Pranoto*
PIRAMIDA.ID- “Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati, dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu” (Q.S Ali Imran Ayat 185).
Demikian firman Allah SWT, yang mengisyaratkan tiap-tiap makhluk yang berakal maupun tidak berakal, agar mengetahui fitrahnya.
Indonesia telah menyepakati Pancasila sebagai dasar perilaku yang dapat ditafsirkan dalam berbagai aspek kehidupan bernegara. Salah satunya adalah penghormatan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang kemudian ditegaskan dalam Pasal 29 UUD NRI 1945, bahwa negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Beribadat tentu bukan hanya tata cara seseorang dalam melakukan ritual sembahyang maupun doa-doa, akan tetapi terdapat pula aturan-aturan hukum agama yang telah ditetapkan berdasarkan pedoman-pedoman kitab suci maupun keterangan-keterangan para utusan-Nya, mengenai bagaimana kemudian tiap-tiap manusia sebagai satu-satunya mahluk yang berakal, dapat memperlakukan orang yang telah meninggal dunia.
Agama Islam memiliki aturan hukum yang kemudian dikenal dengan syariat Islam, berisi beragam kaidah-kaidah yang mengatur hal-hal terkait peribadatan, termasuk juga pengurusan (Fardhu Kifayah) jenazah.
Lantas bagaimana bila ditemukan suatu kondisi di mana fardhu kifayah tidak dijalankan dengan prinsip hati-hati dan benar?
Fakta inilah yang ditemukan di salah satu Rumah Sakit milik Pemerintah Daerah di Kota Pematangsiantar, di mana prosesi fardhu kifayah yang dilakukan oleh tenaga medis rumah sakit itu dianggap telah menyalahi kaidah syariat Islam.
Diketahui, jenazah perempuan asal Kabupaten Simalungun dimandikan dengan protokol kesehatan oleh 4 orang pria yang bukan muhrimnya.
Hal tersebut memicu polemik dan saling tuding hingga mengerucut pada upaya penempuhan jalur hukum oleh keluarga almarhumah. Dalam UU No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, telah ditegaskan bahwa azas penyelenggaraan rumah sakit berlandaskan Pancasila dan nilai-nilai kemanusian serta profesionalitas.
Begitupun dengan ketentuan Pasal 29 huruf b yang menentukan bahwa rumah sakit berkewajiban memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, efektif serta anti-diskriminatif.
Amanah UU No 44 Tahun 2009 ini seyogianya dipatuhi serta dilaksanakan seluruh rumah sakit milik pemerintah maupun swasta tanpa pengecualian. Bahkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Permenkes Nomor 4 Tahun 2018 memerintahkan kepada rumah sakit untuk memperhatikan standart pelayanan dan operasional maupun hak-hak pasien dengan didasari rasa manusiawi.
Dalam upaya penegakan hukum, terdapat sebuah teori the living law (hukum yang hidup di tengah masyarakat) yang dikemukan sosiolog hukum Eugen Erhrlich, di mana seluruh norma hukum positif sebaiknya tidak mengesampingkan norma-norma yang tidak tertulis namun dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.
Tentu teori ini berkaitan dengan kejadian tersebut dan ada indikasi kelalaian pelaksanaan standart operasional RS plat merah itu yang mengesampingkan prinsip syariat Islam sebagai the living law.
Majelis Ulama Kota Pematangsiantar Sebaiknya Tidak “Cuci Tangan”
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Pematangsiantar telah memanggil sejumlah pihak terkait termasuk rumah sakit untuk menyikapi masalah ini. MUI Kota Pematangsiantar juga telah menegur serta mengecam tindakan tidak profesional yang dilakukan rumah sakit.
“Nggak boleh jenazah perempuan dimandikan laki-laki, kecuali suaminya atau mahram-nya,” terang MUI Kota Pematangsiantar, dikutip melalui detik.com.
Pernyataan MUI Kota Pematangsiantar seraya disambut pernyataan maaf oleh pihak rumah sakit kepada pihak keluarga. Namun yang menjadi janggal ialah MUI Kota Pematangsiantar hanya menyatakan sikap akan mencabut “sertifikat” bilal mayit milik petugas yang saat itu memandikan jenazah.
Lantas, apakah dengan pencabutan sertifikat bilal mayit maka persoalan akan selesai sampai di sini?
Tentu kejadian seperti ini ke depannya patut menjadi pertimbangan dan pelajaran besar untuk MUI Kota Pematangsiantar agar lebih selektif dan mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam upaya menyeleksi maupun menerbitkan sertifikat bilal mayit bagi seseorang.
Hal ini bukan tanpa dasar, mengingat pelatihan bilal mayit yang diselenggarakan MUI Sumatera Utara pada Minggu, 28 Juni 2020 lalu, terdapat sebuah catatan penting bahwa dalam situasi pandemi COVID-19 ini, MUI telah menerbitkan Fatwa Nomor 18 Tahun 2020, yang merincikan pedoman pengurusan jenazah (Tajhiz Al-Jana’iz) muslim di tengah pandemi COVID-19 dengan tetap memperhatikan kaidah syariat Islam.
Maka belumlah cukup apabila MUI Kota Pematangsiantar hanya memberikan sanksi pencabutan sertifikat bilal mayit bagi yang bersangkutan. Namun penting bagi MUI Kota Pematangsiantar melakukan evaluasi kinerja pelatihan bilal mayit dengan harapan ke depannya para bilal mayit yang telah disertifikasi dapat benar-benar menjalankan tugasnnya tidak hanya berdasarkan tanggung jawab, melainkan juga dengan pengetahuan yang benar sesuai syariat Islam.
Apabila faktanya penerima pelatihan dan sertifikat bilal mayit itu ialah tenaga medis, MUI patut mengikuti arahan UU No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, di mana ditegaskan bahwa Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Masyarakat Jangan Memprovokasi dan Terprovokasi, Pak Walikota Sebaiknya Anda Bersikap
Kejadian ini diharapkan tidak menjadi sesuatu yang berpotensi memecah belah umat beragama. Setiap proses penyelesaian sebaiknya berhenti pada meja mediasi dengan pernyataan sikap secara tertulis dan terbuka oleh rumah sakit bahwa peristiwa tersebut tidak terulang kembali.
Hal ini penting, karena isu maupun persoalan akidah dan kepercayaan seseorang atau kelompok masyarakat begitu mudah menjadi alat pemecah kesatuan dan persatuan. Itu mengapa peran politik ‘Divide Et Impera’ yang dimainkan penjajah kolonial mampu menaklukan kesatuan raja-raja dan masyarakat nusantara.
Bukankah Allah SWT telah berfirman, “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ?” (Q.S. Al-Qamar:17).
Terkait hal ini juga, sudah sepatutnya Wali Kota Pematangsiantar mengambil sikap tegas dengan memberikan sanksi maupun mengevaluasi kinerja tenaga medis di rumah sakit tersebut berdasarkan petunjuk Pasal 28-30, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien.
Kebijakan penting lainnya ialah Direktur Utama rumah sakit sebaiknya menyediakan bilal wanita dan laki-laki bagi jenazah muslim.
Begitupun, pengurus jenazah laki-laki dan perempuan bagi agama selain Islam sepatutnya juga diadakan oleh pihak rumah sakit, agar jenazah dapat diperlakukan sesuai kaidah hukum maupun kemanusiaan dan rumah sakit dapat benar-benar menjalankan amanah UU.
Penulis merupakan Advokat Pada Kantor Bantuan dan Kajian Hukum Utilitarians Righibran dan Konsultan Hukum Pada Kantor Hukum Heta & Partners.