Thompson Hs*
PIRAMIDA.ID- Nalar. Apa itu nalar? Jawab saja tidak asal berpikir, tidak asal ngomong/tulis lalu tidak konyol. Nalar adalah otak yang mendengar. Jadi tidak selalu telinga atau kuping yang bisa dengar. Suara hati saja sering dianggap bisa mendengar.
Jika kita ingin berdebat tentang satu topik, objek, masalah, dan lain-lain apa yang sebaiknya digunakan agar hasil berdebat itu bisa diterima dengan apa adanya atau sesuai dalam persamaan tanpa mengesampingkan adanya perbedaan.
Gunakan nalar!
Saya selalu berusaha melakukan meditasi setiap pagi seperti Anda yang bisa melakukannya dengan cara lain. Ada anggapan dengan melakukan meditasi suatu doa dilakukan dengan tahap pemanasan. Sedangkan doa itu sendiri dapat didefinisikan secara berbeda pula; sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Suatu doa harus diakui sesuai dengan persamaan karena itu selalu ada pengantarnya.
Marilah kita berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing, namun doa akan dipimpin dengan cara….
Kalimat seperti itu dilakukan karena ada perbedaan. Terutama perbedaan agama dan kepercayaan. Agama-agama di Indonesia punya departemennya sendiri di Indonesia melalui Kementerian Agama. (Kemenag) Sedangkan kepercayaan punya direktoratnya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).
Agama-agama yang di Kemenag bisa merupakan suatu kepercayaan suku atau kelompok di awal kelahirannya. Bahkan tidak sedahsyat itu, seperti Budha. Namun pencerahan yang ditemukan Sidharta Gautama berupa pencerahan begitu dekat dengan nalar. Budha kemudian dimaksudkan sebagai yang tercerahkan.
Nalar harus mencerahkan meskipun Anda tidak harus menganut agama Budha saat ini. Nalar Anda artinya tidak harus dikonfirmasi dulu ke Kemenag. Penganut agama-agama dan kepercayaan lainnya pasti punya daya pencerahan yang bersumber dari nalar.
Kalau tak salah, nalar itu ibarat pikiran Tuhan. Bukankah orang-orang beragama percaya kepada Tuhan? Sedangkan nama Tuhan orang-orang kepercayaan bisa beda. Namun penganut kepercayaan yang dilindungi melalui Kemdikbud punya entitas masing-masing yang bisa lebih dipercaya dari Tuhan orang-orang beragama.
Ada satu tulisan Emha Ainun Najib yang pernah saya baca. Tulisan itu menyangkut nama Suharto, baik sebagai presiden maupun nama lengkapnya setelah naik haji (Muhamad Suharto). Dalam tulisannya Emha Ainun Najib bercerita tentang masa-masa turunnya presiden kedua itu. Seorang buruh pintar sudah tahu nama lengkap Muhamad Suharto. Namun waktu sholat dan mengucapkan dua kalimat syahadat, dia tidak mengakhiri dengan baik. Emha menulis Muhamamad dengan sambungan titiik-titik.
Yang punya nalar pasti bisa tersenyum dan memahami maksud Emha Ainun Najib. Namun saya di sini tidak sengaja mau menyinggung penganut agama tertentu. Saya pasti bisa mencari-cari contoh lain yang melibatkan cerita untuk penganut lain. Misalnya yang mungkin sudah mulai dikenal umum yang sumber sesungguhnya dari salah satu puisi Joko Pinurbo, penyair yang tinggal di Yogyarta itu.
Begini ceritanya.
Maria ibu Yesus sudah lama menjahit satu pakaian untuk anaknya. Menjahit mungkin sudah dilakukan orang Yahudi pada masa Yesus sebelum mesin jahit dikenal dunia. Atau sudah pasti menjahit masa itu seperti menggunakan jarum pada masa kita. Lalu sebelum menjelang suatu pagi, Maria menyelesaikan jahitannya dan segera pergi ke makam Yesus anaknya. Di depan makam yang sudah terbuka pintunya Maria melihat seseorang yang mirip dengan Yesus dan memastikan itu sebagai Yesus. Maria lalu berujar.
Anakku, bajumu (sambil menyodor) telah kujahit: Paskah?
Semoga seperti ujaran Maria ibu Yesus jangan dianggap pelecehan agama atau kepercayaan. Tangkaplah dengan nalar ke mana arah konteknya. Lagi pula Joko Pinurbo itu seorang Katolik yang biasa dilingkari para SJ.
Anda mungkin belum kenal para SJ. Kalau Anda mau berpikir konyol SJ itu adalah singkatan dari Skandal Jepit. Kalau sedikit berkurang konyol melihat kesederhanaan di baliknya menjadi Sandal Jepit. Ada juga mengira SJ itu singkatan Solo – Jogjakarta.
Memang iya. Para SJ lumayan bisa ditemukan di Solo dan Yogyakarta. Basis adalah majalah yang saya baca sejak mahasiswa dan identik sebagai salah satu produk SJ dari Yogyakarta. Hanya saya yang berlangganan majalah itu di dari antara mahasiswa dan dosen sastra. Itu terbit tiap bulan dengan topik yang diisi dengan tulisan-tulisan dari tokoh-,tokoh intelektual penting di Jawa. Kadang saya jengkel kalau tidak ada dimuat tulisan dari yang saya kenal di luar Pulau Jawa. Lalu saya bisa ngelutuk kalau SJ itu adalah Serikat Jawa.
Sesungguhnya SJ itu adalah singkatan Serikat Jesuit, salah satu ordo di dalam gereja Katolik. Bagi ordo lain SJ bisa menjadi Siboan Jea (pembawa bala) karena cara kerjanya yang lebih baik dan tidak menghamburkan modal begitu saja. Perintis Serikat Jesuit adalah Ignatius dari Loyola. Sebelum bertobat Ignatius mendapat kecelakaan dari perang: kakinya sempat patah. Pulih setelah bertobat dan mendapat inspirasi dari Santo Fransiskus dari Asisi (masa Perang Salib bisa bertemu dengan Sultan Malik di Mesir).
Kembali ke soal majalah Basis; kadang kiriman majalah itu hilang dari pos pengambilan. Padahal yang membaca di pos tahu itu ditujukan ke nama saya. Suka dengan majalah itu bisa turut berlangganan atau pinjam dari saya. Namun mungkin ada motif lain dari si pengambil. Pikiran konyol saya bisa muncul dan mengusut diam-diam.
Semoga Anda mengerti. Sesuatu yang diambil tanpa permisi adalah mencuri. Termasuk mencuri hati seorang lawan jenis tanpa memberitahu kepada pacarnya. Harusnya kalau mau mencuri bisa diberitahu dulu agar nanti tidak dianggap pencuri. Itu juga termasuk konyol dengan bermain kata-kata.
Manusia hidup sebelum ada tulisan. Sekarang kita sudah pintar-pintar menulis di media sosial, lepas dari pikiran nalar dan pikiran konyol. Dalam suatu meditasi yang menjadi pemanasan atau warming-up berdoa itu selalu ada target pada pikiran, perasaan, emosi, dan sensasi yang bisa dengan kondisi positif dan negatif.
Anda ingin menuliskan respon karena kedua kondisi itu bisa diseimbangkan oleh pikiran nalar. Apapun yang terpikir atas suatu topik, pokok pembicaraan, objek, dan masalah dekatilah dengan pikiran nalar. Anda punya Tuhan. Anda punya agama. Anda punya kepercayaan. Jangan justru semakin memalukan. Pikiran apapun akan Anda pikirkan. Begitu kata Ajahn Bram, seorang bikhu asal Inggris. Atau sama sekali tidak Anda tidak berpikiran!
Anda tetap bisa kelihatan ngawur. Namun jangan sampai jatuh konyol. Sekali lagi, Anda tidak selalu percaya hanya kepada diri sendiri. Nalar Andalah yang akan menyelamatkan Anda dari segala kebisingan di bumi ini. Bahkan keselamatan mau ke langit surga sudah Anda percayakan kepada luar diri Anda yang kadang irasional. Namun nalar tetap dapat menerimanya.(*)
Penulis adalah Penerima Penghargaan Kebudayaan dari Kemendikbud RI pada September 2016 dan terlibat dalam Tim Kreatif Presiden untuk Acara Karnaval Kemerdekaan Danau Toba pada Agustus 2016.