Piramida.id
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy
Selasa, Juni 17, 2025
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
Piramida.id
  • Berita
  • Dialektika
  • Dunia
  • Edukasi
  • Ekologi
  • Ekosospolbud
  • Kabar Desa
  • Pojokan
  • Sains
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Spiritualitas
Home Dialektika

Food Estate Bukanlah Solusi

by Redaksi
31/10/2020
in Dialektika
103
SHARES
734
VIEWS
Bagikan ke FacebookBagikan ke WhatsappBagikan ke Telegram

Alboin Samosir*

PIRAMIDA.ID- Pada periodenya yang kedua, Presiden Joko Widodo tampaknya begitu ambisus untuk menuntaskan program kerja yang ia canangkan.

Dimulai dari disahkannya Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja dan yang teranyar, proyek food estate sebagai bentuk impelementasi ketahanan pangan (red: swasembada pangan) yang termaktub di Nawacita di periode pertamanya dan respon terhadap ancaman krisis pangan akibat pandemic COVID-19.

Oktober, manjadi bulan yang sibuk bagi rezim ini.

Pasca disahkanya Omnibus Law Cipta Kerja pada tanggal 5 Oktober lalu, Presiden Joko Widodo berturut-turut melakukan kunjungan kerja ke daerah di mana proyek food esatate sedang digarap.

Pertama, 8 Oktober Jokowi mengunjungi Pulang Pisua, Kalimantan Tengah; hari di mana terjadi aksi besar-besaran di beberapa daerah termasuk Jakarta melakukan penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Kedua, beberapa minggu kemudian Joko Widodo bertolak ke Humbang Hasundutan, Sumatera Utara untuk meninjau proyek yang sama.

Berbicara tentang food estate sesungguhnya bukanlah yang baru di Indonesia. Proyek ambisius ini pernah dilakukan di rezim orde baru Soeharto yang ditandai dengan diterbitkanya Keputusan Presiden Nomor 82 tahun 1995. Hal yang sama diulang kembali di era Susilo Bambang Yudhoyono. Dan kini Joko Widodo akan mencoba mengulangi proyek ambisius ini.

Lantas apa sebenarnya food estate itu? Benarkah dengan cara ini mampu menjawab ketahanan pangan bangsa ini? Dan mampukah proyek ini menjawab tantangan para petani, sekaligus meningkatkan kesejahteran petani?

Food estate secara padanan kata belum ditemukan di Indonesia, namun harfiah food estate adalah perusahaan perkebunan, pertanian pangan. Dilansir dari Indonesia.go.id, food estate merupakan konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di satu kawasan yang sama.

Program food estate ini merupakan salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Luas lahan yang akan digarap dalam proyek ini adalah 164.598 Hektar dengan rincian lahan intensifikasi seluas 85. 456 Hektar dan lahan ekstensifikasi seluas 79. 142 Hektar. Untuk pengerjaan tahap awal dimulai dengan 10.000 Hektar di Kabupaten Pulang Pisau, Kapuas 20.000 Hektar, dan 30.000 Hektar di Humbang Hasundutan.

Dan tidak menutup kemungkinan untuk daerah-daerah lain, termasuk di Papua yang sudah memulai proyek yang sama.

Joko Widodo dalam kunjungannya ke Pulang Pisau, Kalimantan Tengah mengatakan, “Pengembangan kawasan lumbung pangan digarap berskala besar sehingga mekanisasi alat-alat modern sangat diperlukan dan kombinasi kombinasi model bisnis akan diterapkan di kawasa food estate ini.”

Hal senada disampaikan Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pertanian, “Pengembangan kawasan food estate dilakukan dengan optimalisasi lahan rawa secara intensif guna meningkatkan produksi dan indeks pertanaman (IP).”

Ia juga menambahkan upaya ini dapat menciptakan lapangan kerja di pedesaan, pemberian perlindungan sosial, meningkatkan pendapatan keluarga petani, serta memastikan ketahanan pangan nasional.

Benarkah demikian? Penulis akan coba mengulas problema dari proyek ambisius ini dan mengapa kita harus menolaknya.

Pertama, Philip Mc Michael dalam bukunya yang berjudul “Rezim Pangan dan Masalah Agaria”, mengkategorikan food estate sebagai salah satu bentuk pengusaan lahan yang bersifat liberal dan kapitalistik. Artinya, program ini akan membuka kran seluas-luasnya kepada para pemodal untuk datang menguasai lahan-lahan pertanian yang ada di Indonesia, termasuk mengekspansi hutan yang hari ini sudah diijinkan oleh Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Sederhananya, program ini akan turut serta melegalkan perampasan lahan (land grabbing).

Masuknya pemodal bukanlah isapan jempol belaka, hal ini bisa dlihat dari terdapatnya enam perusahaan swasta-nasional yang sudah siap mengucurkan dananya untuk menggarap agribisnis di Merauke Integred Food and Energy Estate (MIFEE), di antaranya Bangun Tjipta, Medco Grup, Comeindo Internasional, Digul Agro Lestari, Buana Agro Tama, dan Wolo Agra Makmur. Tentu saja, daerah-daerah food estate dibuat, bukan tidak mungkin dijajaki oleh para pemodal.

Pengelolaan pangan secara kapitalistik ini saja akan melahirkan permasalahan baru ke depannya serta akan menata ulang struktur pertanian-pangan, melancarkan kedigdayaan yang mengintegrasikan rantai pangan dengan melakukan standarisasi proses di banyak tempat atau membentuk ulang relasi spasial sebagai serentetan elemen yang dianekaragamkan dalam sebuah proses global bersama (McMichael 1994:3).

Penataan ulang struktur pertanian pangan ini secara tidak langsung menjerat negara yang harus tunduk kepada kepentingan pemodal. Pola kapitalisme yang bersifat akumulasi, dan keuntungan yang seluas-luasnya akan melibatkan proses-proses pemiskinan reproduksi sehingga klaim-klaim mengenai kemajuan atau pembangunan atau keamanan pangan, sungguh perlu dipertanyakan.

Selain itu jebakan kapitalisme ini juga akan berdampak terhadap perubahan corak petani. Dari yang sebelumnya peasant based atau family based agriculture menjadi corporate based food and agriculture production.

Perubahan ini tentu akan menjadi semacam shock culture, seperti yang dikatakan oleh Moyuend, wakil ketua masyarakat adat, “Penerapan food estate di Papua kurang tepat karena pemerintah akan membuat suatu loncatan dari masyarakat yang sampai saat ini masih meramu sendiri makanannya ke arah yang lebih tinggi. Masyarakat papua yang masih tradisional akan terpinggirkan jika pengelolaan tanah beralih ke sistem yang lebih modern.”

Tentu akan terjadi hal yang sama di beberapa daearah di Indonesia yang sampai saat ini masih mempertahankan pola tradisional dan selaras dengan alam.

Perubahan pola pertanian-pangan ini akan mempercepat proses transformasi petani menjadi buruh tani. Tentu saja perubahan ini akan bersinggungan dengan tingkat kesejahteraan para petani. Apabila terjadi pengabaian maka akan terjadi ironi rezim pangan di mana sebagian besar orang yang menderita adalah para pekerja penghasil pangan.

Seorang pekerja Karibia pernah mengatakan, “Di banyak kesempatan, kami memakan apa yang kami tanam, kami memproduksi makanan, tetapi kami tidak sanggup membeli makanan untuk memberi makan diri kami sendiri.”

Ironi semacam sudah pasti akan menghantui.

Kedua, sebagian besar lahan food estate terutama yang ada di Pulau Kalimantan merupakan eks Pengembangan Lahang Gambut (PLG) yang terbukti gagal di era Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Seharusnya pemerintah dapat belajar dan mengevaluasi kembali program ini. Dampak dari kegagagalan ini justru melahirkan bencana ekologis, banjir, dan langganan kebakaran hutan ketika fenomena el-nino datang.
Pun program food estate ini akan mengancam keberlangsungan lahan gambut. Dikutip dari berbagai sumber, lahan gambut merupakan ekosistem unik dan penting bagi keseimbangan iklim, perlindungan biodiversitas lahan basah dan untuk menghindari pinyakit zoonis dari perusakan alam. Maka, dapat ditarik kesimpulan proyek food estate ini tidak mengedepankan keadilan ekologi.

Ketiga, proyek ambisius program ini rawan menyingkirkan masyarakat adat. Resiko ini masih sejalan dengan penolakan pada poin pertama. Kebijakan food estate yang sedari awal minim proteksi akan serta merta menyingkirkan masyarakat adat yang berada dalam kawasan food estate. Pola pendekatan modern dalam food estate akan membuat masyarakat adat mengungsi dari tanahnya sendiri.

Lantas, apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah?
Permasalahan yang paling klasik di Indonesia, yaitu penguasaan lahan yang sangat timpang. Ketimpangan distribusi penguasaan tanah terlihat jelas di sektor pertanian. Sensus pertanian pada 2013 menunjukkan bahwa 1,5 juta petani kaya (6,16 persen dari total rumah tangga petani di Indonesia) menguasai lahan seluas 8,63 juta hektar atau rata-rata 5,37 hektar per petani. Bandingkan dengan 14,2 juta petani gurem (55, 30) persen yang hanya menguasai 2,67 juta hektar atau rata-rata 0,18 hektar per petani (dikutip dari tempo.co).

Maka, seharusnya pemerintah bisa fokus pada kerja-kerja menuntaskan reforma agraria yang sampai hari ini masih berjalan stagnan. Jalankan reforma agraria sejati, tidak hanya legalisasi (bagi-bagi sertifikat) tetapi juga pada redistribusi lahan kepada meraka yang berada di grass root (akar rumput), seperti buruh tani, petani gurem, petani landless, dan orang yang membutuhkan.

Mengembalikan fungsi sosial tanah seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Dan perlunya political will untuk mengimplementasikan Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Via Campesina. Ia mengatakan, “Pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan untuk memulihkan kondisi ekonomi petani kecil dengan membagi secara adil sumberdaya-sumberdaya untuk produksi (air, hutan, gen lokal, dan wilayah pesisir) kepada petani, mengakui hak mereka sebagai kekuatan yang berperan membentuk masyarakat, dan mengakui hak komunitas dalam mengelola sumber daya lokal.”

Satu hal yang perlu diingat oleh Presiden Joko Widodo adalah kebijakan ambisius ini bisa saja mempercepat pembangunan, bisa saja menghasilkan pendapatan yang luar biasa, tetapi akan berapa banyak hutan yang akan mengalami deforestasi, berapa banyak masyarakat adat yang akan tergusur, berapa banyak kerusakan lingkungan yang akan terjadi? Dan berapa banyak angka kemiskinan yang semakin meningkat? Di mana proyek tidak lebih dari menguntungkan segelintir orang saja di negeri ini.

Terakhir, penulis ingin mengutip pendapat Addeke Boerma yang mengatakan, “Pangan tidak seperti komoditas lain. Jika umat manusia sungguh punya hak atas hidup, maka mereka punya hak atas pangan.”


Penulis merupakan Ketua Lembaga Agraria dan Kemaritiman PP PMKRI periode 2020-2022.

Tags: #foodestate#ketahananpangan#nawacita#polemik#rezimheadline
Share41SendShare

Related Posts

Pidato Lengkap Jefri Gultom di Dies Natalis GMKI ke-74: Bangkit Ditengah Pergumulan

26/02/2024

Bangkit Ditengah Pergumulan Pidato 74 tahun GMKI Jefri Edi Irawan Gultom Para peletak sejarah selalu berpegang pada prinsip ini, ‘’perjalanan...

Pewaris Opera Batak

11/07/2023

Oleh: Thompson Hs* PIRAMIDA.ID- Tahun 2016 saya menerima Anugerah Kebudayaan dari Kemdikbud (sekarang Kemendikbudristek) Republik Indonesia di kategori Pelestari. Sederhananya,...

Mengapa Membahas Masa Depan Guru “Dianggap” Tidak Menarik?

01/05/2023

Oleh: Agi Julianto Martuah Purba PIRAMIDA.ID- “Mengapa sejauh ini kampus kita tidak mengadakan seminar tentang tantangan dan strategi profesi guru di...

Membangun Demokrasi: Merawat Partisipasi Perempuan di Bidang Politik

14/04/2023

Oleh: Anggith Sabarofek* PIRAMIDA.ID- Demokrasi, perempuan dan politik merupakan tiga unsur yang saling berkesinambungan satu dengan yang lain. Berbicara mengenai...

Dari Peristiwa Kanjuruhan Hingga Batalnya Indonesia Tuan Rumah Piala Dunia U-20

03/04/2023

Oleh: Edis Galingging* PIRAMIDA.ID- Dunia sepak bola tanah air sedang merasakan duka yang dalam. Kali ini, duka itu hadir bukan...

Prinsip-Prinsip Disiplin Kelas

02/04/2023

Oleh: Muhammad Muharram Azhari* PIRAMIDA.ID- Pengertian disiplin menurut Elizabeth Hurtock mengemukakan bahwa; Disiplin itu berasal dari kata "discipline", yaitu seseorang...

Load More

Tinggalkan KomentarBatalkan balasan

Terkini

Berita

Refleksi Hari Lahir Pancasila, Fawer Sihite: Kita Harus Dengarkan Hati Nurani Rakyat

01/06/2025
Berita

Kalah Sebagai Calon Ketua Umum, Fawer Sihite Pastikan Dukung Kepemimpinan Prima Surbakti dan Jessica Worouw di GMKI

28/05/2025
Berita

Aliansi Mahasiswa Siantar Se-Jabodetabek Akan Kepung Mabes Polri: Tuntut Penangkapan Wali Kota Wesli Silalahi

11/05/2025
Berita

Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH): Penegakan Hukum atau Alibi Militerisasi Atas Nama Konservasi?

09/05/2025
Berita

Ketua Front Justice: Kepemimpinan Wesly Silalahi Dinilai Gagal, Siantar Mengarah ke Kemunduran dan Kota Gelap

07/05/2025
Berita

GMKI Cabang Bandar Lampung Ungkap Krisis Kepolisian di Daerah Lampung: “Kekuasaan Tanpa Kendali, Rakyat Tanpa Perlindungan”

01/05/2025

Populer

Dunia

Sumber Air Bersih dan Air Minum di Arab Saudi

07/06/2020
Dialektika

Prinsip-Prinsip Disiplin Kelas

02/04/2023
Pojokan

Pesan Tersembunyi Ki Narto Sabdo Dalam Lagu Kelinci Ucul

23/09/2020
Berita

Ketua Front Justice: Kepemimpinan Wesly Silalahi Dinilai Gagal, Siantar Mengarah ke Kemunduran dan Kota Gelap

07/05/2025
Berita

Aliansi Mahasiswa Siantar Se-Jabodetabek Akan Kepung Mabes Polri: Tuntut Penangkapan Wali Kota Wesli Silalahi

11/05/2025
Ekologi

Mengenal Prof. Mr. St. Munadjat Danusaputro, Guru Besar Hukum Lingkungan Hidup

22/06/2020
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba

No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba