PIRAMIDA.ID- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menjelaskan pembentukan Gugus Tugas untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan penanganan corona setelah pemerintah melihat bahwa pemulihan dari pandemi akan memakan waktu.
“Tugasnya tentu melihat situasi perekonomian nasional, serta perkembangan COVID-19, juga dari segi ketersediaan alat tes, penyediaan vaksin dan antibodi, juga perekonomian yang sifatnya multiyears,” ujar Airlangga dalam konferensi video, Senin (20/07).
Adapun struktur Satgas PEN, yakni Ketua Satgas Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Ketua Pelaksana Satgas Menteri BUMN Erick Thohir, Sekret Eks 1 (Program) Raden Pardede, Sekret Eks 2 (Adm) Sesmenko Perekonomian Susiwijono, Ketua Satgas Penangananan COVID-19 Kepala BNPB Doni Monardo, dan Ketua Satgas PEN Wamen BUMN 1 Budi Gunadi Sadikin.
Pengamat Ekonomi dari Institute for Development on Economic (INDEF) Bhima Yudhistira menilai, pembentukan Satgas PEN hari ini justru menunjukkan kepada masyarakat adanya koordinasi (pemerintah) yang belum optimal.
“Ya ini menunjukkan adanya pola komunikasi dan koordinasi yang selama ini sudah ada belum berjalan optimal. Harusnya kan todak perlu kita buat semacam komite baru, katakanlah, karena untuk penanganan COVID-19 sebenarnya sudah ada gugus tugas,” jelas Bhima dalam wawancara khusus kepada DW melalui sambungan telepon.
Ekonom jebolan Universitas Gadjah Mada ini mengkritisi soal pemulihan ekonomi yang merupakan tugas dan fungsi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. “Jadi sebenarnya jadi pertanyaan, buat apa membuat sebuah komite baru padahal sebelumnya sudah ada gugus tugas? Sudah menjadi tugas Kemenko Perekonomian untuk memulihkan ekonomi melalui stimulus,” tambahnya.
Permasalahan koordinasi yang tidak bisa ditangani oleh Gugus Tugas COVID-19 dalam hal penanganan virus serta lambatnya realisasi stimulus yang belum dicairkan terlihat pada laporan terkait stimulus untuk UMKM per Juni 2020, yang pencairannya baru mencapai 0,06 persen. Ancaman resesi ekonomi Indonesia yang semakin nyata dinilainya menjadi kekhawatiran pemerintah sehingga membutuhkan tindakan yang lebih cepat.
“Pemerintah sudah membuat Undang-Undang Nomor 2/2020 tentang Penetapan Perppu Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan COVID-19, di mana sudah tercantum ada tugas untuk refocusing dan melakukan realokasi anggaran. Dengan pembentukan komite baru ini, apakah justru melakukan penghematan anggaran atau justru membuat komite baru di tengah pemerintah ingin membubarkan lembaga yang tidak produktif? Ini kan ada semacam narasi yang tidak konsisten. Padahal komite baru membutuhkan anggaran yang tidak kecil juga,” papar Bhima.
Opsi upaya terbaik penyelamatan ekonomi
Sejumlah masukkan sebagai upaya-upaya terbaik untuk penyelamatan ekonomi dari dampak COVID-19 kepada pemerintah dijelaskan Bhima Yudhistira salah satunya adalah tetap fokus pada pemberian kredit modal kerja yang lebih besar kepada pelaku usaha UMKM.
“Penerapan universal basic income untuk menjaga agar tidak terjadi kelas miskin baru perlu dipertimbangkan. Pemberian subsidi gaji bagi para pekerja yang rentan di PHK, yang di mana kita belum punya model seperti itu, dan yang ketiga pemberian kredit modal kerja yang lebih besar kepada pelaku UMKM, pemberian subsidi internet mengingat banyak UMKM kini yang tidak bisa lagi beroperasi secara konvensional dan mau tidak mau harus berjualan secara online, tapi peran pemerintah dalam membantu UMKM belum terlihat di situ,” jelasnya.
Selain itu, pemerintah juga bisa memberikan bantuan kepada pelaku usaha melalui diskon tarif listrik yang lebih banyak untuk pengguna 900 VA non subsidi, penurunan harga BBM, hingga perluasan pemberian diskon gas LPG.
Menurut Bhima, bantuan keringanan tersebut bisa didanai dari pemotongan anggaran kementerian dan lembaga hingga 20 persen sehingga tercipta penghematan Rp 330 triliun. Kedua, pengalihan anggaran pada lembaga-lembaga yang tidak optimal. Ketiga, moratorium PNS, meskipun baru bisa dilakukan tahun 2021 namun langkah ini bisa menghemat belanja pegawai, dibarengi dengan pemotongan gaji dan tunjangan untuk pejabat eselon 1, menteri, bahkan untuk anggota DPR, misalnya.
Sumber: DW Indonesia