PIRAMIDA.ID- Pemerintah dan DPR berbeda pendapat mengenai target penyelesaian pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law, yang sejak awal ditolak para pegiat buruh.
Sebelumnya para pejabat terkait menyatakan pembahasan undang-undang itu diharapkan selesai sebelum 17 Agustus nanti.
Hal ini berbeda dengan pernyataan pimpinan DPR yang menyebut pembahasan baru di tingkat awal.
Adapun para pegiat buruh kembali menyuarakan penolakan mereka terhadap beberapa draf pasal yang dianggap akan menyengsarakan mereka.
Alasannya, RUU tersebut dapat menciptakan pemutusan hubungan kerja massal, dan kesulitan ekonomi bagi kelompok pekerja dan Indonesia secara umum, kata pegiat buruh.
Di tengah penolakan seperti itu, pemerintah dan DPR terus membahas pasal-pasal dalam rancangan aturan itu.
Berulangkali mereka menolak tuduhan para pekerja dan mengklaim aturan itu akan menguntungkan semuanya.
DPR juga mengklaim telah melibatkan berbagai serikat pekerja guna membahas pasal-pasal yang disebut merugikan buruh.
Mengapa pemerintah ingin pembahasan Omnibus Law selesai sebelum HUT RI?
Dalam berbagai kesempatan, sejumlah pejabat pemerintah menyatakan pembahasan undang-undang itu diharapkan selesai sebelum 17 Agustus nanti
Hal ini berbeda dengan pernyataan pimpinan DPR yang menyebut pembahasan baru di tingkat awal.
Di satu sisi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Perekonomian Airlangga Hartanto dalam Rapat Kerja dan Konsultasi Nasional Apindo 2020, Rabu (12/8), mengungkapkan bahwa pembahasan RUU Ciptaker sudah lebih dari 75%.
“Diharapkan dalam pembahasan akan dilanjutkan. Kemarin rapat dengan asosiasi pekerja dan apresiasi kesepakatan yang dicapai antara pemerintah, tenaga kerja, dan Apindo, para pengusaha,” kata Airlangga.
“Ini jadi catatan karena ditunggu oleh berbagai investor, termasuk di dalamnya (ada ketentuan soal) Sovereign Wealth Fund (lembaga pengelola dana abadi),” tambahnya.
Bahkan lebih dari itu, sebelumnya, Sekretaris Kemenko Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan diharapkan RUU ini dapat selesai dibahas sebelum Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) pada 17 Agustus mendatang.
Namun di sisi lain, apa yang dinyatakan pemerintah sepertinya berbeda dengan sikap yang ditunjukan DPR.
DPR bersama dengan kumpulan serikat pekerja kemarin baru saja membentuk tim bersama yang akan membahas pasal per pasal dalam klaster ketenagakerjaan RUU Ciptaker.
Bahkan, rencananya tim tersebut baru akan mulai bekerja bersama melakukan pembahasan pada 18 Agustus 2020 mendatang.
Kumpulan serikat buruh yang mewakili 32 federasi dan konfederasi serikat pekerja di Indonesia itu menyampaikan bahwa rapat bersama akan dilakukan dua kali seminggu dimana setiap hari akan dilakukan diskusi sekitar empat jam.
KSPI: ‘Kami akan mundur dari lobi dan kembali beraksi’
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang tergabung dalam kumpulan serikat buruh tersebut akan keluar dari tim bersama dan turun beraksi ke jalan jika masukannya tidak diakomodir oleh DPR dan pemerintah yang tetap mengesahkan RUU ini tanpa perubahan.
Seperti langkah terdahulu yang dilakukan KSPI keluar dari tim teknis yang dibentuk Kementerian Ketenagakerjaan.
“Kami berharap tim ini akan bicara soal substansi, menerima masukan dan konsep kami. Strategi kami lobi dan aksi. Jika aspirasi kami ditolak maka kami akan melalukan aksi terus menerus,” kata Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI Kahar S. Cahyono.
KSPI tidak akan berhenti menolak isi pasal-pasal dalam klaster ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja yang merugikan kehidupan buruh di Indonesia.
Target sebelum 17 Agustus, mungkinkah?
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyebut akan sangat sulit jika pembahasan RUU Ciptaker selesai sebelum HUT RI.
“Tidak menargetkan sebelum 17 Agustus, itu yang targetin sebelum 17 Agustus siapa ya? Orang tim kerja, baru mau kerja 18 agustus. Katanya pemerintah yang minta klaster ketenagakerjaan jangan dibahas dahulu,” kata Dasco.
Ia pun menegaskan bahwa DPR akan menerima masukan dari serikat buruh dalam perbaikan klaster ketenagakerjaan.
Senada, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya mengatakan pembahasan RUU Ciptaker tidak mungkin selesai sebelum HUT RI karena masih banyak hal yang perlu dibahas, seperti ada dua ribu daftar inventarisasi masalah yang perlu dibahas.
Saat ini Baleg DPR tengah membahas Bab III dalam DIM tentang Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha dari total 15 bab yang ada dalam RUU tersebut.
Namun, Sekretaris Kemenko Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyebut pemerintah dan legislatif sudah membahas lima bab.
Khusus untuk bab ketenagakerjaan, Susiwijono mengatakan pembahasan sudah dilakukan dalam kurun waktu sebulan terakhir yang dilakukan secara tripatrit dengan melibatkan serikat pekerja.
‘Terlalu mencekik para pekerja dan menyengsarakan kita’
Seorang pekerja bagian produksi di sebuah pabrik yang bernama Noval mengatakan kondisi perekonomiannya saat ini tengah sangat sulit akibat dari wabah virus corona.
Ia harus mengalami pemotongan gaji hingga tidak mendapatkan upah lembur.
“Buat hidup sekarang susah, yang ada dipas-pasin, dicukup-cukupin. Virus corona dampaknya sudah sangat berat buat kami,” kata Noval.
Noval yang sudah bekerja lebih dari 11 tahun tidak bisa membayangkan masa depannya jika kondisi sulit saat ini akan ditambah dengan disahkannya RUU Ciptaker yang ia sebut menyengsarakan pekerja.
“Waduh itu kita baca drafnya terlalu mencekik para pekerja dan terlalu menyengsarakan kita. Nanti gaji kami bisa harian, perusahaan berhak PHK karyawan tanpa bersalah, apalagi pesangon mau ditiadakan, kerja capek-capek tidak dapat pesangon.
Apa yang akan dilakukan jika RUU ini disahkan, Noval menjawab, “kita sebagai buruh akan mati-matian menolak Omnibus Law itu. Mudah-mudahan RUU itu dibatalkan,” katanya.
Mengapa RUU Ciptaker ‘berbahaya’?
Kahar S. Cahyono dari KSPI mengatakan RUU Ciptaker penuh dengan masalah karena sejak awal pembahasan tidak pernah melibatkan serikat buruh, melainkan hanya pihak pengusaha dan pemerintah.
Kahar juga menegaskan bahwa serikat pekerja tidak pernah dilibatkan sedikitpun dalam proses pembahasan yang menciptakan sebuah kesepakatan. Menurut Kahar jika RUU ini disahkan maka akan berbahaya bagi kedaulatan negara.
“Kenapa? Karena investasi harus berbasis pada proteksi perlindungan bagi pekerja Indonesia. Buat tapa investasi kalau yang bekerja TKA, buruhnya diupah murah, mudah dipecat, PHK masal, sulit mendapatkan kesejahteraan? Nanti akan berimplikasi pada sulit memiliki daya beli dan mendongkrak perekonomian, membahayakan kedaulatan negara,” katanya.
Kahar menjelaskan beberapa poin berbahaya dalam RUU Ciptaker klaster ketenagakerjaan jika disahkan.
Pertama, terciptanya ketidakpastian pekerjaan karena masifnya penggunaan sistem outsourcing dan kontrak.
“Dalam RUU ini perusahaan dibebaskan meng-outsourcing dan mengkontrak karyawan di semua jenis pekerjaan dan semua jenis industri. Jadi kami akan menjadi pekerja outsourcing dan kontrak seumur hidup yang mudah di-PHK,” kata Kahar.
Kedua, tidak adanya jaminan dan kepastian pendapatan karena upah pekerja tergerus akibat dibatasi.
“Pesangon pergantian hak dihilangkan, dan mudah dikurangi. Upah minimum kota/kabupaten dihilangkan diganti upah minimum provinsi yang nilainya jauh lebih kecil.
“Contoh UMK Karawang RP4,59 juta sedangan UMP Jawa Barat Rp1,8 juta. Dengan demikian yang berlaku UMP yang nilainya lebih kecil,” kata Kahar.
Ketiga, jaminan sosial seperti hari tua dan kesehatan akan sulit didapatkan karena menggunakan sistem outsourcing dan kontrak.
Sumber: BBC Indonesia