penyewaan besarnya Rp 600.000 per bulan. Di kota lain harganya bisa lebih tinggi.
Apa artinya?
Gojek sebenarnya sudah memahami keberadaan semua praktik di atas, terutama akun tuyul. Mereka juga telah melakukan berbagai upaya untuk memberantasnya.
Khusus terkait akun tuyul, Gojek telah berusaha mendisiplinkan pengemudi yang menggunakan akun tuyul lalu menonaktifkan akun mereka.
Tindakan perlawanan di atas memang bersifat terbatas dengan skala individual. Tindakan ini belum mampu menjawab persoalan struktural yang dihadapi para pengemudi dalam menghadapi hubungan kerja yang eksploitatif.
Namun penelitian kami menunjukkan bahwa pengendara Gojek adalah agen yang aktif dalam merespons situasi yang mereka hadapi.
Meskipun reaksi mereka tidak terorganisasi dalam aksi massal yang solid, perlawanan mereka menunjukkan adanya upaya kolektivitas dari kelompok tertindas. Misalnya ketika para pengemudi saling ngobrol dan bertukar info tentang bagaimana mengakali sistem yang ada.
Bentuk perlawanan yang terpisah-pisah dan berskala kecil ini adalah wujud konkrit politik sehari-hari warga yang tereksploitasi di bawah tekanan perusahaan aplikasi.(*)
The Conversation