Yudhie Haryono*
PIRAMIDA.ID- “Tuhan bukanlah institusi, juga buka tafsiran tunggal,” demikian jika aku rumuskan pikiran-pikiran Paulo Coelho dalam novel-novel spiritualismenya. Jika para ahli agama sering menafsirkan Tuhan melalui kitab suci, Coelho mengambil “jalan lain.”
Jalan itu adalah jalan pendekatan sastra-spiritual yang sangat menyentuh. Akibatnya, tulisan-tulisan Coelho melintasi umur dan kelamin, teritori dan suku, agama dan kebudayaan. Tulisannya dibaca banyak orang tetapi mereka tak takut menjadi “tercerabut” dari tafsir tunggal yang selama ini diimaninya.
Bagi Coelho, manusia mampu hidup tanpa agama yang terinstitusionalisasi. Asal manusia itu terus melanjutkan pencarian spiritual demi untuk membenarkan keberadaannya sebagai manusia yang selalu mencari. Manusia hanyalah mahluk bertuhan, tidak harus mahluk beragama. Agama bagi Coelho hanya salah satu sarana dari bermacam sarana lainnya guna mengenal Tuhan dan menuju-Nya.
Begitu percaya pada Tuhan, tiap manusia suatu hari nanti akan tahu bahwa, semua yang dimilikinya harus diberikan dan dikembalikan. Sebab, mempertahankan apa yang dimilikinya berarti akan musnah atau mati. Kematian adalah tanda bahwa manusia harfiah tidak abadi. Yang abadi adalah apa yang manusia wariskan.
Paulo Coelho lahir di Rio pada bulan Agustus 1947. Ia adalah putra dari Pedro Queima Coelho de Souza, seorang insinyur, dan istrinya Lygia, yang memilih menjadi ibu rumah tangga. Di usia muda, Coelho memimpikan karir di bidang artistik, sesuatu yang tidak dianggap di kalangan keluarga kelas menengah tempat dia hidup. Di tengah lingkungan serius sebuah sekolah jesuit yang kaku, Coelho menemukan panggilan sejatinya: menjadi penulis.
Tapi orangtua Coelho mempunyai rencana berbeda untuknya. Ketika upaya mereka menekan pengabdiannya pada literatur mempunyai kegagalan, mereka memandang hal itu sebagai penyakit mental. Pada usianya yang ke-tujuh belas (17), dua kali ayahnya memasukannya ke rumah sakit jiwa, di mana dia menjalani sesi-sesi ”terapi” elektrokonvulisif. Orangtuanya membawa Coelho ke pusat perawatan mental itu sekali lagi, setelah dia terlibat dengan teater dan mulai bekerja sebagai jurnalis.
Selanjutnya, setelah orangtuanya gagal dalam skenario mereka, Coelho selalu menjadi seorang eksentrik berjiwa bebas dan pencari segala sesuatu yang baru. Ketika, dalam kegembiraan di tahun 1985, gerakan gerilya dan hippy menawan Brazil yang berada di bawah kekuasaan rezim militer yang represif, Coelho menganut politik progresif dan bergabung dengan generasi perdamaian dan cinta. Ia mencari pengalaman-pengalaman spiritual sampai berkelana ke penjuru Amerika Latin, mengikuti jejak langkah Carlos Castaneda, sang idola waktu muda.
Dia bekerja di teater dan tanggelam dalam jurnalisme, meluncurkan majalah alternatif berjudul 2001. Dia mulai berkolaborasi dengan produser musik Raul Seixas sebagai penulis lirik yang kemudian mengubah peta musik rock Brazil.
Tahun 1973 Coelho dan Raul bergabung dengan “Alternatif Society” sebuah organisasi yang membela hak individual untuk berekspresi secara bebas dan mulai mempublikasikan komik pendek berseri sambil menyerukan kebebasan yang lebih besar. Akibatnya, anggota organisasi itu ditangkapi dan dipenjara. Dua hari kemudian, Coelho diculik dan disiksa oleh kelompok paramiliter.
Pengalaman ini mengaruhinya secara mendalam. Pada usia duapuluh enam tahun, Coelho memutuskan ia sudah cukup menjalani hidup penuh resiko dan ingin menjadi “normal.” Lalu, dia bekerja sebagai eksekutif di industri musik. Ia mencoba menulis, tapi tidak mulai dengan serius hingga setelah ia bertemu dengan seorang asing.
Pria itu pertama kali datang dalam mimpinya, dan dua bulan kemudian Coelho menemukannya di sebuah kafe di Amsterdam. Orang asing itu menyarankan supaya Coelho kembali pada iman Katolik dan mempelajari sisi baik dari “sihir.” Ia juga mendorong Coelho untuk menyusuri jalan ke Santiago, sebuah rute musafir abad pertengahan.
Tahun 1987, setahun setelah menyelesaikan perjalanannya, Coelho menulis “The Pilgrimage”. Buku itu menggambarkan pengalaman-pengalaman dan penemuannya bahwa hal-hal luar biasa dapat terjadi dalam kehidupan orang-orang biasa. Setahun kemudian, Coelho menulis buku yang sangat berbeda, “The Alchemist”. Edisi pertama terjual hanya sambil ratus kopi dan perusahaan penerbitan memutuskan tidak mencetakanya lagi.
Tetapi, Coelho menolak meninggalkan impiannya. Dia menemukan perusahaan penerbitan lain, yang lebih besar. Ia menulis Brida: buku itu menerima banyak perhatian dari media massa Selanjutnya, baik buku “The Alchemist” maupun buku “The Pilgrimage” muncul dalam daftar-daftar penjualan terbaik di seluruh dunia.
Coelho melanjutkan menulis banyak lagi buku-buku yang meraih penjualan terbaik, termasuk “The Valkyries”, “By the River Piedra I Sat Down and Wept”, “The Fifth Mountain”, “Manual of the Warrior of Light”, “Veronika Decides to Die, Eleven Minutes”, “The Zahir”, “The Devil and Miss Prym”, dan “Like the Flowing River”.
Sejak puluhan tahun lalu buku-buku Paulo Ceolho muncul di puncak daftar penjualan terbaik di seluruh dunia. Pada tahun 2002, Journal de Letras de Portugal, otoritas dan sastra berbahasa Portugis terkemuka, menganugerahi “The Alchemist” predikat buku yang terjual paling banyak dalam sejarah bahasa tersebut. Pada tahun 2003 novel Coelho, “Eleven Minutes”, menjadi judul fiksi dengan penjual terbaik di dunia (USA Today, Publishing Trends).
Di luar novel-novelnya, Coelho menulis kolom surat kabar mingguan bersindikasi global dan sekali-sekali menerbitkan artikel mengenai isu-isu terbaru. Buletinnya, The Manual On-Line, memiliki lebih dari 70.000 pelanggan dari seluruh dunia. Coelho dan istrinya, Christina Oiticica, juga merupakan pendiri Institut Paulo Coelho, yang menyediakan bantuan dan kesempatan bagi warga Brazil yang kurang mampu.
***
Dalam novel “The Fifth Mountain” [Gunung Kelima/2006], Paulo Coelho mencoba melacak Tuhan dari versinya yang umum, yaitu dari Kitab Suci. Tetapi, ia mengambil dari sisi yang sangat spiritual karena pesan-pesannya diambil dari episode manusia yang gelisah akan nasibnya di dunia.
Terdiri dari 42 bab, novel ini mengisahkan berbagai perjalanan spiritual Elia yang galau akan keputusan-keputusan Tuhan. Beberapa pesannya sangat mendalam. Salah satu kalimatnya yang menyentuh adalah, “segala sesuatu dalam hidup ini perlu dilatih” [hal. 171]. Lalu di halaman lain ada advis yang juga sangat menyentuh, “hal-hal yang tak terhindarkan ini selalu saja terjadi” [hal. 237]. Membaca novel ini, kita akan dibawa pada pertanyaan-pertanyaan genting tentang iman, cinta, takdir, kekuasaan bahkan perlawanan dan pemberontakan manusia pada Tuhannya. Kita tahu banyak manusia sering gagal menangkap pesan-pesan Tuhan yang hadir dalam dirinya, yang tersebar di sekitar dirinya.
Sementara itu dalam novel “Eleven Minutes” [2007], Paulo Coelho menuliskan pesan-pesan yang sangat menggugah perasaan. Berangkat dari kisah ‘pelacur’ Maria yang mempunyai hipotesa bahwa, “cinta hanya meninggalkan penderitaan,” buku ini mengaduk-aduk perasaan pembacanya. Seperti umumnya novel-novel Coelho yang lain, buku ini juga nyerempet pada gugutan-gugatan pada takdir dan “agama.”
Sebagai novel yang masuk dalam genre spiritualis, isi dari ceritanya juga dinarasikan dari kisah spiritual yang menggugah. Ada doa, harapan, perlawanan, diskursus dosa-pahala, neraka-sorga dan berbagai ikhwal keagamaan-spiritual.
Di halam-halaman novel ini ditemukan kalimat-kalimat yang menyayat sekaligus “benar” sebagai kesimpulan kehidupan.
Misalnya, “ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal. Ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut. Ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan. Ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun. Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa. Ada waktu untuk meratap, ada waktu untuk menari. Ada waktu untuk membuang, ada waktu untuk mengumpulkan. Ada waktu untuk memeluk, ada waktu menahan dari pelukan. Ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci. Ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai” [hal. 345].
Gagasan-gagasan pasangan ini mirip firman Tuhan dalam Alquran yang mengatakan, “semua yang ada di dunia ini Kuciptakan berpasangan.” Tentu saja ini hipotesa spiritualis karena doktrin “berpasangan” ada di semua kitab-kitab suci keagamaan. Sangat menarik dan menyegarkan pandangan-pandangan keagamaan kita.
Sedang dalam novel “Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Tersedu” [2005], Paulo Coelho menegaskan madzab “paulozianism” dalam tata cara penulisannya. Ini adalah sebuah genre dalam penulisan novel sastra yang menggabungkan kisah asmara, agama dan gugatan-gugatan takdir dan ‘apa yang dianggap benar’.
Melalui kisah sedih yang dialami oleh tokoh ‘aku’, novel ini menutur dengan satir dan pedih perjalanan ujian kesetiaan dan cinta kasih yang sampai [di akhir] cerita. “Semoga air mataku mengalir sejauhnya agar kekasihku takkan pernah tahu bahwa suatu hari aku pernah menangis untuknya”, demikian ungkapan kesediah yang kita baca [hal. 1]. Di lain halaman, ada tulisan yang sangat menyentuh; “kebahagiaan terkadang adalah berkah, tetapi seringkali adalah penaklukan. Momen-momen magis itu menolong kita berubah dan melontarkan kita mencari mimpi-mimpi…[hal. 8].
Dengan novel ini, Coelho berhasil menguras ‘air mata pembaca’ dengan sangat apik. Inilah kisah puitis tentang kedalam cinta dan pergumulan iman. Membacanya akan menyegarkan ingatan akan Tuhan, cinta, pengorbanan, perjuangan dan hiykmah-hikmah di balik kesetiaan dan ujian.
Dalam novel lainnya, “The Witch Of Potobello” [2009], Coelho menuliskan dengan antusias sebuah gerakan spiritual pencarian makna kehidupan ini. Tentu, seperti novel lainnya, cara Coelho masih sangat menawan. Salah satu hipotesanya adalah tentang identifikasi bentuk wanita yang terbagi menjadi empat.
Pertama, sang perawan. Adalah dia yang pencariannya bermula dari kemandirian yang sempurna, dan segala yang dipelajarinya adalah uah dari kemampuannya mengatasi tantangan seorang diri.
Kedua, sang martir. Adalah dia yang menemukan jalannya menuju pengenalan diri melalui rasa sakit, penyerahan dan penderitaan.
Ketiga, sang kudus. Adalah dia yang menemukan alasan sebenarnya tentang cinta tak bersyarat dan dalam kemampuannya memberi tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Keempat, sang penyihir. Adalah dia yang membenarkan keberadaanya dengan menjalani pencarian kenikmatan sempurna dan tak terbatas [hal. 23-24]. Karena itu, yang diperlukan agar wanita tetap hidup dan selaras dengan alam adalah mengikuti hukum alam [hal. 42].
bahwa Tuhan itu adalah dan sedang mendengarkan saya; tapi itu tidak cukup menjadi alasan untuk melanjutkan hidup, ketika tidak ada sesuatu pun yang terlihat masuk akal. Saya memalsukan kebahagiaan yang sesungguhnya tidak saya rasakan; menyembunyikan kesedihan supaya tidak membuat kuatir orang-orang yang mencintai dan memedulikan saya.Kalau saya tidak merasakan sebentuk kehidupan yang tubuh di dalam tubuh ini, saya tidak akan pernah mampu menerima kehidupan diluar tubuh saya.”
Kadangkala cinta membawa kita kedalam jurang dalam, menyeret bersamaan, untuk memperburuk keadaan, orang-orang yang kita cintai. Juga mengajariku sesuatu yang aneh: bahwa dalam suatu masa kehidupan, kita mungkin mencintai lebih dari satu orang. Aku menikah lagi. Aku sangat bahagia dengan istriku yang baru, dan tak dapat membayangkan hidup tanpa dirinya. Ini, tentu saja, tidak berarti akan harus menolak semua pengalaman masa
“Karena sepanjang hidupku akan telah belajar menderita dalam diam,” jawabannya.
“Datanglah padaku semua yang letih lesu yang berbedaan berat, dan aku akan memberimu istirahat.” Saya telah mengabdikan seluruh hidup saya sebagai pastor dan tak sedikit pun meragukan keputusan itu. Namun demikian, ada waktunya, seperti hari Minggu ini, ketika saya meragukan manusia, meski saya tak pernah mempertanyakan iman saya.
“Anak-Ku, aku juga disingkirkan. Sudah sangat lama berlalu sejak mereka mengizinkan aku akan di sana.”
Dunia ini berputar pada poros kepentingan bersama “Tuhan menyembunyikan hal-hal yang paling penting dari orang-orang bijak, karena mereka tidak memahami sesuatu yang sangat sederhana.”
Kesenangan adalah perasaan puas atas semua yang sudah dimilikinya sekarang-seorang kekasih, seorang anak, sebuah pekerjaan. Dan Athena, seperti aku, tidak dilahirkan untuk kehidupan semacam itu.
Yang menjadi penyebab mengapa pusar, bagi kita, adalah pusat kehidupan.
Yang pertama adalah persona – topeng yang kita gunakan setiap hari, berpura-pura menjadi diri kita yang sebenarnya. Soul yang dimaksud juga bukanlah “jiwa” dalam artian religius; dia berbicara tentang kembali pada Jiwa Dunia, sumber segala pengetahuan.
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Nusantara Centre. Pendiri PKPK UMP (Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan Univ Muhammadiyah Purwokerto). Saat ini mengemban amanah sebagai Ketua Tim Perumus Naskah RUU Sisdiknas 2020.