Haz Algebra*
PIRAMIDA.ID- Sejak 2016, ratusan buku telah ditulis untuk menentukan momen krusial ini: menumbangkan Trump, mengakhiri populisme global, dan AS kembali ke “bussiness as usual” — melanjutkan proyek liberal global yang tertunda.
Dan tampaknya itu mungkin berhasil.
Untuk pertama kalinya sejak 1908, tingkat partisipasi pemilih AS sepertinya bisa melebihi 65% di #Election2020 ini; dan sebuah jajak pendapat di Eropa menemukan bahwa tidak lebih dari 20% responden di masing-masing tujuh negara yang disurvei menginginkan Trump menang.
Ini seolah memberi tahu dunia bahwa: kekuasaan bisa dicapai secara singkat lewat populisme, tapi, di dalam demokrasi yang efektif, itu akan sulit dipertahankan.
Memang, semua “preman populis” di dunia, kutip istilah Biden dalam kampanyenya, mengambil inspirasinya dari Trump.
Bolsonarista di Brazil adalah bentuk “Trumpisme Tropis” yang paling terus terang. Di Hongaria, “demokrasi-illiberal” yang diusung Orban adalah ekspresi ketidaksukaan pada liberalisme yang disebutnya sebagai “imperialisme moral” AS.
Di Inggris, populisme termanifestasi dalam wujud Brexit. Di Warsawa, partai yang berkuasa mengejar agenda berdasarkan apa yang mereka sebut “nilai-nilai keluarga” yang salah satunya, anti-LGBT.
Dan di Spanyol dan Italia, mereka terinspirasi langsung dari Trump untuk menggunakan patriotisme dalam menghadapi globalisme, bahwa “kami ingin mempertahankan produk, perusahaan kami, perbatasan kami, dan keluarga kami.”
Tetapi harus diakui pula, menumbangkan Trump bukan berarti menumbangkan Trump-isme segampang membalikkan telapak tangan. Dan kemenangan Biden tidak akan serta merta membuat proyek liberalisme sekonyong-konyong kembali seperti era Obama.
Di dalam negeri AS, perpecahan yang terjadi akibat toksik populisme terlalu mengakar sehingga proses pemulihannya akan menuntut kebijakan dan janji-janji “populis” di atas retorika pemersatu belaka, dan Biden bisa dipastikan akan beradaptasi dengan itu.
Dan dengan latar belakang pandemi Covid-19, dan sepanjang para intelektual progresofobik tetap menelurkan narasi-narasi kekecewaan terhadap moral liberal global, nasionalisme populis di seluruh dunia tetap akan bertahan untuk beberapa waktu atau mungkin bermunculan entah dalam bentuk yang lain.
Namun demikian, meskipun banyak dari rezim populis di seluruh dunia menggambarkan diri mereka sebagai “anti-liberal”, pada dasarnya tidak satu pun dari mereka yang menolak liberalisme secara keseluruhan.
Moral liberal global ini secara utuh memiliki enam komponen utama.
Di bidang ekonomi, liberalisme berarti menegakkan (1) pasar bebas di dalam negeri, dan (2) perdagangan bebas antar negara.
Di bidang politik, liberalisme mendukung (3) pemilihan bebas di dalam negeri, dan (4) kerja sama damai antar negara.
Di ruang privat, liberalisme membela (5) kebebasan pribadi di dalam negeri, dan (6) kebebasan bergerak [individu] antar negara.
Yang dilakukan oleh Trump dan kaum populis dunia adalah memilah-milih satu atau beberapa komponen liberalisme untuk diadopsi sembari mengabaikan komponen yang lain.
Tentu saja ini adalah pendekatan yang keliru mengingat ada hubungan yang erat dan esensial antara keenam komponen tersebut.
Ibarat organ-organ tubuh yang saling terkoneksi satu sama lain agar bisa berfungsi, suatu negara yang ingin menikmati satu komponen liberalisme, seperti liberalisasi ekonomi, tidak akan punya pilihan selain harus mengadopsi komponen lainnya juga.
Siapa pun tidak bisa memiliki satu tanpa yang lain, karena kemajuan di satu komponen mana pun mengharuskan dan merangsang kemajuan pada komponen lainnya.
Demokrasi sangat penting bagi keberhasilan pasar bebas; kebebasan pribadi sangat penting bagi demokrasi; dan pasar bebas pada gilirannya memupuk kebebasan pribadi.
Jika demokrasi adalah otak, maka pasar bebas adalah jantung, dan kebebasan pribadi adalah paru-paru.
Hari ini, jika Trump benar-benar kalah, itu mungkin bukanlah pertanda bahwa populisme global sedang melemah dari dalam, melainkan sebuah petunjuk bahwa, dalam dentum dan detak kemajuan sejarah yang tak terelakkan, resep utuh liberalisme tidak bisa ditawar-tawar atau dipilah-pilih.
Kekalahan Trump mungkin adalah sebuah pelajaran bahwa AS tidak bisa benar-benar mempromosikan pasar bebas di dalam negaranya sembari merusak perdagangan bebas di tingkat global. Dan ini akan menjadi pelajaran penting bagi kaum populis dunia bahwa:
Anda tidak bisa terus menikmati buah dari liberalisasi ekonomi tanpa membuat gerakan ke arah liberalisasi politik; Anda tidak bisa memiliki demokrasi tanpa ada kebebasan pribadi; dan perdamaian internasional tidak bisa bertahan jika Anda terus membangun tembok perbatasan dan mendorong perang dagang.
Kenaikan Trump di 2016 adalah momen dan monumen di mana dunia pernah berada dalam kekecewaan berat terhadap liberalisme global. Tapi hari ini perlahan dunia tampak menyadari bahwa perasaan dan tindakan mereka adalah keliru.
Di Perancis, Macron yang sempat terpilih secara populis tiba-tiba bersikap “anti-populis” dengan memilih memperkuat nilai-nilai liberal Pencerahan alih-alih tunduk dan berkompromi pada desakan populis dunia.
Kita mungkin akan segera melihat hal serupa terjadi pada komponen liberal lainnya jika Biden benar-benar kelak terpilih.
Dengan Biden alih-alih Trump, kita tidak tahu pasti apa yang akan terjadi. Tapi kita boleh optimistis bahwa “sejarah” yang sempat tertunda, bisa berlanjut kembali.(*)
Penulis merupakan science enthusiast. Pengurus DPD KNPI Sulut.