Piramida.id
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy
Rabu, Juli 16, 2025
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
Piramida.id
  • Berita
  • Dialektika
  • Dunia
  • Edukasi
  • Ekologi
  • Ekosospolbud
  • Kabar Desa
  • Pojokan
  • Sains
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Spiritualitas
Home Ekologi

Bagaimana Petani Indonesia mampu Beradaptasi Hadapi Krisis Iklim

by Redaksi
28/02/2021
in Ekologi
Surel
    Twitter
    Facebook
    LinkedIn
    Cetak

Perubahan iklim berdampak pada siapa saja, termasuk para petani.

Perubahan iklim yang sering mengakibatkan kekeringan dan banjir bisa menimbulkan ancaman gagal panen dan juga mengakibatkan penurunan produksi beras nasional.

Beberapa kajian menunjukkan bahwa petani di berbagai belahan dunia, seperti di India, Pakistan, Ghana dan negara-negara di Afrika Timur tidak memiliki kemampuan melakukan adaptasi menghadapi perubahan iklim karena rendahnya sumber daya ekonomi dan terbatasnya pilihan baik berupa teknologi maupun infrastruktur.

Namun, berdasarkan hasil penelitian saya menunjukkan bahwa petani di kawasan Indramayu, Jawa Barat, mampu melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim secara kolektif.

Sebagai negara yang sangat mengandalkan padi sebagai pangan pokok, survei ini penting untuk melihat ketahanan petani dalam beradaptasi atas dampak perubahan iklim yang sedang terjadi.

Apabila petani dapat membangun ketahanan secara mandiri, maka mereka dapat mencapai kesejahteraan dan berkontribusi positif terhadap keberlanjutan pasokan pangan nasional.
Peran pemimpin, petani, dan tradisi adaptasi kolektif

Kabupaten Indramayu merupakan lumbung beras terbesar di provinsi Jawa Barat karena menyumbang produksi beras sebesar 1.391.928 ton pada tahun 2018.

Namun, cuaca tidak menentu akibat perubahan iklim menjadi ancaman yang serius bagi petani lokal.

Dari hasil survei yang saya lakukan pada tahun 2019, setidaknya 70% dari 296 responden petani di Desa Nunuk menyatakan mereka tidak bisa lagi menentukan musim tanam.

Sebagai contoh, mereka sulit untuk menentukan awal musim tanam padi karena ketidakpastian terjadinya musim penghujan.

Selain itu, 58% petani menyatakan musim kekeringan semakin sering terjadi dan 69% mengakui bahwa musim penghujan semakin tidak menentu, baik waktu maupun intensitas.

Namun hasil survei saya juga menunjukkan bagaimana para petani desa Nunuk, Indramayu mampu beradaptasi terhadap ketidakpastian iklim melalui mekanisme partisipasi mereka dalam menentukan waktu tanam padi.

Di bawah kepemimpinan kepala desa, para petani lokal dapat menetapkan waktu tanam padi dengan menghitung siklus pertumbuhan hama dan mempertimbangkan informasi iklim dari ilmuwan.

Pengetahuan tentang hama ini didapatkan setelah mereka mengikuti program Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) di Kabupaten Indramayu pada tahun 1994 hingga 1996.

SLPHT merupakan program nasional pemerintah pusat dengan bantuan teknis dari Badan Pangan Dunia (FAO), dan Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu sebagai pendamping para petani. Program ini digelar karena daerah tersebut terkena serangan hama secara masif pada tahun 1994 hingga 1995.
Petani desa Nunuk Kabupaten Indramayu tengah memanen padi pada September 2018. Ica Wulansari
Petani Kabupaten Indramayu menanam padi di lahan persemaian pada Desember 2018. Ica Wulansari

Sejak itu, komunitas petani di desa Nunuk secara konsisten menerapkan pengetahuan dari SLPHT tentang hama dan skenario dalam menentukan masa tanam padi.

Selain itu, mereka mendapatkan informasi terkait iklim dari Warung Ilmiah Lapangan, program yang digagas oleh ahli agro-metereologi Cornelius J. Stigter (Wageningen University di Belanda) dan antropolog Yunita T. Winarto (Universitas Indonesia), tahun 2008.

Program ini membentuk suatu jaringan petani dan ilmuwan yang membantu meningkatkan kapasitas petani dalam melakukan antisipasi terhadap perubahan iklim.

Dalam kasus desa Nunuk, ilmuwan memberikan informasi iklim untuk membantu petani dalam menentukan awal masa tanam padi.
Lokasi lahan sawah yang menerapkan percepatan tanam padi di Gabus Wetan, Kabupaten Indramayu. Foto diambil pada September 2018. Ica Wulansari

Surel Twitter Facebook LinkedIn Cetak Perubahan iklim berdampak pada siapa saja, termasuk para petani. Perubahan iklim yang sering mengakibatkan kekeringan dan banjir bisa menimbulkan ancaman gagal panen dan juga mengakibatkan penurunan produksi beras nasional. Beberapa kajian menunjukkan bahwa petani di berbagai belahan dunia, seperti di India, Pakistan, Ghana dan negara-negara di Afrika Timur tidak memiliki kemampuan melakukan adaptasi menghadapi perubahan iklim karena rendahnya sumber daya ekonomi dan terbatasnya pilihan baik berupa teknologi maupun infrastruktur. Namun, berdasarkan hasil penelitian saya menunjukkan bahwa petani di kawasan Indramayu, Jawa Barat, mampu melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim secara kolektif. Sebagai negara yang sangat mengandalkan padi sebagai pangan pokok, survei ini penting untuk melihat ketahanan petani dalam beradaptasi atas dampak perubahan iklim yang sedang terjadi. Apabila petani dapat membangun ketahanan secara mandiri, maka mereka dapat mencapai kesejahteraan dan berkontribusi positif terhadap keberlanjutan pasokan pangan nasional. Peran pemimpin, petani, dan tradisi adaptasi kolektif Kabupaten Indramayu merupakan lumbung beras terbesar di provinsi Jawa Barat karena menyumbang produksi beras sebesar 1.391.928 ton pada tahun 2018. Namun, cuaca tidak menentu akibat perubahan iklim menjadi ancaman yang serius bagi petani lokal. Dari hasil survei yang saya lakukan pada tahun 2019, setidaknya 70% dari 296 responden petani di Desa Nunuk menyatakan mereka tidak bisa lagi menentukan musim tanam. Sebagai contoh, mereka sulit untuk menentukan awal musim tanam padi karena ketidakpastian terjadinya musim penghujan. Selain itu, 58% petani menyatakan musim kekeringan semakin sering terjadi dan 69% mengakui bahwa musim penghujan semakin tidak menentu, baik waktu maupun intensitas. Namun hasil survei saya juga menunjukkan bagaimana para petani desa Nunuk, Indramayu mampu beradaptasi terhadap ketidakpastian iklim melalui mekanisme partisipasi mereka dalam menentukan waktu tanam padi. Di bawah kepemimpinan kepala desa, para petani lokal dapat menetapkan waktu tanam padi dengan menghitung siklus pertumbuhan hama dan mempertimbangkan informasi iklim dari ilmuwan. Pengetahuan tentang hama ini didapatkan setelah mereka mengikuti program Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) di Kabupaten Indramayu pada tahun 1994 hingga 1996. SLPHT merupakan program nasional pemerintah pusat dengan bantuan teknis dari Badan Pangan Dunia (FAO), dan Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu sebagai pendamping para petani. Program ini digelar karena daerah tersebut terkena serangan hama secara masif pada tahun 1994 hingga 1995. Petani desa Nunuk Kabupaten Indramayu tengah memanen padi pada September 2018. Ica Wulansari Petani Kabupaten Indramayu menanam padi di lahan persemaian pada Desember 2018. Ica Wulansari Sejak itu, komunitas petani di desa Nunuk secara konsisten menerapkan pengetahuan dari SLPHT tentang hama dan skenario dalam menentukan masa tanam padi. Selain itu, mereka mendapatkan informasi terkait iklim dari Warung Ilmiah Lapangan, program yang digagas oleh ahli agro-metereologi Cornelius J. Stigter (Wageningen University di Belanda) dan antropolog Yunita T. Winarto (Universitas Indonesia), tahun 2008. Program ini membentuk suatu jaringan petani dan ilmuwan yang membantu meningkatkan kapasitas petani dalam melakukan antisipasi terhadap perubahan iklim. Dalam kasus desa Nunuk, ilmuwan memberikan informasi iklim untuk membantu petani dalam menentukan awal masa tanam padi. Lokasi lahan sawah yang menerapkan percepatan tanam padi di Gabus Wetan, Kabupaten Indramayu. Foto diambil pada September 2018. Ica Wulansari

99
SHARES
705
VIEWS
Bagikan ke FacebookBagikan ke WhatsappBagikan ke Telegram

Ica Wulansari*

PIRAMIDA.ID- Perubahan iklim berdampak pada siapa saja, termasuk para petani.

Perubahan iklim yang sering mengakibatkan kekeringan dan banjir bisa menimbulkan ancaman gagal panen dan juga mengakibatkan penurunan produksi beras nasional.

Beberapa kajian menunjukkan bahwa petani di berbagai belahan dunia, seperti di India, Pakistan, Ghana dan negara-negara di Afrika Timur tidak memiliki kemampuan melakukan adaptasi menghadapi perubahan iklim karena rendahnya sumber daya ekonomi dan terbatasnya pilihan baik berupa teknologi maupun infrastruktur.

Namun, berdasarkan hasil penelitian saya menunjukkan bahwa petani di kawasan Indramayu, Jawa Barat, mampu melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim secara kolektif.

Sebagai negara yang sangat mengandalkan padi sebagai pangan pokok, survei ini penting untuk melihat ketahanan petani dalam beradaptasi atas dampak perubahan iklim yang sedang terjadi.

Apabila petani dapat membangun ketahanan secara mandiri, maka mereka dapat mencapai kesejahteraan dan berkontribusi positif terhadap keberlanjutan pasokan pangan nasional.

Peran pemimpin, petani, dan tradisi adaptasi kolektif

Kabupaten Indramayu merupakan lumbung beras terbesar di provinsi Jawa Barat karena menyumbang produksi beras sebesar 1.391.928 ton pada tahun 2018.

Namun, cuaca tidak menentu akibat perubahan iklim menjadi ancaman yang serius bagi petani lokal.

Dari hasil survei yang saya lakukan pada tahun 2019, setidaknya 70% dari 296 responden petani di Desa Nunuk menyatakan mereka tidak bisa lagi menentukan musim tanam.

Sebagai contoh, mereka sulit untuk menentukan awal musim tanam padi karena ketidakpastian terjadinya musim penghujan.

Selain itu, 58% petani menyatakan musim kekeringan semakin sering terjadi dan 69% mengakui bahwa musim penghujan semakin tidak menentu, baik waktu maupun intensitas.

Namun hasil survei saya juga menunjukkan bagaimana para petani desa Nunuk, Indramayu mampu beradaptasi terhadap ketidakpastian iklim melalui mekanisme partisipasi mereka dalam menentukan waktu tanam padi.

Di bawah kepemimpinan kepala desa, para petani lokal dapat menetapkan waktu tanam padi dengan menghitung siklus pertumbuhan hama dan mempertimbangkan informasi iklim dari ilmuwan.

Pengetahuan tentang hama ini didapatkan setelah mereka mengikuti program Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) di Kabupaten Indramayu pada tahun 1994 hingga 1996.

SLPHT merupakan program nasional pemerintah pusat dengan bantuan teknis dari Badan Pangan Dunia (FAO), dan Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu sebagai pendamping para petani. Program ini digelar karena daerah tersebut terkena serangan hama secara masif pada tahun 1994 hingga 1995.

Sejak itu, komunitas petani di desa Nunuk secara konsisten menerapkan pengetahuan dari SLPHT tentang hama dan skenario dalam menentukan masa tanam padi.

Selain itu, mereka mendapatkan informasi terkait iklim dari Warung Ilmiah Lapangan, program yang digagas oleh ahli agro-metereologi Cornelius J. Stigter (Wageningen University di Belanda) dan antropolog Yunita T. Winarto (Universitas Indonesia), tahun 2008.

Program ini membentuk suatu jaringan petani dan ilmuwan yang membantu meningkatkan kapasitas petani dalam melakukan antisipasi terhadap perubahan iklim.

Dalam kasus desa Nunuk, ilmuwan memberikan informasi iklim untuk membantu petani dalam menentukan awal masa tanam padi.

Ketahanan sosial kolektif

Umumnya, secara individu, petani tidak memiliki kemampuan adaptasi menghadapi perubahan iklim karena faktor ekonomi dan akses pengetahuan yang terbatas.

Namun, ketika mereka beralih kepada kemampuan belajar secara kolektif untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi yang praktis untuk meningkatkan keterampilan, misalnya mengikuti Warung Ilmiah Lapangan, maka daya tahan mereka terhadap perubahan iklim meningkat.

Ketahanan sosial secara kolektif ini yang membuat petani mampu menghadapi perubahan iklim.

Berdasarkan penuturan para petani, kejadian gagal panen sudah jarang terjadi di daerah mereka.

Tahun 2016-17, mereka sempat mengalami gagal panen, tetapi ini disebabkan oleh petani di luar desa Nunuk yang melakukan percepatan tanam padi selama 3 kali dalam setahun.

Alhasil, hama wereng batang coklat juga menyerang lahan sawah mereka, dan seluruh kabupaten Indramayu.

Kebijakan tanam 3 kali dalam satu tahun adalah salah satu kebijakan nasional untuk meningkatkan produksi beras nasional sebanyak 1,7 juta ton setahun dengan luas areal 116 ribu hektar.

Modal kapital sosial petani desa Nunuk yaitu partisipatif dalam tindakan kolektif juga mencegah kejadian gagal panen dan memperkuat adaptasi petani menghadapi perubahan iklim.

Ketahanan sosial merupakan suatu konsep yang menunjukkan bagaimana aktor-aktor sosial yang bergantung kepada sumber daya alam, seperti petani, dapat menciptakan pilihan adaptasi dari sumber daya komunitas.(*)


Penulis merupakan Mahasiswa S-3 Ilmu Sosiologi, Universitas Padjadjaran. Artikel pertama kali publikasi untuk The Conversation.

Tags: #Indonesia#perubahaniklim#petani
Share40SendShare

Related Posts

Suara dari Bonapasogit: Gereja dan Masyarakat Sipil Serukan Penutupan PT TPL

15/07/2025

PIRAMIDA.ID - Suasana haru dan semangat memenuhi ruang pertemuan Hotel Serenauli, Laguboti, ketika lebih dari 150-an orang dari berbagai latar...

Menelusuri Asal Usul Makna Warna Hijau & Gerakan Lingkungan

05/03/2023

PIRAMIDA.ID- Pada Februari 1970, sekelompok hippie dan aktivis berkumpul di Vancouver, Kanada untuk membahas rencana uji coba nuklir di Pulau...

Perspektif Sosiologi terhadap Permasalahan Eksistensi Nelayan Skala Kecil

27/10/2022

Oleh: Adhitya Qurdiansyah (2205030012) PIRAMIDA.ID- Nelayan merupakan sebuah istilah bagi setiap individu atau kelompok yang mana kesehariannya bekerja menangkap ikan...

Di Jambi Penyelesaian Konflik Agraria Dinilai Setengah Hati, WALHI Ungkap Sejumlah Persoalan

26/07/2022

PIRAMIDA.ID- Proses penyelesaian konflik agraria di wilayah Provinsi Jambi, diakui masih menapaki jakan terjal oleh Manager Advokasi Wahana Lingkungan Hidup...

Apa yang Terjadi jika Kita Berhenti Menggunakan Plastik?

06/07/2022

PIRAMIDA.ID- Dari 8.300 juta ton plastik murni yang diproduksi hingga akhir tahun 2015, terdapat 6.300 juta tonnya telah dibuang. Sebagian...

Dampak Plastik terhadap Lingkungan

07/06/2022

Oleh: Lidya Putri* PIRAMIDA.ID- Kantung plastik kresek dan kemasan dari plastik lainnya merupakan alat pengemas yang paling banyak dipergunakan karena...

Load More

Tinggalkan KomentarBatalkan balasan

Terkini

Edukasi

Geowisata Kaldera Toba Untuk Bumi Untuk Kita

15/07/2025
Berita

Koordinator Wilayah 2 Sumbagsel Serukan Evaluasi Total POLDA Lampung

15/07/2025
Berita

Suara dari Bonapasogit: Gereja dan Masyarakat Sipil Serukan Penutupan PT TPL

15/07/2025
Berita

Jadi Rumah Perjuangan Baru Aktivis Muda Jakarta, Ratusan Aktivis Cipayung dan BEM Resmi Gabung di Golkar

15/07/2025
Berita

Anies Baswedan Hadir Pada RAPIMNAS I Gerakan Rakyat, Ketua DPP Gerakan Rakyat Sebut Nama Tom Lembong

13/07/2025
Berita

Penyelidikan Dihentikan, Kuasa Hukum Korban Penipuan Segera Laporkan Penyidik Polda Sumut ke Propam

10/07/2025

Populer

No Content Available
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba

No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba