Piramida.id
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy
Selasa, Januari 31, 2023
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
Piramida.id
  • Berita
  • Dialektika
  • Dunia
  • Edukasi
  • Ekologi
  • Ekosospolbud
  • Kabar Desa
  • Pojokan
  • Sains
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Spiritualitas
Home Dialektika

Ana ‘Abdu Man ‘Allamani

by Redaksi
17/06/2020
in Dialektika
istimewa

istimewa

100
SHARES
715
VIEWS
Bagikan ke FacebookBagikan ke WhatsappBagikan ke Telegram

Ulil Abshar Abdalla*

PIRAMIDA.ID- Salah satu ajaran kebijaksanaan yang terus menempel dalam diri saya sejak mepelajarinya pertama kali dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim (kitab pedagogik yang populer di pesantren) adalah berikut ini: “ana ‘abdu man ‘allamani, walaw harfan wahidan.”

Kalimat ini, konon, berasal dari Sayyidina Ali, khalifah keempat dalam Islam yang oleh Kanjeng Nabi disebut sebagai “gerbang kota ilmu” itu. Makna kebijaksanaan ini adalah sbb.: “Aku adalah hamba/budak bagi siapapun yang mengajarkan ilmu kepadaku, walau sehuruf saja.”

Kalimat ini, bagi saya, mewakili cara pandang yang khas dalam tradisi Islam klasik terhadap ilmu dan orang-orang yang menyebarkannya. Sekurang-kurangnya ada dua pengertian penting di sana. Pertama, kebijaksanaan ini mengajarkan satu hal amat penting: bahwa ilmu amatlah berharga.

Pandangan seperti ini mungkin tampak aneh saat imi. Di tengah-tengah banjir informasi sekarang, pengetahuan seperti mengalami “inflasi”. Di dalam era ketika buku-buku yang telah berubah format menjadi buku-digital (baca: ebook) bisa diperoleh secara gratis hanya dengan satu-dua klik saja, pengetahuan tampak kehilangan harga.

Inilah zaman yang ditandai dengan ciri berikut: Siapa saja bisa baca apa saja (asal memiliki koneksi internet, tentunya!). Sesuai dengan hukum besi suplai-dan-permintaan, manakala sesuatu tersedia melimpah, tentu harganya merosot, nilainya “ambyar”. Inilah nasib informasi dan pengetahuan sekarang.

Zaman saya kecil dulu, sebuah buku menjadi amat berharga, karena sukar diperoleh. Saya akan membaca buku itu huruf demi huruf, paragraf demi oaragraf, dengan sabar, dengan khusyuk dan takzim, hingga tamat. Karena buku lain belum tersedia, sementara semangat membaca masih menyala-nyala, saya kadang  harus membaca buku itu berulang kali, seperti mendaras Qur’an.

Sekarang, di tengah kelimpahan buku dan informasi, pengalaman membaca yang “sakral” itu hilang! Saya kadang kangen pada “firdaus indah” yang pernah saya alami justru pada saat buku sedang langka itu. Apakah ini yang disebut “the curse of abundance,” kutukan kelimpahan?

Kebijaksanaan dari Sayyidina Ali tadi, bagi saya, mengingatkan kembali: bahwa apapun yang terjadi pada pengetahuan, ia tetaplah sesuatu yang berharga. Tentu saja nilai pengetahuan yang diperoleh via online, yang kita pelajari secara “langsung” melalui seorang guru, secara “muwajahah”, face-to-face, jelas berbeda. Tetapi ilmu tetaplah ilmu: ia adalah barang yang amat  berharga.

Karena itu, dan ini adalah pengertian kedua yang terkandung dalam kebijaksanaan Sayyidina Ali di atas, seorang guru yang telah menjadi sarana bagi transmisi atau pemindahan ilmu hingga sampai kepada kita, dengan sendirinya memiliki kedudukan yang juga amat terhormat.

Seseorang yang membawa barang berharga, akan “tertulari” oleh nilai yang terkandung dalam barang ia bawa itu. Jika anda membawa surat yang ditulis oleh, misalnya, Hadratusysyaikh Hasyim Asy’ari (kakek Gus Dur itu), tentu saja anda akan tertulari oleh “barakah” atau nilai di dalam surat tersebut. Anda akan memperoleh “kramat gandul”.

Kira-kira demikianlah “logic” atau alasan di balik kalimat bijaksana yang diucapkan oleh Sayyidina Ali itu. Ketika anda mendapatkan pengetahuan atau ilmu dari seserang, persis pada momen itu terjadi hubungan yang “spesial” antara anda dan orang itu: hubungan yang “keramat”. Anda telah menjadi “budak” bagi orang itu.

Istilah “budak” di sini janganlah ditafsirkan secara keliru, seolah-olah seorang murid harus “manut tanpa bisa berpendapat lain”. Ini jelas pengertian yang salah. Dalam sejarah intelektual Islam, sangat lumrah seorang murid berbeda pendapat dengan guru. Menghormati guru bukan berarti menutup sama sekali pintu untuk berbeda pendapat.

Kata “budak” di sini harus dimaknai dalam konteks kultur bangsa Arab pada abad-abad pertama Islam. Seseorang yang menjadi budak bagi orang lain dan kemudian oleh yang terakhir ini dimerdekakan, ia, dalam budaya masyarakat Arab dahulu, akan memiliki hubungan khusus dengan mantan majikannya itu.

Hubungan itu, dalam tradisi Arab, disebut wala’. Artinya: mantan budak tersebut terikat oleh hubungan khusus yang mirip hubungan kesedarahan atau kesukuan. Bekas budak itu seolah-olah menjadi bagian dari “kabilah” atau “keluarga besar” sang mantan majikan. Ini yang disebut hubungan wala’.

Itulah sebabnya, dalam bahasa Arab klasik, seorang budak/mantan budak disebut juga “maula”, artinya, seseorang yang terikat hubungan wala’ dengan mantan majikan.

Seorang murid/santri yang telah menerima ilmu dari seorang guru/kiai, ia terikat oleh hubungan khusus semacam ini. Santri itu telah menjadi bagian dari “keluarga besar” sang kiai. Hubungan ini akan terus bertahan hingga kapanpun. Seorang santri yang “sowan” kepada guru atau kiainya, ia seperti sedang mengunjungi keluarganya sendiri.

Inilah, menurut saya, makna kalimat Sayyidina Ali yang masyhur itu.

Tentu saja, makna ini, sekarang, sudah mengalami “desakralisasi”, kehilangan kekeramatan, seiring dengan inflasi yang terjadi pada ilmu dan pengetahuan secara umum. Hubungan antara murid dan guru pelan-pelan seperti bergeser menjadi hubungan yang sifatnya agak “kontraktual”: seperti penjual dan pembeli.

Keadaan ini tentu amat kurang menyenangkan bagi orang-orang yang tumbuh dalam tradisi Ta’limul Muta’allim seperti saya. Meminjam istilah terkenal dari Karl Marx, keadaan ini telah menimbulkan “entfremdung,” keterasingan, dan alienasi pada diri saya. Dan setiap alienasi akan membawa kesedihan dan ketidak-nyamanan.

Saya kira, tradisi menghargai ilmu dan guru seperti digambarkan oleh Sayyidina Ali itu tetap layak dipertahankan dan dihidupkan lagi. Inilah, barangkali, salah satu cara untuk memulihkan kembali “pesona” kepada dunia yang sudah mengalami de-sakralisasi terlalu jauh.

Inilah proses (untuk meminjam dengan sedikit modifikasi istilah dari Max Weber) “re-enchantment of the world“.

Sekian.


Penulis adalah seorang tokoh Islam Liberal di Indonesia yang berafiliasi dengan Jaringan Islam Liberal. Ulil berasal dari keluarga Nahdlatul Ulama. Ayahnya Abdullah Rifa’i dari pesantren Mansajul Ulum, Pati, sedang mertuanya, Mustofa Bisri, kyai dari pesantren Raudlatut Talibin, Rembang.

Tags: #ilmu#kebijaksanaan#ngaji
Share40SendShare

Related Posts

Manusia sebagai Makhluk Mengada dalam Ruang & Waktu

18/12/2022

Oleh: Inosius Pati Wedu* PIRAMIDA.ID- Kemajuan teknologi transportasi, informasi dan komunikasi di zaman modern menyebabkan manusia dapat berinteraksi dan berkomunikasi...

Sejarah Bidang

17/12/2022

PIRAMIDA.ID- “Sejarah itu bersajak”, ujar Mark Twain. Walau sejarah tak bisa terulang kembali. Sekarang, ke mana dan di mana kita...

Romantisme Bom Bunuh Diri Astana Anyar

12/12/2022

Oleh: Gregorius Bryan G. Samosir (Ketua Lembaga Pengembangan SDM PP PMKRI) PIRAMIDA.ID- Belum kering air mata akibat gempa yang mengguncang...

Peran Media Massa Sebagai Salah Satu Konsep Kekuatan Politik di Indonesia

18/11/2022

Oleh: Dwi Puja Kusuma* PIRAMIDA.ID- Perkembangan media massa di Indonesia mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Utamanya setelah memasuki era reformasi,...

Eksistensi ABRI Sebagai Aktor Kekuatan Politik Pasca Orde Baru

16/11/2022

Oleh: Aulia Sindi Pifua* PIRAMIDA.ID- Berbicara mengenai politik merupakan satu hal yang sangat menarik, namun perlu digarisbawahi juga bahwa tidak...

Perkembangan Politik Pencitraan diselaraskan dengan Perkembangan Demokrasi

11/11/2022

Oleh: Buha Pasaribu* PIRAMIDA.ID- Pencitraan kebijakan atau political imaging, berkembang dengan demokrasi di Indonesia, dimulai dengan pemilihan presiden langsung tahun...

Load More

Tinggalkan Komentar Batalkan balasan

Terkini

Edukasi

Meningkatkan Keadilan di Indonesia

29/01/2023
Berita

Esensi Kekuasaan di Indonesia

28/01/2023
Berita

Komda PMKRI Sumbagut: Wali Kota Medan Penuh Pencitraan

28/01/2023
Berita

PP Simalungun Buka Pendaftaran Balon Ketua MPC Simalungun

28/01/2023
Berita

Tuntaskan Perkara Judi Apin BK, Komda PMKRI Sumut Apresiasi Kinerja Kapolda Sumut

28/01/2023
Sains

Cerita tentang Bedes Bijak (Homosapiens)

27/01/2023

Populer

Prosesi sertijab PP GMKI/screeshot
Berita

PP GMKI Resmi dikukuhkan, Ini Susunan Pengurus Pusat GMKI Masa Bakti 2020-2022

09/01/2021
ilustrasi: tirto.id/Gery
Sains

Apa itu Teori Evolusi Darwin?

27/01/2023
Berita

Syukuran Pembubaran Panitia, Panitia Perayaan Natal 3 Sinode Gelar Pemberian Tali Asih di Panti Asuhan

02/06/2022
Berita

Esensi Kekuasaan di Indonesia

28/01/2023
Edukasi

Keterbatasan Jumlah Guru Terampil

09/12/2021
Berita

Kritik Sastra: Pengertian, Fungsi, Manfaat dan Pendekatan

14/11/2022

FULL CAFE SIANTAR DI JALAN NARUMONDA ATAS NO 30

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy

© 2020-2021 Piramida ID

wisata indonesia - destinasi wisata terpopuler Rotasi Asia - Berita Terkini Spot Wisata Danau Toba Terbaik destinasi wisata dunia

No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas

© 2020-2021 Piramida ID

wisata indonesia - destinasi wisata terpopuler Rotasi Asia - Berita Terkini Spot Wisata Danau Toba Terbaik destinasi wisata dunia