PIRAMIDA.ID- Rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan daerah merupakan salah satu tema besar yang selalu muncul dalam diskursus mengenai reposisi peran perempuan dalam pembangunan dan politik.
Padahal pengakuan yang sama hak-hak perempuan dengan laki-laki dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia telah diakui secara tegas.
Pengakuan tersebut ditetapkan melalui berbagai instrumen hukum dan dengan meratifikasi berbagai konvensi yang menjamin hak-hak politik mereka.
Salah satunya dalam Undang-Undang RI No. 39 tahun 1999 tentang HAM, Pasal 6 menyebutkan bahwa, “Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan sistem pengangkatan dibidang eksekutif dan yudikatif harus menjadikan keterwakilan perempuan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.”
Hal tersebutlah yang mendorong Komunitas Kartini Indonesia (KOKASI) menggelar diskusi daring pada Kamis, 03 desember 2020.
Friska Sihombing dalam opening speech menyampaikan, kendati berbagai perangkat hukum telah melegitimasi partisipasi politik bagi perempuan, sampai saat ini antara perempuan dengan dunia politik masih merupakan dua hal yang tidak mudah dipertautkan satu dengan lainnya.
“Hal ini dibuktikan dengan keterwakilan perempuan di panggung politik dan lembaga politik formal jumlahnya masih sangat rendah dibandingkan laki-laki,” terangnya.
Bincang-bincang sobat KOKASI ini menghadirkan beberapa narasumber, yakni Gina R.Ginting (Komisioner KPUD Pematangsiantar), M.m. Restu Hapsari (Caleg DPR RI Pileg 2019), Lince Sipayung (Komda Sumbagut PP PMKRI), dan Paulina Citra Dewi (Caleg Milenial Pileg 2019).
Disampaikan oleh Gina R.Ginting, bahwasannya berdasarkan data KPU jumlah kandidat perempuan di DPR RI sebesar 2.563 orang, sedangkan kandidat perempuan dari DPD sebesar 152 orang (Pileg 2019).
Sebelumnya, hasil penelitian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) juga menyebutkan, angka keterwakilan perempuan dalam Pemilu Legislatif 2019 meningkat. Terdapat 118 atau 20,5 persen dari 575 kursi DPR akan diduduki oleh perempuan.
“Namun realitasnya masih belum mampu mencapai 30 persen wakil rakyat yang duduk di kursi parlemen,” paparnya.
Selanjutnya M.m. Restu Hapsari menjelaskan jika prinsip kesetaraan gender telah tertuang dalam undang-undang, tetapi keadilan gender masih selalu dikalahkan oleh praktik politik yang tidak mengikutsertakan perempuan.
Dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu jelas pengaturan terkait keterwakilan minimal 30 persen perempuan.
Politikus PDI Perjuangan ini juga menegaskan bahwa bisa dilihat dalam Pasal 65 ayat 1 yang berbunyi, “Setiap partai politik dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.”
Hal senada disampaikan oleh Lince Sipayung. Ia meingatkan pentingnya pematangan diri sebelum terjun ke dunia politik bagi perempuan agar nantinya siap bersuara memperjuangkan hak-hak di parlemen.
“Di sini proses kaderisasi sebuah organisasi menjadi penting. Kaderisasi berusaha menciptakan pemimpin yang matang dalam menjalankan tugasnya,” jelas Komda Sumbagut PP PMKRI tersebut.
Sementara itu, Paulina Citra Dewi menyampaikan pandangan sebagai generasi milenial akan pentingnya partisipasi perempuan dalam pemilu, seperti kontestasi pilpres, pilkada maupun pileg.
“Seperti Pemilu 2019 lalu didominasi oleh generasi milenial yang jumlahnya sekitar 80 juta dari 185 juta pemilih. Ada sekitar 35% sampai 40%. Total caleg muda ada 878 orang yang berusia di bawah 30 tahun. Itu menunjukkan kurva yang meningkat lebih dari 100 persen dari Pileg 2014,” tandas caleg milenial itu.
Disampaikannya, dalam Pilkada 9 Desember mendatang secara nasional ada 159 perempuan maju sebagai kontestan dari total 1.482 calon yang ada. Para perempuan itu bertarung dari tingkat calon gubernur (2), calon wakil gubernur (3), calon bupati (70), calon wakil bupati (58), calon wali kota (15), dan sebagai calon wakil wali kota (11).
“Maka dalam setiap pemilu atau pilkada hendaknya memilih para pemimpin atau wakil rakyat yang mempunyai kompetensi, visioner, dan memiliki track record perjuangan yang dibangun,” pungkas mahasiswa magister komunikasi politik tersebut.(*)