Emi Lidia Nadeak*
PIRAMIDA.ID- Ranah produksi domestik berlangsung di dalam unit keluarga. Posisi laki-laki dan perempuan di ranah ini ditetapkan berdasarkan jenis kelamin mereka. Relasi keduanya dikondisikan di sekitar gagasan tentang kepemilikan properti dan desain agar laki-laki memiliki kontrol dan otoritas terhadap perempuan dan anak-anak.
Di dalam ranah produksi ini, beban yang dipikul perempuan meliputi melahirkan anak, membesarkannya, merawat keluarga, mengurus kebutuhan kesehatan, melakukan pekerjaan rumah, dan sebagainya. Semua tugas ini dapat berbeda tergantung masyarakat, kelas dan zamannya, tetapi perempuan berurusan dengan itu semua karena mereka perempuan.
Jelas bukanlah tugas-tugasnya yang menentukan tempat mereka dalam produksi domestik, tetapi jenis kelamin mereka. Keluarga adalah institusi ideologis dan legal di mana produksi domestik diatur.
Produksi non-domestik adalah ranah di mana perjuangan kelas berlangsung. Relasi dalam ranah ini merupakan relasi eksploitasi dan dominasi yang dilakukan kelas berkuasa. Kelas berkuasa menggunakan kepemilikan dan kontrol atas alat produksi, produk dan pekerja untuk menjamin dominasinya.
Produksi non-domestik diselenggarakan melalui berbagai institusi adminstrasi, organisasi negara, perusahaan swasta, dan sebagainya.
Kedua ranah produksi sosial ini bertaut satu sama lain. Kelas berkuasa menjamin pertautan ini karena berfungsi penting untuk kohesi sosial.
Masyarakat akan menganggap perempuan mestinya membawa kontribusi yang segenahnya feminine bagi sektor publik, seperti kelembutan, cinta, perdamaian, semangat pengorbanan, altruism, naluri keibuan, dan lain-lain. Masyarakat dengan demikian akan akan secara eksplisit menarik seruan reformis yang digunakan perempuan untuk menyalurkan partisipasi mereka dalam kehidupan sosial menjadi kegitan-kegiatan yang bermanfaat dalam menjaga ketertiban sosial.
Badan-badan pengontrol akan mengatur dan mengarahkan keterlibatan sosial dan politik feminis untuk kepentingan mereka sendiri.
Pekerjaan sosial dan politik perempuan dan digiatkan sepanjang tidak memengaruhi peran dan tanggung jawab yang diekspektasikan pada perempuan sebagai istri, ibu, dan pengurus rumah tangga. Perubahan peran perempuan selama masa ini tidak benar-benar mengubah ideologi keperempuanan, melainkan hanya menegaskan dan mengikuti model tradisional.
Pada dasarnya, pada saat perempuan menjadi lebih terlibat dalam kegiatan publik, dan melepaskan diri dari beberapa subordinasi dalam keluarga oleh suami dan ayah, aktivitas mereka di luar rumah menempatkan perempuan secara ironis di bawah kontrol langsung dari badan-badan kontrol sosial yang lebih besar dan tinggi.
Kenyataannya, secara umum sebagian besar gerakan feminis terdiri dari perempuan-perempuan yang terhalangi partisipasinya di gerakan-gerakan sosial lain. Tentu tidak ada revolusi yang bisa terjadi jika salah satu jenis kelamin mengabaikannya. Dalam kasus ini laki-laki juga berkepentingan melawan patriarki.
Jika perempuan adalah korban penindasan patriarki, maka laki-laki juga teralienasi oleh peran yang dipaksakan masyarakat terhadapnya. Dari hal ini muncul kebutuhan untuk mengembangkan proyek sosial umum untuk mencegah perang di antara dua jenis kelamin yang dieksploitasi.
Sayangnya gerakan feminis pada 1970-an tak mampu mencapai kesatuan ini, dan tanpa sebuah kontestasi nyata terhadap sistem. Tuntutan feminis telah dilambangkan melalui integrasi perempuan ke dalam masyarakat kapitalis. Negara lagi-lagi merespon tuntutan akan integrasi ini dengan langsung mengkanalisasi, sehingga tuntutan itu sesuai dengan kepentingan negara.
Pada saat yang sama, negara akan mulai membentuk, mengarahkan, dan mengatur program dan layanan kesehatan dan keamanan untuk memuaskan tuntutan dan kebutuhan perempuan.
Kita mesti mengakui bahwa perempuan memang memperoleh hak-hak tertentu dan tak diragukan lagi aspek kualitas hidup tertentu meningkat pesat. Meskipun begitu, semua pencapaian itu membawa efek negative yang memungkinkan negara untuk lebih siaga mengontrol pergerakan perempuan.
Untuk membuktikan ini kita harus mempertimbangkan semua organisasi, dewan dan komisi yang dibentuk untuk meneliti perempuan, mendengarkan tuntutan dan pendapat mereka, serta menghadirkan serangkaian solusi untuk mereka, bahkan mengambil proyek-proyek feminis. Dalam feminisme yang dilambangkan, potensinya untuk menjadi kekuatan subversif dikurangi sebesar-besarnya.
Perjuangan perempuan mengadang patriarki tak diragukan lagi berpotensi menjadi kekuatan subversif. Hal tersebut mempertanyakan peran sosial tradisional, keluarga, kepemilikan properti, penindasan seksual, dan dominasi. Dengan kata lain, perjuangan ini menuntut untuk mempertanyakan seluruh masyarakat.
Potensi perjuangan akan mustahil terpenuhi tanpa adanya keterlibatan perempuan dalam perjuangan revolusioner.
Sebagai pembaca, saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca. Buku ini memberi pencerahan tentang apa yang kita alami tanpa kita sadari sudah terjadi pada kita dan mengajak kita melawan patriarki dan terlibat dalam kesetaraan gender tanpa memandang jenis kelamin.(*)
Penulis merupakan Presidium Hubungan Perguruan Tinggi (PHPT) PMKRI Cabang Pematangsiantar. Founder Komunitas Kartini Indonesia.