Piramida.id
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy
Kamis, September 18, 2025
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
Piramida.id
  • Berita
  • Dialektika
  • Dunia
  • Edukasi
  • Ekologi
  • Ekosospolbud
  • Kabar Desa
  • Pojokan
  • Sains
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Spiritualitas
Home Dialektika

Dunia Puisi, Masih Disebabkan Chairil Anwar

by Redaksi
19/09/2022
in Dialektika
101
SHARES
720
VIEWS
Bagikan ke FacebookBagikan ke WhatsappBagikan ke Telegram

Oleh: Budi P. Hatees*

PIRAMIDA.ID- Pada dekade 1950-an dan 1960-an, tahun-tahun keemasan dalam kepenyairan di Indonesia karena banyak anak muda yang bercita-cita jadi penyair. Mereka pembaca setiap puisi-puisi Chairil Anwar, karena pada saat itu hanya Chairil Anwar yang dianggap penyair.

Masih ada Sutan Takdir Alisjahbana, sesepuh penyair yang kemudian lebih memilih sebagai ahli bahasa Indonesia, tapi puisi-puisinya tak lagi dibaca meskipun bukunya, Dian Nan Tak Kunjung Padam, jadi salah satu buku yang harus dihafal anak-anak sekolah. Ada juga Amir Hamzah yang puisinya punya akar yang kuat pada Indonesia, dan buku puisinya tetap dibaca. Tapi, generasi muda para penyair lebih berkiblat kepada Chairil Anwar, lalu mereka menulis puisi yang beraroma artistik puisi Chairil Anwar.

Puisi-puisi Chairil Anwar adalah patron, modul dalam menulis puisi. Munculah puisi dari penyair Subagio Sastrowardoyo, Gonawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan lain sebagainya. Puisi-puisi pertama mereka, ditulis ketika dunia kepenyairan begiti idwntik dwngan Chairil Anwar, sebab semua orange membicarakannya.

Di negeri ini, segala sesuatu cepat jadi buah bibir. Segala pembicaraan, tentang apa saja, selalu berinkubasi di dalam kepala orang Indonesia yang berkembang sekian lama sebagai mahluk orality, yang mengandalkan ujung lidahnya ketimbang volume isi kepalanya. Segala pembicaraan tentang Chairil Anwar, yang berkembang pada dua dekade setelah kematiannya, berasal dari ujung lidah para pembicara.

Mereka terlihat hebat jika bisa fasih bercerita tentang Chairil Anwar meskipun nyaris tak pernah secara serius melihat puisi-puisi yang membuat Chairil Anwar dibicarakan. Semua pembicaraan yang keluar dari lidah, tak akan pernah jauh dari basa-basi dan puja-puji, yang kemudian beralhir jadi mistifikasi.

A Teeuw, orang Belanda itu, memuji Chairil Anwar. Pada masa itu, Teeuw punya posisi penting sebagai “pembaiat” siapa saja yang akan jadi penyair, dan tinggal membicarakan karya mereka yang kemudian dikumpulkan dalam buku.

HB Jassin pun seperti itu, menulis apresiasi karya sastra, dan pilihan seperti ini diikuti Pamusuk Eneste menulis biografi (pengakuan) para sastrawan atas kreativitas mereka dalam berkarya. Semua pembicaraan itu, yang kemudian berbentuk buku, hanya dihasilkan oleh lidah seperti ketika orang bercerita bahwa dirinya seorang penyair tapi kita tak tahu kenapa dia disebut penyair.

Kenapa seseorang disebut penyair? Jawabnya, karena mereka menulis puisi. Tapi, apakah betul yang mereka tulis puisi?

Mestinya, seseorang disebut penyair bukan karena dia menulis puisi, tetapi karena dia bisa menjelaskan apa itu puisi dan orang-orang menerima penjelasannya itu sebagai pengetahuan tentang puisi.

Sayangnya, di dalam buku-buku tentang proses kreatif para penyair, kita tak menemukan pengetahuan tentang puisi. Yang ada hanya kisah luar biasa para penyairengjasilkan puisi seperti kisah Subagio Sastrowardoyo memghasilakan kimpulan Simphoni atau Hari dan Hara.

Kisah menghasilkan puisi seperti itu bisa kita baca pada tulisan Teuw ketika dia mengisahkan bagaimana Gunawan Mohamad menghasilakn puisi dalam buku Asmaradana. Di dalam tulisan Teuw itu kita tak menemukan sebuah pengetahuan tentang puisi.

Situasi inilah yang terjadi di dunia puisi kita. Ini disebabkan Chairil Anwar, eh, disebabkan prang-orang yang terlalu ingin jadi seperti Chairil Anwar. Menjadi penyair karena ingin populer, maka tahapan-tahapan dalam proses belajar bisa dilewati dengan hanya menulis puisi berdasarkan pola puisi yang sudah ada. Itu tak sulit. Hanya perlu membaca puisi, lalu menulis dengan tipolografi puisi, maka jadilah puisi.

Suatu hari, seorang penyair berkata kalau dia sudah menemukan esensi puisi. Ketika saya desak, ternyata yang dia maksud adalah dia menulis puisi dengan tipografi rata sebelah kanan, sementara puisi yang ada dominan rata sebelah kiri.

Kalau tipografi esensi puisi, maka FX Rudy yang menerbitkan puisi rupa lebih esensial lagi. Atau, tipografi puisi Hamid Jabar dan Sutarzi Calzoum Bachri bisa jadi pendahulu yang layak dikenang. Tapi, puisi bukan perkara tipografi, melainkan perkara yang lebih luas dan esensial lagi.

Lantas, apakah esensi puisi adalah “kaidah” dan “akidah” seperti dalam judul buku Sofyan RH Zaid yang baru terbit dengan branding pasar seakan-akan buku itu kitab ajaib yang wajib dibaca. Entahlah. Yang jelas, dunia puisi kita akan melahirkan prang yang menganggap puisi sebagai puncak cita-citanya, dan kemudian muak terhadap puosi karena dia tidak bisa populer seperti Joko Pinurbo atau Maman A Mansyur.(*)


Penulis merupakan jurnalis dan sastrawan. Banyak menulis esai pendek di laman Facebook: Budi Hutasuhut.

Tags: #budihutasuhut#Indonesia#puisi#Sastra#sejarah
Share40SendShare

Related Posts

Menantang Narasi Pikiran Ferry Irwandi Desak Reformasi Total Polri

05/09/2025

PIRAMIDA.ID - Seruan Ferry Irwandi dalam beberapa media berita online yang mendesak “reformasi total Polri” terdengar lantang, tetapi jika ditelisik...

Pidato Lengkap Jefri Gultom di Dies Natalis GMKI ke-74: Bangkit Ditengah Pergumulan

26/02/2024

Bangkit Ditengah Pergumulan Pidato 74 tahun GMKI Jefri Edi Irawan Gultom Para peletak sejarah selalu berpegang pada prinsip ini, ‘’perjalanan...

Pewaris Opera Batak

11/07/2023

Oleh: Thompson Hs* PIRAMIDA.ID- Tahun 2016 saya menerima Anugerah Kebudayaan dari Kemdikbud (sekarang Kemendikbudristek) Republik Indonesia di kategori Pelestari. Sederhananya,...

Mengapa Membahas Masa Depan Guru “Dianggap” Tidak Menarik?

01/05/2023

Oleh: Agi Julianto Martuah Purba PIRAMIDA.ID- “Mengapa sejauh ini kampus kita tidak mengadakan seminar tentang tantangan dan strategi profesi guru di...

Membangun Demokrasi: Merawat Partisipasi Perempuan di Bidang Politik

14/04/2023

Oleh: Anggith Sabarofek* PIRAMIDA.ID- Demokrasi, perempuan dan politik merupakan tiga unsur yang saling berkesinambungan satu dengan yang lain. Berbicara mengenai...

Dari Peristiwa Kanjuruhan Hingga Batalnya Indonesia Tuan Rumah Piala Dunia U-20

03/04/2023

Oleh: Edis Galingging* PIRAMIDA.ID- Dunia sepak bola tanah air sedang merasakan duka yang dalam. Kali ini, duka itu hadir bukan...

Load More

Tinggalkan KomentarBatalkan balasan

Terkini

Berita

Ungkap Kasus Peredaran dan TPPU Narkoba, BNN Amankan Aset Puluhan M dan Musnahkan Barang Bukti Narkotika

15/09/2025
Berita

Mahasiswa STGH Tegas: Dukung Ephorus HKBP Tutup TPL

14/09/2025
Berita

BNN RI Bergerak Cepat: 18 Hari, 11 Jaringan Narkotika Dilumpuhkan

13/09/2025
Sorot Publik

Dakwah Habib Rizieq Hak Konstitusional, ILAJ Minta Polres Tangkap Yang Menghalangi Kebebasan Beragama di Siantar

12/09/2025
Berita

Gagal Ungkap Kasus Dugaan Pungli : Anak Muda Simalungun Desak Kejati Sumut Copot Kajari dan Kasi Pidsus Kab. Simalungun

12/09/2025
Berita

17 Oktober Kasus Selesai, Kajari diminta mundur Jika tak tepati janji

12/09/2025

Populer

No Content Available
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau tobasumber

No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau tobasumber

xnxx
xnxx
xnxx
xnxx