Emi Lidia Nadeak*
PIRAMIDA.ID- Buku ini merupakan penggabungan dua buku menjadi satu (we should all be feminist dan dear ijeawele, or a feminist manifesto in fifteen suggestion). Ditulis dengan apik oleh Chimamanda Ngozi Adichie, seorang novelis dan feminis dari Afrika. Karya-karyanya telah diterjemahkan kedalam tiga puluh bahasa dan telah muncul di berbagai media termasuk The New Yorker.
Di dalam buku ini, Adichie tidak hanya mempertanyakan soal apa itu feminisme dan apa arti menjadi feminism di era sekarang ini.
Adichie juga menawarkan solusi praktis itu atas pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan. Dan solusi praktis itu bukan hanya soal diri kita, tetapi juga apa yang harus ia ajarkan kepada anak-anak kita untuk mewujudkan dunia yang lebih baik di masa sekarang dan masa yang akan datang.
Dalam halaman-halaman pertama bukunya, Adichie bercerita tentang pengalamannya ketika saat SD dan hasratnya saat ingin menjadi “pengawas kelas” yang dibatasi gender.
“Ketika saya masih di sekolah dasar di Nsukka, sebuah kota di kompleks universitas di Nigeria tenggara, guru saya mengatakan pada awal semester bahwa ia akan memberikan tes dan siapapun yang memperoleh skor tertinggi akan menjadi pengawas kelas. Anda bisa menuliskan nama-nama yang suka membuat kebisingan dan Anda juga akan diberikan semacam tongkat ketika Anda akan menyisir meja-meja untuk mengawasi anak-anak yang rebut.
Tentu saja Anda tidak boleh memukulkan tongkat itu. Bagi saya yang berusia sembilan tahun itu adalah prospek yang menarik. Saya ingin menjadi pengawas kelas. Dan saya pun dapat nilai tertinggi dalam tes itu.
Yang mengejutkan, guru saya itu mengatakan bahwa pengawas kelas harus seorang anak laki-laki. Dia lupa menjelaskan di awal; dia menganggap hal itu sudah jelas diketahui umum. Ada seorang anak laki-laki yang memiliki skor di bawah saya atau kedua tertinggi.
Maka dialah akhirnya menjadi pengawas kelas. Yang lebih menarik adalah dia tidak berminat untuk berpatroli menggunakan tongkatnya sementara saya sangat berambisi untuk melakukannya. Tapi saya perempuan, dia laki-laki, dan menjadi pengawas kelas adalah anak laki-laki tersebut.”
Bahwa yang disampaikan dalam buku bagian pertama ini adalah tidak adanya kesetaraan gender. Jika kita melakukan sesuatu berulang kali maka sesuatu itu akan menjadi normal. Sama halnya ketika kita sudah terbiasa melihat pengawas kelas itu adalah anak laki-laki maka ketika anak perempuan yang menjadi pengawas kelas akan menjadi satu hal yang tidak wajar.
Maklum, laki-laki dianggap pemimpin. Memang laki-laki dan perempuan itu berbeda, memiliki hormon, organ seksual, serta kemampuan biologis yang berbeda sehingga laki-laki lebih kuat secara fisik dari perempuan.
Hari ini kita hidup di dunia yang sangat berbeda. Orang yang memenuhi syarat untuk memimpin adalah bukanlah orang secara fisik lebih kuat tetapi yang lebih cerdas dan lebih berpengetahuan, kreatif, dan inovatif.
Kita telah berevolusi tapi ide-ide kita tentang gender hampir sama sekali belum berubah. Yang bermasalah dengan gender adalah ia menentukan bagaimana kita seharusnya, bukan mengakui siapa kita sebenarnya. Dalam buku ini disampaikan bahwa budaya tidak membentuk manusia. Manusialah yang membentuk budaya.
Dalam buku ini bagian kedua, yaitu menyampaikan 15 anjuran cara membesarkan anak perempuan menjadi seorang feminis.
Anjuran pertama: jadilah manusia sepenuhnya. Setiap orang selalu memiliki pendapat tentang apa yang harus kau lakukan tetapi yang terpenting adalah apa yang kau inginkan untuk dirimu sendiri.
Anjuran kedua: lakukan bersama-sama. Tidak harus limapuluh-limapuluh atau bergantian secara teratur setiap hari, tapi tetapi kau akan tahu kapan pengasuhan itu kalian bagi secara adil. Karena ketika ada kesetaraan sejati, kejengkelan akan lenyap.
Anjuran ketiga: ajari bahwa gagasan peran gender itu omong kosong belaka. Jangan mengatakan padanya bahwa ia harus atau tidak boleh melakukan sesuatu karena dia perempuan. Peran gender sudah sangat terkondisikan dalam diri kita sehingga kita sering mengikutinya bahwa ketika ia bertentangan dengan keinginan sejati kita, kebutuhan kita, atau kebahagian kita. Mereka sulit untuk dilepas.
Anjuran keempat: waspadai bahaya dari apa yang aku sebut feminism lite. Ini adalah gagasan tentang kesetaraan perempuan bersyarat. Gagasan yang lebih meresahkan dalam feminism lite adalah bahwa laki-laki secara alami unggul tetapi diharapkan untuk memperlakukan perempuan dengan baik. Kita menilai perempuan tangguh dengan tajam daripada saat menilai seorang pria tangguh.
Anjuran keenam: ajari dia untuk mempertanyakan bahasa. Bahasa adalah gudang prasangka kita, keyakinan kita, asumsi kita. Tetapi untuk mengajarinya kau sendiri harus mempertanyakan bahasamu sendiri. Cobalah untuk tidak mengatakan, seperti misogini atau patriarki.
Anjuran ketujuh: jangan katakan padanya bahwa pernikahan adalah sebuah pencapaian. Bahwa dalam masyarakat yang benar-benar adil, wanita seharusnya tidak diharapkan untuk membuat perubahan yang berbasis pernikahan.
Anjuran kedelapan: ajari dia untuk menolak disukai. Pekerjaannya bukan untuk membuat dirinya disukai, tetapi menjadikan dirinya secara penuh, diri yang jujur dan sadar akan kemanusian yang setara satu sama lain.
Anjuran kesembilan: berikan dia rasa identitas. Ajari dia tentang hak istimewa dan ketidaksetaraan dan pentingnya memberikan martabat kepada semua orang yang tidak bermaksud menyakitinya, ajarkan dia bahwa pembantu rumah tangga adalah manusia yang sama seperti dirinya.
Anjuran kesepuluh: berhati-hatilah tentang bagaimana kau terlibat dengannya dan cara ia berpenampilan. Buatlah pakaian adalah perkara selera dan daya tarik, bukan moralitas.
Anjuran kesebelas: ajari dia untuk mempertanyakan penggunaan biologi selektif budaya kita yang dijadikan alasan untuk norma-norma sosial.
Anjuran kedua belas: bicaralah dengannya tentang seks dan mulailah sedini mungkin. Memang sedikit canggung, tapi itu perlu.
Anjuran ketiga belas: percintaan akan terjadi, jadi ikutilah prosesnya. Mencintai bukan hanya soal memberi, tetapi juga menerima.
Anjuran keempat belas: ketika mengajarinya tentang penindasan, berhati-hatilah agar orang yang tertindas tidak menjadi orang suci.
Anjuran kelima belas: ajari soal perbedaan. Buat perbedaan menjadi hal yang normal. Karena perbedaan realitas dunia kita.
Dan masih banyak hal lainnya yang menarik dalam buku ini. Karya yang layak diapresiasi.
Sebagai pembaca, saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca. Buku ini memberi solusi prakstis bagi diri kita bahkan memberi lima belas anjuran untuk generasi masa depan kita bagaimana kita seharusnya sadar akan kesetaraan manusia.
Penulis merupakan mahasiswa Universitas HKBP Nommensen. Founder Komunitas Kartini Indonesia (Kokasi).
Editor: Red/Hen