PIRAMIDA.ID- Wacana ‘hebatnya desa’ tampaknya memang mirip cerita pahlawan, akan muncul pada saat paling genting dan buntu.
Seperti ketika wabah corona mengamuk di seluruh penjuru dunia sekarang ini, wacana desa kembali mengemuka karena desa terbukti memiliki sederet kesaktian melawan krisis ekonomi yang saat ini menghantam dunia.
Hebatnya desa terutama dari sisi ekonomi. Sebagai penghasil bahan pangan melalui sistem pertaniannya, ketahanan pangan warga jelas jauh lebih kuat dibanding kota yang semuanya harus membeli. Ibarat kata, kalau cuma urusan makan, tinggal petik sayur di kebun saja.
Hebatnya lagi, sebagian besar tanaman pangan yang dikonsumsi adalah tanaman organik atau semi-organik. Sehingga kualitas kesehatan mereka lebih baik.
Pertanyaannya kemudian, apa iya kepemilikan lahan pertanian dan pola hidup warga desa bisa menciptakan produktivitas ekonomi lebih tinggi atau hanya sekedar bisa menopang kebutuhan survival paling dasar?
Nah, inilah yang membedakan desa zaman dahulu dan zaman kekinian. Jika dulu desa diangap survive dari krisis karena ketahanan pangannya saja tapi tidak bisa menciptakan nilai lebih dari potensi itu, kini berbeda cerita.
Warga desa kini lebih melek pengetahuan mengenai peluang ekonomi di luar desanya. Ini terjadi terutama karena dukungan teknologi komunikasi yang kini bisa dinikmati siapa saja.
Teknologi komunikasi digital membuat warga desa bisa mengakses informasi seperti halnya warga kota. Fakta ini memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi warga desa.
Sekarang, warga desa terutama anak muda mulai paham bahwa desa sesungguhnya memiliki keunggulan hardware maupun software yang jika dikembangkan, bakal menjadi kekuatan ekonomi baru.
Melalui gadget berkoneksi internet, sekarang warga desa dengan leluasa bisa mendapatkan beragam informasi mengenai pengembangan kewirausahaan berbasis potensi lokal yang mereka miliki. Salahsatu faktanya, ribuan UMKM mulai menggunakan pemasaran online untuk mengembangkan pasar bagi produk mereka.
Bahkan ratusan desa kini mampu membangun ‘pasar digital’ sendiri meski masih berorientasi pasar domestik desa mereka.
Di sisi lain, ekonomi perkotaan terutama sistem ekonomi yang berkaitan dengan situasi ekonomi makro sedang menghadapi badai besar. Desa dengan seluruh isi di dalamnya mulai sadar bahwa mereka tak bisa lagi bergantung dengan kota.
Anggapan bahwa perkembangan desa tergantung apa yang sedang terjadi di kota, mulai bergeser menjadi kota bukan lagi tolok ukur dengan apa yang harus dilakukan desa.
Fenomena ‘kasat mata’ lainnya adalah kini warga di kawasan pedesaan sudah mulai pula menggunakan teknologi online untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Dihadapkan pada situasi pembatasan sosial akibat COVID-19, fenomena ini menjadi sebuah pola aktivitas sosial baru yang tak bisa dianggap remeh secara ekonomi.
Para ibu rumah tangga di pedesaan kini bisa dengan mudah menciptakan beragam menu makanan yang selama ini hanya ada di kota. Sekarang ini, Anda bisa mendapatkan aneka burger, pizza dan Friend Chicken dan aneka makanan lainnya dari jejaring media sosial desa.
Merek bukan lagi acuan utama warga desa membuat keputusan belanja. Kesadaranan pentinganya belanja ke warung tetangga juga sudah menjadi pertimbangan utama kini.
Maka sudah seharusnya, sederet fakta hebatnya desa ini didorong menjadi sebuah kekuatan baru yang lebih terstruktur oleh para stakeholder di desa agar menjadi sebuah kekuatan yang memiliki sustainability dan bisa menjadi ladang ekonomi baru bagi kawasan pedesaan.
Bayangkan jika ribuan desa saling berjejaring untuk menggunakan produk asli desa mereka, saling tukar dan saling beli. Rupiah tak akan kemana-mana.
Maka desa akan menjadi kekuatan ekonomi baru sekaligus menjadi benteng terakhir bagi bangsa ini menghadapi pageblug corona dan entah pageblug apalagi yang di masa depan sangat mungkin akan terjadi.
Maka, deretan kesaktian desa tidak akan lagi seperti kisah kepahlawanan. Melainkan telah menjadi pahlawan itu sendiri.
Sumber: Kongres Kebudayaan Desa
Editor: Red/Hen