Muhammad Zulfikar Rakhmat & Media Wahyudi Askar*
PIRAMIDA.ID- Ini merupakan tahun pertama yang berat bagi Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Mantan pengusaha itu terpilih kembali sebagai Presiden Indonesia pada tahun lalu, tapi hanya beberapa bulan memasuki masa jabatan keduanya, dia harus berhadapan dengan pandemi COVID-19.
Beberapa bulan kemudian, Jokowi menjadi sasaran kritik keras atas keputusannya dalam mendukung pengesahan Undang Undang Sapu Jagat Cipta Kerja yang kontroversial.
Banyak aksi demonstrasi untuk menentang pemerintahan Jokowi dan telah berkembang di seluruh Indonesia. Para pengunjuk rasa berasal dari berbagai kalangan masyarakat, termasuk mahasiswa dan kelompok pekerja.
Beberapa survei mengenai kinerja Presiden pada tahun pertama, termasuk yang dikeluarkan oleh media terkemuka Harian Kompas, menunjukkan kepercayaan publik terhadap Jokowi menurun.
Survei Kompas menunjukkan persentase orang-orang yang puas dengan kinerja Jokowi turun menjadi kurang dari 40% pada Oktober. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan pada masa jabatan pertamanya, ketika kepercayaan publik mencapai lebih dari 70%.
Tulisan ini melihat tiga alasan utama meningkatnya kekecewaan publik terhadap Jokowi.
Gagal melindungi masyarakat Indonesia dari COVID-19
Setelah mengumumkan kasus COVID-19 pertama pada 2 Maret 2020, Indonesia kini memiliki angka kematian tertinggi di Asia Tenggara.
Per 3 November 2020, Indonesia tercatat memiliki 415.402 kasus COVID-19, tertinggi di Asia Tenggara dan peringkat ke-19 di dunia.
Hal ini menunjukkan penanganan pandemi yang buruk oleh pemerintah Indonesia.
Alasan utamanya adalah pemerintah lebih memprioritaskan ekonomi daripada kesehatan rakyat.
Alih-alih mengalokasikan sumber daya ke sektor kesehatan ketika virus pertama kali menyerang negara Indonesia pada Maret, pemerintah memutuskan untuk mengalokasikan hampir Rp 300 miliar di sektor pariwisata untuk menangkal dampak negatif dari wabah virus corona. Inisiatif, yang bertujuan untuk menarik lebih banyak turis asing, akhirnya ditunda karena tekanan dari masyarakat.
Sementara negara-negara lain berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk menangani COVID-19, Indonesia justru sebaliknya.
Ketika negara-negara seperti Vietnam dan Singapura yang mendapat pujian atas penanganan COVID-19 mereka telah memberlakukan aturan ketat untuk melindungi rakyatnya. Sebaliknya, pemerintah Indonesia justru hanya memikirkan agar aktivitas ekonomi tetap berjalan normal.
Dalam keputusan yang kontroversial, Kementerian Badan Usaha Milik Negara meminta karyawannya yang berusia di bawah 45 tahun untuk tetap kembali bekerja di kantor pada 25 Mei. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari upaya melonggarkan kebijakan lockdown parsial , terutama untuk sektor bisnis.
Pemerintah juga mengizinkan 500 pekerja Cina untuk masuk ke Indonesia guna melanjutkan pekerjaan proyek Cina di Indonesia. Keputusan ini, menurut Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, akan membantu pemulihan perekonomian negara.
Semua keputusan tersebut dilakukan saat Indonesia tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menangani COVID-19.
Sampai hari ini, Indonesia masih memiliki fasilitas dan staf medis terbatas untuk menangani pasien COVID-19.
Indonesia juga masih belum dapat melacak individu yang terinfeksi secara akurat. Hal ini ditunjukkan dengan sering terjadinya perbedaan data antara pusat pemerintah dan pemerintah daerah terkait jumlah individu yang tertular.
Pelaksanaan tes COVID-19 di Indonesia juga telah banyak dikritik, dan tenaga medis masih belum mendapatkan perlindungan yang memadai. Banyak dari mereka meninggal karena tidak mendapatkan perlindungan yang cukup oleh Pemerintah, tapi tidak ada data pasti berapa banyak jumlahnya.
Ironisnya, meski upaya penyelamatan ekonomi dilakukan dengan mengorbankan kesehatan masyarakat, ekonomi Indonesia tetap tak terselamatkan akibat hantaman pandemi.
Indonesia resmi mengalami resesi setelah mengalami penurunan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) pada kuartal kedua dan ketiga tahun ini.
Gagal mendengarkan keprihatinan masyarakat
Selain gagal melindungi masyarakat dari COVID-19, Jokowi juga gagal mendengarkan tuntutan rakyat.
Pertama, Presiden belum mendengarkan imbauan dari organisasi agama dan kelompok masyarakat sipil untuk menunda pemilihan kepala daerah.
Meskipun ada kekhawatiran bahwa pemilihan kepala daerah akan memperburuk penyebaran COVID-19, Jokowi tetap memutuskan untuk melanjutkan pemilihan di 270 daerah pada Desember.
Argumen utamanya adalah bahwa pemilu itu penting untuk menjaga agar roda perekonomian terus berputar.
Namun, beberapa berspekulasi bahwa keputusannya didorong oleh fakta bahwa putranya, Gibran Rakabuming Raka, dan menantunya, Bobby Nasution, mencalonkan diri untuk posisi wali kota masing-masing di Solo, Jawa Tengah, dan Medan, Sumatera Utara. Menunda pemilu hanya akan mengurangi peluang mereka untuk menang.
Kedua, Jokowi menutup telinga atas tuntutan masyarakat untuk menghentikan pengesahan RUU Cipta Kerja. Sebaliknya dia dan anggota parlemen diam-diam mengeluarkan undang-undang yang dikritik karena mengorbankan tenaga kerja dan lingkungan demi mengutamakan kepentingan investor.
Masyarakat dari semua lapisan turun ke jalan meminta pemerintah mencabut undang-undang tersebut. Namun, mereka justru mendapatkan serangan gas air mata oleh angkatan bersenjata.
Mengkriminalisasi kritik
Yang membuat keadaan menjadi lebih buruk adalah pemerintahan Jokowi telah mengambil langkah-langkah tidak demokratis untuk membungkam para pengkritiknya. Beberapa bahkan telah ditangkap.
Salah satunya adalah Ravio Patra, peneliti independen dan pemerhati pengelolaan data dan informasi pemerintah, yang ditangkap atas tuduhan menyebarkan informasi palsu setelah mengkritik pemerintah di Twitter.
Pemerintah juga berencana untuk menutup akun media sosial yang mengkritik pemerintah dan mencapnya sebagai penyebar hoaks.
Tidak hanya itu, pemerintah juga memutuskan untuk menghukum siswa yang terlibat dalam aksi demonstrasi menentang Omnibus Law dengan mempersulit pembuatan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) serta diberikan catatan khusus dalam surat keterangan tersebut. Hal ini akan membuat mereka sulit mendapatkan pekerjaan.
Apa langkah selanjutnya
Dengan penjelasan di atas, kami berpendapat bahwa Jokowi harus memikirkan kembali bagaimana dia menangani COVID-19 dan protes publik. Jika tidak, dia kemungkinan akan menghadapi reaksi keras dari masyarakat, yang mungkin akan membuat dirinya kehilangan posisinya sebagai presiden.
Respons keras dan represif dari pemerintah terhadap kritik publik diperkirakan akan menimbulkan kondisi yang tidak menguntungkan bagi Jokowi sebagai pemimpin negara ini.
Jokowi harus belajar dari sejarah, terutama dari kejatuhan Presiden Suharto pada 1998, setelah mendapat penolakan keras dari rakyat.
Hari ini, Jokowi menghadapi situasi yang mirip dengan hari-hari terakhir Suharto tahun 1998: demonstrasi anarkis menentang kepemimpinannya yang semakin meluas dengan krisis ekonomi.
Jokowi harus mengambil langkah konkret untuk mulai mendengarkan protes dan tuntutan rakyat, atau dia mungkin mengambil risiko kehilangan jabatannya seperti Suharto, yang terpaksa mengundurkan diri menyusul protes besar-besaran oleh mahasiswa dan aktivis.
Source: The Conversation.