Oleh: Tasya Bukti Indriani*
PIRAMIDA.ID- Sudah lebih dari 1 tahun Indonesia berada dalam masa pandemi Covid-19. Selama itulah berbagai aspek kehidupan kita sebagai kesatuan bangsa diuji dan dijungkir balikkan dari Kesehatan, ekonomi, sosial, politik, bahkan nilai-nilai luhur kebangsaan, seperti gotong royong yang sudah diajukan.
Mengingat kembali pada suatu makna dengan adanya identitas, yaitu kebersihan lingkungan dan gotong-royong. Gotong-royong adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dan bersifat suka rela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan dengan lancar, mudah dan ringan .Biasanya kita temui dalam bentuk pembangunan fisik fasilitas umum ataupun kepemilikian pribadi.
Sebagai contoh tempat gotong royong ialah desa. Desa merupakan suatu tempat wilayah dengan konsepsi gotong royong yang dikenal kuat baik dalam level individu maupun kolektif. Kita tentu tidak sulit jika diminta menyebutkan bentuk gotong royong yang ada di masyarakat desa. Tidak hanya masyarakat desa saja yang bisa melakukan gotong royong,warga kota pun tentunya harus bisa dan bahkan lebih baik.
Banyak kegiatan yang bisa dilakukan bagi yang tinggal di perkotaan, membangun poskamling, membersihkan parit, membangun tempat ibadah, menjaga kebersihan dan masih banyak lagi kegiatan yang lainnya. Masalah waktu bisa kita laksanakan pada saat hari libur.
Ketua RT dan ketua RW sangat berperanan sekali dalam kegiatan gotong royong di lingkungannya. Merekalah tokoh masyarakat dan motor penggerak kegiatan-kegiatan kemasyarakatan sehingga orang-orang yang bekerja akan merasa lebih semangat.
Sangat sulit untuk membayangkan dalam keadaan masa pandemi tentunya terjadi kesusahan pada kehidupan dan butuhnya pertolongan. Pada masa pandemi ini masyarakat memaksa tiap individu untuk bekerja keras untuk memikirkan kehidupannya sendiri dan keluarga. Bisa saja, dalam prosesnya saling acuh tak acuh atau bahkan sikut menyikut.
Plautus menyebut dengan tegas, manusia sebagai homo homini lupus yang artinya “Manusia adalah serigala bagi sesama manusianya”. Istilah tersebut pertama kali dicetuskan dalam karya Plautus berjudul Asinaria.
Kita bisa bisa melihat jelas bentuk manusia seperti yang dijelaskan Plautus di masa pandemi ini. Contohnya penyimpanan masker, penyimpanan hand sanitizer, penyimpanan obat-obatan, penyimpan oksigen yang disimpan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Serta koruptor bantuan sosial, penganut dan penyebar hoaks, dan segala upaya lain untuk menguntungkan dirinya sendiri dengan merugikan orang lain.
Presiden pertama di Indonesia, yaitu Presiden Soekarno merumuskan Pancasila bersama Soepomo dan M. Yamin. Beliau menemukan salah satu sila yang dapat menggambarkan lima sila, yaitu gotong royong (sila ke-3). Ia meyakini bahwa penghayatan Pancasila jika dilakukan dengan benar, secara aksi dan nyata dalam membentuk gotong-royong.
Dalam P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) ala Presiden Soeharto, yaitu gotong-royong masuk dalam pengamalan demokrasi-Pancasila sebagai modal utama pembangunan. Prinsip gotong royong merupakan salah satu ciri khas atau karakteristik dari bangsa Indonesia.
Dalam menghadapi situasi pandemi ini, kita harus menghidupkan semangatnya gotong royong yang mewariskan dalam relungan hati kita masing-masing. Kita berinisiatif untuk kepentingan bersama untuk mempertahankan gotong royong. Bukan lagi untuk kepentingan sendiri, melainkan kehidupan kita bersama. Melakukan kegiatan gotong royong ialah suatu modal turunan yang sangat berharga yang seharusnya terus diingat dan lestarikan.
Kita bisa melihat contoh kelompok-kelompok di luar sana yang transgender yang ketika kehilangan mata pencaharian lalu bahu membahu untuk saling membantu demi kelanjutan hidup, mencari kegiatan yang positive dan lainnya. Masalah tersebut demi menyambung hidup, setidaknya selama pandemi ini berakhir. Lalu, banyak juga yang membantu dengan menggantungkan bahan makanan di sudut-sudut jalan agar dapat diambil dan dimanfaatkan yang sedang kesulitan di jalanan.
Ketika ada teman ataupun orang terdekat kita yang terkena wabah virus tersebut, kita harus menjalani isoman (isolasi mandiri), dan juga banyak yang memberikan ruang tinggal sementara ataupun obat-obatan secara suka rela.
Ada juga kisah viral pedagang bubur ayam yang membagikan ribuan bungkus bubur untuk warga yang isoman secara gratis dan ada juga warga yang memiliki usaha pengisian oksigen, memberikan pengisian oksigen gratis bagi masyarakat.
Upaya-upaya tersebut terlahir dari berbagai kekurangan yang dimiliki masing-masing orang atau kelompok. Sebagai warisan luhur, gotong-royong berperan sebagai kurangnya kepentingan pribadi dan adanya perubahan yang menjadi kepentingan bersama. Dengan demikian, kita bisa saja sebut pandemi adalah “alarm kebakaran”.
Koentjaraningrat (1985) menyebut timbulnya gotong-royong dirangkai dari nasib, adanya saling kerterikatan, ada juga saling ketergantungan, dan hubungan baik kepada manusia. Keempat inilah yang disebut memaksa setiap orang yang terlibat melakukan penyesuaian diri. Dalam tahap inilah terjadinya sikap egoisme. Sebab, selain hubungan nasib dan budaya, masyarakat sadar jika masa depan makin tak bisa ditentukan oleh pribadi masing-masing.
Kehidupan ini sangat mempengaruhi bangsa Indonesia yang memiliki ketentuan yang cukup mengenai nilai tersebut. Hal ini hanya perlu melewatinya dengan ruang proses dan warisan nilai itu sendiri. Sayangnya, kita justru semakin dekat dengan egosentrisme. Alhasil, akan selalu perlu “alarm kebakaran” semacam pandemi untuk menguji kekuatan kita terhadap gotong-royong tersebut.
Jadi alangkah baiknya gotong royong itu kita tumbuhkan lagi, kita giatkan lagi dengan rasa dan percaya diri kita berbagi dan bergotong royong karena keimanan bukan hanya untuk kepentingan generasi sekarang, tapi juga generasi yang akan datang.
Agar mereka juga berhak menerima dan menikmati warisan sosial yang sama ini berkualitasnya dengan apa yang kita terima.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Stisipol Raja Haji Tanjungpinang, Semester III, Program Studi Sosiologi.