PIRAMIDA.ID – Pemilihan Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) 2025–2028 baru saja dimulai, tetapi aroma intrik sudah menyengat. Nama Rapin Mudiardjo, kandidat yang semula diharapkan tampil bersih, kini justru terseret dalam pusaran kontroversi. Bukan karena gagasan yang dangkal, melainkan karena cara ia menerima dukungan politik yang mencederai marwah akademik.
Foto yang beredar di Instagram menjadi pemicunya. Dalam potret itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) duduk di kursi kerjanya di ruang dekanat. Meja resmi, emblem universitas, hingga rak buku menjadi latar deklarasi dukungan kepada Rapin. Alasannya sederhana mereka adalah teman seangkatan di FHUI 1996.
Gestur yang terlihat remeh ini memantik badai. Bagi banyak alumni dan civitas academica, ruang dekanat bukanlah panggung politik alumni. Ia simbol otoritas akademik, bukan bilik kampanye. Ketika dekan menjadikannya arena deklarasi, batas etika pun luluh lantak.
Apalagi, sosok dekan yang memberi dukungan bukan tanpa masalah. Ia sedang disorot karena dugaan plagiat dalam disertasi S3-nya di FH UI. Figur yang mestinya menjaga standar integritas justru tampil menyeret fakultas ke dalam pusaran politik praktis.
Dari sisi Rapin, sikap diamnya menjadi catatan serius. Alih-alih menolak dukungan yang lahir dari ruang bermasalah, ia justru membiarkan, bahkan terlihat menikmati legitimasi instan itu. Seorang kandidat dengan integritas seharusnya peka: apa yang melibatkan simbol jabatan dan institusi akademik tidak bisa dianggap sekadar solidaritas angkatan.
Ironi kian kentara. FHUI, fakultas yang dibanggakan karena reputasi hukum dan moralitasnya, kini dipertaruhkan marwahnya oleh ulah pimpinannya sendiri. Publik pun bertanya, bagaimana mungkin seorang calon Ketua Umum ILUNI UI membiarkan institusi sebesar FHUI tercoreng hanya demi endorsement politik?
Rapin mungkin merasa solidaritas angkatan bisa menjadi modal. Tapi solidaritas yang dibungkus dalam kekuasaan jabatan justru menjadi bumerang. Alih-alih memperkuat posisi, ia menimbulkan kesan Rapin nyaman menunggangi politisasi ruang akademik.
Kontroversi ini menyingkap persoalan lebih dalam: jika di awal saja Rapin sudah bersandar pada dukungan cacat etik, bagaimana publik bisa percaya ia kelak menjaga independensi ILUNI UI dari intervensi kepentingan eksternal?
Kini, bukan hanya Rapin yang jadi sorotan. FHUI, lewat sang dekan yang masih dililit isu dugaan plagiat, ikut terseret. Klaim bahwa dukungan itu urusan pribadi tak lagi relevan sebab ruang dekanat bukan ruang privat. Ia simbol kekuasaan akademik, dan di situlah integritas seharusnya dijaga mati-matian.
Laporan terkait dugaan pelanggaran kampanye ini pun sudah resmi dimasukkan ke Panitia Pemilihan Langsung (Pemila) ILUNI UI pada 15 Agustus 2025. Artinya, persoalan ini bukan lagi sekadar perbincangan publik, tetapi sudah masuk ranah penanganan resmi oleh penyelenggara pemilihan.
Pemilihan ILUNI UI masih jauh dari selesai. Namun langkah Rapin sudah pincang. Ia datang sebagai kandidat yang menjanjikan, tetapi kini berpotensi dikenang sebagai simbol bagaimana politik alumni tega menabrak batas moral universitas.