Piramida.id
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy
Selasa, Juli 1, 2025
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
Piramida.id
  • Berita
  • Dialektika
  • Dunia
  • Edukasi
  • Ekologi
  • Ekosospolbud
  • Kabar Desa
  • Pojokan
  • Sains
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Spiritualitas
Home Dialektika

Teror Akademik masih Membungkam Wacana Keragaman Gender dan Seksual di Kampus Indonesia

by Redaksi
21/09/2021
in Dialektika
103
SHARES
734
VIEWS
Bagikan ke FacebookBagikan ke WhatsappBagikan ke Telegram

PIRAMIDA.ID- Agustus lalu, sebuah webinar untuk mengenal transgender di Universitas Airlangga (Unair), di Jawa Timur, batal terjadi.

Panitia penyelenggara, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair, mengumumkan pembatalan acara pada hari H karena “satu dan lain hal.”

Pembatalan atau pembatasan diskusi kampus tentang isu LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) dengan alasan sumir atau moral kerap terjadi di Indonesia.

Barangkali salah satu yang paling menonjol adalah pembatalan diskusi dengan pembicara Irshad Manji – penulis buku “Allah, Liberty and Love: Suatu Keberanian Mendamaikan Iman dan Kebebasan” – di Universitas Gadjah Mada (UGM) oleh rektor “demi keamanan bersama” pada 2012.

Kasus serupa pernah terjadi di Semarang dan Malang pada 2015, serta di Jakarta pada 2016.

Pada 2016, pihak Universitas Indonesia (UI) melarang diskusi oleh Support Group & Resource Center on Sexuality (SGRC) – sebuah kelompok mahasiswa UI – dan berujung pada peristiwa “kepanikan moral LGBT”. Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi ketika itu, Mohamad Nasir menyatakan bahwa perguruan tinggi adalah penjaga moral yang sebaiknya menegakkan standar “nilai dan kesusilaan” sehingga LGBT sebaiknya tidak masuk kampus atau berkegiatan di kampus.

Sejak itu, banyak kegiatan diskusi bertema LGBT di kampus (seperti di Institut Teknologi Bandung dan UGM) dibubarkan.

Pembungkaman atas isu LGBT di kampus sudah berlangsung lama, paling tidak sejak era Orde Baru, dan sayangnya terus terjadi hingga kini. Namun, perlawanan tidak berhenti.

Pembatasan dan pelarangan di kampus

Institusi pendidikan tinggi, terutama mulai era pemerintahan Soeharto, acap kali membatasi kebebasan akademik dalam pewacanaan beberapa isu tertentu.

Isu-isu ini termasuk soal demokrasi dan hak asasi manusia, Marxisme-Leninisme dan pikiran-pikiran Soekarno, golongan etnis Tionghoa, dan Partai Komunis Indonesia.

Lalu muncul sikap tabu untuk membicarakan topik-topik yang dianggap “kritis” dan “sensitif”.

Gender dan seksualitas, apalagi yang beragam seperti LGBTQI+, termasuk dalam topik-topik tabu ini.

Penabuan ini muncul dalam berbagai bentuk. Salah satunya adalah larangan menulis topik “LGBT” sebagai tugas akhir, misalnya.

Seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta bersaksi tentang bagaimana seorang dosen mengatakan bahwa “kalau bikin skripsi topiknya jangan tentang bencong-bencong, ya!”.

Dalam sebuah percakapan dengan salah satu penulis, seorang kandidat doktor diwanti-wanti kampus tempatnya bekerja – sebuah universitas swasta di Yogyakarta – agar “tidak menulis tentang kajian LGBT”.

Sikap serupa terjadi pada staf pengajar. Kami menemukan di beberapa universitas di Jawa Timur bahwa dosen-dosen yang berafiliasi dengan organisasi “LGBTIQ+” atau diduga memiliki orientasi seksual berbeda tidak ditingkatkan secara jabatan atau secara halus disingkirkan, sehingga akhirnya keluar.

Ada seorang dosen yang tidak diberikan mata kuliah untuk mengajar di semester berikutnya. Ia mengatakan pada kami, “Aku tidak tahu, tiba-tiba aku menemukan bahwa namaku tidak ada di daftar mata kuliah semester mendatang. Waktu kutanyakan, jawabannya tidak pernah jelas”.

Tak berbeda dengan perilaku diktator sebelum Reformasi, berbagai pelarangan dan pembatasan seperti ini tidak pernah ada jejak tertulisnya. Kadang pengajar diharuskan menandatangani pernyataan tidak akan menuntut dan menyampaikan perilaku diskriminatif pemimpin kampus itu kepada media.

Tidak hanya staf pengajar yang mendapat diskriminasi. Sejak 2016, Universitas Andalas di Sumatera Barat dan Universitas Negeri Gorontalo memberlakukan peraturan khusus untuk menyaring mahasiswa yang diduga LGBT bahkan mengancam menghentikan beasiswa.

Otoritas kampus terkait menyatakan bahwa selain tidak ingin berurusan dengan hal-hal yang sensitif, penabuan yang berujung pada pembatasan dan pelarangan didasarkan pada adat ketimuran dan dasar negara yang berketuhanan.

Namun, sesungguhnya hal ini merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang menuju ke arah konservatif dengan berbagai propaganda.

Ini menunjukkan bahwa kampus sejak era Soeharto tidak memiliki kemerdekaan akademik seutuhnya, meski jargon “kampus merdeka” kini menggelegar di mana-mana.

Kondisi ini merupakan sistem warisan Orde Baru (dan pasca Orde Baru) yang tidak hanya represif dan militeristik tapi juga patriarkis, religius, dan homofobik.

Alih-alih memberikan pengetahuan mengenai keragaman gender dan seksual di masyarakat, negara lebih mengedepankan maskulinitas dalam kebijakan nasional.

Melawan dengan pengetahuan (di bawah tanah)

Negara nyaris tidak pernah hadir dalam membangun pengetahuan mengenai seksualitas.

Demikian pula kampus lebih banyak bergerak menjadi pemasok tenaga kerja bagi industri, pejabat, dan “kaki tangan” rezim.

Kita perlu menyikapi situasi dengan serius mengingat kampus pada saat ini memiliki kecenderungan melakukan riset dan kurikulum yang bergerak pada pemenuhan pasar dan sektor industri (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia)), bukan pada kemanusiaan.

Pun upaya “membungkam” pengetahuan seksualitas berdatangan dari berbagai pihak.

Selain institusi pendidikan yang cenderung konservatif (yang memunculkan Aliansi Cinta Keluarga (AILA)), ormas Islam(is) seperti Front Pembela Islam, Majelis Mujahidin Indonesia, Gerakan Pemuda Kabah, Front Jihad Islam, dan Majelis Ulama Indonesia punya andil dalam pembungkaman tersebut. Ada kalanya pimpinan perguruan tinggi tunduk kepada tuntutan mereka karena kekhawatiran keamanan atau perhitungan politik.

Meski demikian, akademisi institusi pendidikan, kelompok studi, dan lembaga swadaya masyarakat di luar kampus tetap berupaya melakukan memperkenalkan, membahas, dan memperkaya pengetahuan tentang seksualitas dalam berbagai cara; misalnya, dengan menyamarkan acara sebagai retret atau buka puasa bersama – ini dilakukan bahkan sejak Orde Baru.

Beberapa akademisi dan institusi tetap konsisten membela kebebasan akademik meski pun mengalami banyak hambatan seperti FISIP dan Fakultas Ilmu Budaya Unair di Surabaya; Pusat Studi Gender & Seksualitas Universitas Indonesia dan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi di Jakarta; Universitas Kristen Duta Wacana, FISIP Universitas Atma Jaya, dan Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta; dan masih ada lagi.

Pengembangan riset dan produksi ilmu pengetahuan tentang gender dan seksualitas akhirnya dilakukan – kadang dengan gerilya – oleh berbagai organisasi non-pemerintah yang juga melakukan advokasi terhadap individu LGBTQI+.

Beberapa di antara mereka adalah GAYa NUSANTARA, Ardhanary Institut, Suara Kita, GWL-INA dan Arus Pelangi, juga oleh sekutu-sekutu seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), Youth Interfaith Forum on Sexuality (YIFoS), dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).

Walau berusaha dibungkam, namun civitas akademika tidak lantas diam. Pergerakan memang dibatasi, tapi perlawanan tidak berhenti.(*)


Source: The Conversation

Tags: #haksipil#kampus#lgbt#merdeka
Share41SendShare

Related Posts

Pidato Lengkap Jefri Gultom di Dies Natalis GMKI ke-74: Bangkit Ditengah Pergumulan

26/02/2024

Bangkit Ditengah Pergumulan Pidato 74 tahun GMKI Jefri Edi Irawan Gultom Para peletak sejarah selalu berpegang pada prinsip ini, ‘’perjalanan...

Pewaris Opera Batak

11/07/2023

Oleh: Thompson Hs* PIRAMIDA.ID- Tahun 2016 saya menerima Anugerah Kebudayaan dari Kemdikbud (sekarang Kemendikbudristek) Republik Indonesia di kategori Pelestari. Sederhananya,...

Mengapa Membahas Masa Depan Guru “Dianggap” Tidak Menarik?

01/05/2023

Oleh: Agi Julianto Martuah Purba PIRAMIDA.ID- “Mengapa sejauh ini kampus kita tidak mengadakan seminar tentang tantangan dan strategi profesi guru di...

Membangun Demokrasi: Merawat Partisipasi Perempuan di Bidang Politik

14/04/2023

Oleh: Anggith Sabarofek* PIRAMIDA.ID- Demokrasi, perempuan dan politik merupakan tiga unsur yang saling berkesinambungan satu dengan yang lain. Berbicara mengenai...

Dari Peristiwa Kanjuruhan Hingga Batalnya Indonesia Tuan Rumah Piala Dunia U-20

03/04/2023

Oleh: Edis Galingging* PIRAMIDA.ID- Dunia sepak bola tanah air sedang merasakan duka yang dalam. Kali ini, duka itu hadir bukan...

Prinsip-Prinsip Disiplin Kelas

02/04/2023

Oleh: Muhammad Muharram Azhari* PIRAMIDA.ID- Pengertian disiplin menurut Elizabeth Hurtock mengemukakan bahwa; Disiplin itu berasal dari kata "discipline", yaitu seseorang...

Load More

Tinggalkan KomentarBatalkan balasan

Terkini

Berita

Robot Polri Tuai Kritik Netizen, Fawer Sihite: Inovasi Harus Disambut Baik, Tapi Polri Perlu Bangun Instrumen Komunikasi yang Efektif

30/06/2025
Berita

Tokoh Cipayung Plus Gabung Golkar Lewat AMPI, Jefri Gultom: Politik Adalah Etika untuk Melayani

28/06/2025
Berita

Tokoh Cipayung Plus Login Golkar Pada HUT AMPI, Bahlil Lahadalia : Adik-Adik Saya Sudah di Jalan Yang Benar

28/06/2025
Berita

IRKI Nilai Tafsir UU Tipikor atas Pedagang Pecel Lele Menyesatkan

22/06/2025
Dunia

Perang Israel-Iran Menunjukkan Pentingnya STEM, Fawer Sihite: Dukung Sikap Presiden Prabowo

22/06/2025
Berita

Buntut Viralnya Dugaan Kekerasan Terhadap Tunanetra di Siantar, ILAJ Minta KND Periksa Wali Kota dan Jajaran Terkait

19/06/2025

Populer

Berita

Tokoh Cipayung Plus Login Golkar Pada HUT AMPI, Bahlil Lahadalia : Adik-Adik Saya Sudah di Jalan Yang Benar

28/06/2025
Edukasi

Keterbatasan Jumlah Guru Terampil

09/12/2021
Berita

Tokoh Cipayung Plus Gabung Golkar Lewat AMPI, Jefri Gultom: Politik Adalah Etika untuk Melayani

28/06/2025
domain publik
Dialektika

Daoed Joesoef, Hakikat Pendidikan, dan Nilai Keindonesiaan

17/09/2021
Berita

IRKI Nilai Tafsir UU Tipikor atas Pedagang Pecel Lele Menyesatkan

22/06/2025
Dunia

Sumber Air Bersih dan Air Minum di Arab Saudi

07/06/2020
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba

No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba