Piramida.id
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy
Selasa, Juni 17, 2025
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
Piramida.id
  • Berita
  • Dialektika
  • Dunia
  • Edukasi
  • Ekologi
  • Ekosospolbud
  • Kabar Desa
  • Pojokan
  • Sains
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Spiritualitas
Home Dialektika

Mazhab Frankfurt, Axel Honneth dan Teori Pengakuan

by Redaksi
24/09/2020
in Dialektika
219
SHARES
1.6k
VIEWS
Bagikan ke FacebookBagikan ke WhatsappBagikan ke Telegram

Fitzerald Kennedy Sitorus*

PIRAMIDA.ID- Tokoh-tokoh dan pemikiran para filsuf yang bernaung di bawah nama Mazhab Frankfurt ini sedikit banyak sudah dikenal oleh publik filsafat di Tanah Air. Tokoh-tokoh itu antara lain Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Herbert Marcuse, Jürgen Habermas. Saya akan berbicara mengenai pemikiran mereka, tapi hanya secara singkat.

Yang akan lebih panjang saya bicarakan adalah tokoh Mazhab Frankfurt yang sekarang sedang di puncak popularitas dan pengaruhnya, yakni Prof. Axel Honneth.

Honneth adalah generasi ketiga mazhab ini (Horkheimer, Adorno, Marcuse termasuk generasi pertama, sementara Habermas generasi kedua). Honneth juga sekarang menjabat profesor di Columbia University di AS. Tahun lalu ia pensiun dari jabatan direktur di Insitut für Sozialforschung (Institut untuk Penelitian Sosial), markas Teori Kritis di Universitas Frankfurt, tapi masih aktif mengajar dan memberikan seminar.

Honneth mengembangkan pemikirannya dengan mengkritik para pendahulunya. Ia mengkritik Habermas. Menurutnya, Habermas tidak cukup sensitif terhadap dimensi kekuasaan dalam masyarakat. Dalam teori diskursus-nya, Habermas mengandaikan komunikasi yang bebas dan setara.

Menurut Honneth, hal itu tidak mungkin. Di sini, Honneth menggunakan pemikiran Michel Foucault mengenai kekuasaan. Menurut Foucault, kekuasaan itu terdapat di mana-mana; ia mendefinisikan kekuasaan sebagai “kemampuan menstrukturkan tindakan orang lain.”

Sesuai dengan pengertian itu, tidak pernah ada situasi yang bebas dari kekuasaaan. Dan karena itu, pengandaian tindakan komunikatif Habermas itu tidak mungkin. Honneth juga memperlihatkan bahwa basis normatif teori Habermas kurang kuat.

Dengan metode “transendensi dalam immanensi” Honneth kemudian mengembangkan teorinya yang disebut Teori Pengakuan (theory of recognition, Theorie der Anerkennung).

Ini konsep yang diambil alih dari Hegel (“Dialektika Tuan dan Budak”). Buku Honneth yang membuatnya menjadi pusat perhatian berjudul ‘Struggle for Recognition (Kampf um Anerkennung)’. Dengan konsep pengakuan ini, Honneth (dan Hegel) mengatakan bahwa berbagai konflik sosial, perjuangan atau kerja keras masing-masing individu dalam merealisasikan dirinya tidak lain dari usaha untuk memperoleh pengakuan (recognition).

Tujuan tertinggi individu adalah untuk memperoleh pengakuan dari pihak lain. Inti pemikiran filsafat sosial Honneth terjangkarkan dalam konsep pengakuan ini: berbagai konflik sosial yang terjadi dewasa ini tidak lain dari perjuangan untuk memperoleh pengakuan (struggle for recognition). Rekognisi tidak lain dari pengakuan akan hak-hak dan identitas seseorang atau sebuah kelompok sosial tertentu.

Dalam masyarakat modern, berbagai kelompok sosial, misalnya kaum LGBT, dan kelompok-kelompok minoritas lainnya berjuang untuk memperoleh pengakuan dan itulah yang menurut Honneth menjadi “tata bahasa moral dari konflik-konflik sosial.” (dalam Axel Honneth, Kampf um Anerkennung. Zur moralischen Grammatik sozialer Konflikte, Frankfurt/M.: Suhrkamp, 1992).

Rekognisi, kata Honneth, adalah struktur normatif kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Rekognisi menjadi prinsip penataan masyarakat sehingga prinsip tersebut harus mencakup semua bidang kehidupan yang berperan penting dalam formasi identitas sosial maupun individual. Rekognisi yang tidak menjamin redistribusi (mis: untuk hidup layak) tentu, dalam konsepsi Honneth, bukanlah rekognisi, sebab hal tersebut akan mengakibatkan munculnya pengalaman tidak dihargai atau tidak diakui dalam diri individu atau kelompok sosial tertentu.

Honneth kemudian juga mengembangkan sebuah teori keadilan sebagai rekognisi. Jika sebelumnya keadilan banyak dipahami sebagai eliminasi ketidaksamaan, Honneth mendefinisikan keadilan sebagai pengakuan dalam arti respek.

Di sini yang ditekankan bukanlah kesamaan, melainkan bagaimana agar martabat (dignity) setiap orang dan kelompok dihargai (dan ini juga mencakup redistribusi kekayaan). Term-term keadilan dalam konsepsi Honneth bukan lagi distribusi yang sama rata atau economic equality, melainkan social respect dan dignity (martabat).

Keadilan adalah situasi ketika orang atau sebuah kelompok tidak diusahakan agar pendapatan atau status ekonominya sama, melainkan kalau hak dan martabatnya dihargai sesuai dengan harapan individu atau kelompok tersebut.

Negara dalam hal ini bertugas sebagai institusionalisasi prinsip-prinsip rekognisi agar tercipta mutual recognition di antara anggota atau kelompok-kelompok masyarakat. Keberhasilan negara diukur dari fakta sampai sejauh mana ia mampu menciptakan mutual recognition di antara warganya sehingga masing-masing anggota atau kelompok memiliki identitas personal yang sehat, saling mengakui dan dengan demikian dapat merealisasikan dirinya dalam kehidupan sosial dengan baik.

Masyarakat yang baik adalah masyarakat di mana hal-hal tersebut dapat terwujud.

Dengan teori pengakuan dan teori keadilan Honneth, kita misalnya dapat mengatakan bahwa (untuk mengambil contoh di Tanah Air), konflik yang terjadi di Papua adalah juga perjuangan untuk memperoleh pengakuan. Orang Papua menuntut agar mereka diakui dan diperlakukan secara adil. Tapi keadilan dan pengakuan yang mereka inginkan bukanlah agar mereka memperoleh seperti apa yang diperoleh orang lain di Jawa atau di bagian lain Indonesia, melainkan agar martabat dan identitas mereka diakui sebagaimana yang mereka harapkan.

Dan pengakuan akan martabat juga sudah barang tentu mencakup pengusahaan kehidupan yang layak bagi mereka (isu ini menjadi salah satu pokok perdebatan Honneth dan Nancy Fraser).

Dengan konsep keadilan sebagai rekognisi, Honneth bisa merancang sebuah teori keadilan yang bersifat pluralistik. Keadilan bukanlah kondisi di mana semua orang berada dalam kondisi atau status yang sama, melainkan kondisi di mana setiap orang atau kelompok dihargai harkat dan martabatnya dan dengan demikian ia dapat merealisasikan dirinya dengan baik, dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial.

Demokrasi juga bukan kondisi di mana setiap orang atau kelompok dapat mengatur dirinya sendiri, juga bukan partisipasi yang sama dari setiap warga negara dalam sebuah sistem demokrasi deliberatif, melainkan sebuah kerja sama refleksif (reflexive co-operation) di mana setiap warga negara dapat bertindak secara bebas untuk berkontribusi bagi kepentingan bersama dalam masyarakat (common good). (Lih, Axel Honneth, Das Andere der Gerechtigkeit, Frankfurt/M,: Suhrkamp, 2000, hal. 282.)

Dan hal ini, menurut Honneth, tidak dapat dicapai melalui sistem ekonomi politik kapitalis, sebab tidak mungkin setiap orang memberikan kontribusi untuk masyarakat semata-mata melalui upah yang mereka terima. Untuk menciptakan sebuah masyarakat demokratis dalam arti di atas, maka masyarakat dan ekonomi harus ditata sedemikian rupa sehingga setiap anggota dari masyarakat yang demokratis itu memiliki peluang untuk memberikan kontribusi bagi kepentingan bersama (common good).

Teori pengakuan Honneth telah dikembangkan ke dalam berbagai bidang, termasuk politik, hukum, ekonomi, bahkan dalam bidang hubungan internasional.

Sewaktu studi di Frankfurt, saya masih sempat mengikuti kuliah dan seminar-seminar Axel Honneth. Ia profesor yang asyik. Ia membuatkan sendiri kopi atau teh untuk mahasiswa yang berkunjung ke kantornya.

Ia pernah menyelenggarakan konferensi internasional tentang Bob Dylan. Pada semester musim panas, ia suka mengajak para mahasiswa bimbingannya untuk main bola di taman luas di samping kampus. Pemain dibagi ke dalam dua tim yang selalu dinamai tim Kant dan Hegel. Honneth selalu bergabung dengan tim Hegel. Ia sendiri menyebut dirinya filsuf Hegelian Kiri.

Saya pernah ikut pertandingan bola yang dilakukan dengan rileks dan kadang sambil nenteng botol bir ke lapangan itu.*)


Penulis merupakan pengajar di Universitas Pelita Harapan. Meraih PhD dari Universitas Frankfurt.

Tags: #filsafat#fitzerald#frankfurt#mazhab#sitorus#teorirekognisi#tokohheadline
Share88SendShare

Related Posts

Pidato Lengkap Jefri Gultom di Dies Natalis GMKI ke-74: Bangkit Ditengah Pergumulan

26/02/2024

Bangkit Ditengah Pergumulan Pidato 74 tahun GMKI Jefri Edi Irawan Gultom Para peletak sejarah selalu berpegang pada prinsip ini, ‘’perjalanan...

Pewaris Opera Batak

11/07/2023

Oleh: Thompson Hs* PIRAMIDA.ID- Tahun 2016 saya menerima Anugerah Kebudayaan dari Kemdikbud (sekarang Kemendikbudristek) Republik Indonesia di kategori Pelestari. Sederhananya,...

Mengapa Membahas Masa Depan Guru “Dianggap” Tidak Menarik?

01/05/2023

Oleh: Agi Julianto Martuah Purba PIRAMIDA.ID- “Mengapa sejauh ini kampus kita tidak mengadakan seminar tentang tantangan dan strategi profesi guru di...

Membangun Demokrasi: Merawat Partisipasi Perempuan di Bidang Politik

14/04/2023

Oleh: Anggith Sabarofek* PIRAMIDA.ID- Demokrasi, perempuan dan politik merupakan tiga unsur yang saling berkesinambungan satu dengan yang lain. Berbicara mengenai...

Dari Peristiwa Kanjuruhan Hingga Batalnya Indonesia Tuan Rumah Piala Dunia U-20

03/04/2023

Oleh: Edis Galingging* PIRAMIDA.ID- Dunia sepak bola tanah air sedang merasakan duka yang dalam. Kali ini, duka itu hadir bukan...

Prinsip-Prinsip Disiplin Kelas

02/04/2023

Oleh: Muhammad Muharram Azhari* PIRAMIDA.ID- Pengertian disiplin menurut Elizabeth Hurtock mengemukakan bahwa; Disiplin itu berasal dari kata "discipline", yaitu seseorang...

Load More

Tinggalkan KomentarBatalkan balasan

Terkini

Berita

Refleksi Hari Lahir Pancasila, Fawer Sihite: Kita Harus Dengarkan Hati Nurani Rakyat

01/06/2025
Berita

Kalah Sebagai Calon Ketua Umum, Fawer Sihite Pastikan Dukung Kepemimpinan Prima Surbakti dan Jessica Worouw di GMKI

28/05/2025
Berita

Aliansi Mahasiswa Siantar Se-Jabodetabek Akan Kepung Mabes Polri: Tuntut Penangkapan Wali Kota Wesli Silalahi

11/05/2025
Berita

Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH): Penegakan Hukum atau Alibi Militerisasi Atas Nama Konservasi?

09/05/2025
Berita

Ketua Front Justice: Kepemimpinan Wesly Silalahi Dinilai Gagal, Siantar Mengarah ke Kemunduran dan Kota Gelap

07/05/2025
Berita

GMKI Cabang Bandar Lampung Ungkap Krisis Kepolisian di Daerah Lampung: “Kekuasaan Tanpa Kendali, Rakyat Tanpa Perlindungan”

01/05/2025

Populer

Dunia

Sumber Air Bersih dan Air Minum di Arab Saudi

07/06/2020
Dialektika

Prinsip-Prinsip Disiplin Kelas

02/04/2023
Pojokan

Pesan Tersembunyi Ki Narto Sabdo Dalam Lagu Kelinci Ucul

23/09/2020
Berita

Ketua Front Justice: Kepemimpinan Wesly Silalahi Dinilai Gagal, Siantar Mengarah ke Kemunduran dan Kota Gelap

07/05/2025
Berita

Aliansi Mahasiswa Siantar Se-Jabodetabek Akan Kepung Mabes Polri: Tuntut Penangkapan Wali Kota Wesli Silalahi

11/05/2025
Ekologi

Mengenal Prof. Mr. St. Munadjat Danusaputro, Guru Besar Hukum Lingkungan Hidup

22/06/2020
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba

No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba