Herlambang P. Wiratraman*
PIRAMIDA.ID- Paradigma Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang disahkan awal Oktober lalu menempatkan upaya perlindungan lingkungan hidup sebagai ancaman dan hambatan bagi percepatan investasi di Indonesia.
Oleh karena itu, pasal-pasal dalam UU yang kontroversial terlihat lebih memihak pada investor dengan menyederhanakan izin untuk investasi dan mengorbankan upaya perlindungan lingkungan hidup.
Tidak hanya merusak lingkungan, saya melihat UU Cipta Kerja juga berpotensi membahayakan para pembela lingkungan.
UU Cipta Kerja tidak hanya membungkam suara para aktivis pembela lingkungan tapi juga mengancam keselamatan mereka.
Pelemahan perlindungan bagi pembela lingkungan
Dari segi hukum, Indonesia sebenarnya sudah memiliki peraturan yang menjamin dan melindungi kerja para pembela lingkungan, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Pasal 66 UU tersebut menyebutkan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Ada juga Keputusan Ketua Mahkahmah Agung tahun 2013 yang mengatur agar para hakim yang memeriksa dan mengadili perkara lingkungan hidup bersifat progresif, subtantif dan humanis.
Namun, faktanya para pembela lingkungan selalu mengalami kekerasan fisik dan kriminalisasi baik secara pidana maupun secara perdata.
Kehadiran UU Cipta Kerja yang merupakan draconian law, yaitu hukum yang lebih dirasakan sebagai represi, penyingkiran hak-hak, dan lebih mementingkan kuasa pembentuknya, diharapkan memperparah upaya perlindungan bagi pembela lingkungan.
Setelah disahkannya UU Cipta Kerja 2020, perlindungan terhadap pembela lingkungan akan semakin lemah, terutama karena :
1) Menguatnya impunitas bagi perusahaan
UU Cipta Kerja dirancang agar korporasi atau perusahaan memiliki ‘impunitas’.
Artinya, perusahaan yang terbukti merusak lingkungan atau bahkan terlibat dalam pengerahan preman, akan semakin jarang dimintakan pertanggungjawaban di hadapan hukum.
Sebagai contoh, para pembela lingkungan akan semakin sulit membawa korporasi terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan (karhutla) ke meja hijau.
2) Hilangnya peran publik
Dalam UU Cipta Kerja, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tidak menjadi dasar izin Lingkungan, melainkan hanya dokumen administratif belaka.
Selain itu, Komisi Penilai AMDAL menjadi Tim Uji Kelayakan yang tidak melibatkan peran masyarakat setempat, organisasi lingkungan serta kalangan akademisi.
Hilangnya peran publik akan menambah konflik yang baru dan berpotensi meningkatkan risiko intimidasi, ancaman kriminalisasi, hingga kekerasan bagi masyarakat yang terkena dampak.
3) Terbatasnya institusi perlindungan bagi aktivis
Institusi ketatanegaraan seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM berfungsi secara terbatas sebagai pengawas kekuasaan.
Selain tak leluasa menggunakan wewenang hukum, kedua lembaga ini memiliki pendanaan sangat terbatas untuk bisa menjalankan fungsi mereka secara maksimal.
Kondisi ini menyulitkan para pembela lingkungan yang memiliki kekuatan dan perlindungan hukum yang terbatas dalam melakukan advokasi dan menuntut penegakan hukum lingkungan.
Rentan ancaman dan represi
Sebelum UU Cipta Kerja diterbitkan, para aktivis dan pembela lingkungan, bahkan jurnalis, sudah rentan mendapatkan ancaman karena mengungkap isu-isu eksploitasi sumberdaya alam di seluruh penjuru Tanah Air.
Selama tahun 2019, ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) mencatat setidaknya ada 27 kasus kekerasan yang menimpa pembela lingkungan di 14 provinsi atau 27 kabupaten/kota.
Ini meliputi sektor agraria (17 kasus), pertambangan (6 kasus), infrastruktur (3 kasus) dan pariwisata (1 kasus).
Sementara, jumlah korban mencapai 128 orang, mayoritas petani (32 orang) dan masyarakat adat (12 orang).
Misalnya, tewasnya aktivis dan pengacara dari NGO lingkungan hidup WALHI, Golfrid Siregar, di Medan, Sumatra Utara pada tahun 2019.
Sebelum meninggal, ia sedang aktif melakukan gugatan hukum atas pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara.
Pembangunan ini mengundang kontra keras dari masyarakat sipil karena berpotensi merusak habitat orang utan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), salah satu spesies langka di dunia.
Pada tahun yang sama, kasus pembakaran rumah dari Murdani, direktur organisasi lingkungan hidup independen, WALHI, di Nusa Tenggara Barat (NTB), yang saat itu aktif menyuarakan penolakan tambang pasir.
Di kalangan jurnalis, ada kasus pembunuhan Ardiansyah Matra’is, jurnalis Tabloid Jubi dan Merauke TV, di Merauke, Papua, tahun 2010.
Atau, kasus penganiayaan berat terhadap Ahmadi, wartawan Harian Aceh oleh Pasi Intel KODIM 0115 Simeulue di Makodim Simuelue, pada tahun yang sama.
Kedua jurnalis tersebut aktif melakukan liputan soal pembalakan liar di daerah masing-masing.
Perlindungan HAM berbasis pasar
Sekalipun Pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo menekankan perlindungan HAM dan lingkungan dalam kebijakannya, namun kebijakan itu diarahkan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan-kepentingan ramah investasi dan tidak menabrak prioritas ekonomi Indonesia.
Dengan kata lain, Jokowi menegakkan HAM yang berbasis pasar.
Kepentingan pemodal, investasi, dan perdagangan bebas menjadi lebih dominan mempengaruhi orientasi kebijakannya yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi.
Salah satu turunan produk hukumnya adalah UU Cipta Kerja yang juga membuka peluang serangan terhadap pembela lingkungan.
Penulis merupakan Dosen Hukum Konstitusi di Universitas Airlangga. Pertama kali terbit untuk The Conversation.