Piramida.id
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy
Selasa, Juli 1, 2025
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
Piramida.id
  • Berita
  • Dialektika
  • Dunia
  • Edukasi
  • Ekologi
  • Ekosospolbud
  • Kabar Desa
  • Pojokan
  • Sains
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Spiritualitas
Home Dialektika

Doktor ‘Honoris Causa’: Pemberian Gelar yang Rawan Kepentingan Politik dan ‘Ciderai’ Integritas Akademik

by Redaksi
19/09/2020
in Dialektika
ilustrasi

ilustrasi

101
SHARES
723
VIEWS
Bagikan ke FacebookBagikan ke WhatsappBagikan ke Telegram

Nizzamuddin Sadiq*

PIRAMIDA.ID- Praktik pemberian pemberian gelar doktor kehormatan atau honoris causa (Dr. HC) sudah berlangsung sejak lama di Indonesia.

Dalam pendidikan tinggi Indonesia, gelar ini banyak diberikan kepada pejabat publik atau politikus sebagai instrumen balas budi, ajang membangun jaringan, serta perjanjian politik.

Hal tersebut bisa dilihat pada kasus terbaru pemberian gelar Dr HC pada Menteri Desa Tertinggal Abdul Halim pada pertengahan Juli lalu oleh rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang mencalonkan diri sebagai sebagai salah satu calon bupati dalam pilkada di Kabupaten Gunung Kidul tahun 2020.

Contoh di atas menunjukkan praktik ini rawan dibajak kepentingan politik yang akhirnya mengkhianati perjuangan mahasiswa doktoral yang menghabiskan waktu meneliti bertahun-tahun untuk mendapatkan gelar tersebut.

Bagaimana kampus mengobral gelar kehormatan

Di Amerika Serikat – di mana praktik kontroversial ini sudah berlangsung lama – prioritas penerima gelar adalah penyumbang uang dalam jumlah besar dan tokoh publik yang dapat memeriahkan acara wisuda.

Data terkait kampus top di Amerika Serikat yang tergabung dalam Ivy League menunjukkan gelar kehormatan diberikan secara tidak proporsional bukan kepada orang-orang berpengaruh pada bidang keilmuan, tetapi pada ikon budaya pop, tokoh politik terkenal, dan pengusaha kaya.

Arthur E. Levine, presiden Teachers College di Universitas Columbia, bahkan memperingatkan bagaimana pemberian gelar tersebut sering dijadikan ajang pemburuan uang dan publisitas. Seringkali pemberi dan penerima gelar saling memberikan bantuan berupa pendanaan dan dukungan politik.

Praktik seperti ini tidak berbeda jauh dengan yang terjadi di Indonesia.

Secara administratif kampus, pemberian gelar Dr HC memang harus melalui beberapa mekanisme.

Secara prosedur legal formal, jalan menuju pemberian gelar kehormatan sangat berat karena harus mendapatkan persetujuan dari beberapa pihak.

Tapi pada praktiknya, mekanisme ini sering dilanggar demi mengobral gelar ini untuk kepentingan politik.

Misalnya, Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Jawa Barat pada tahun 2018 memberikan gelar Dr HC kepada Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri karena perannya sebagai presiden kelima dan berjasa membangun “kebijakan strategis politik pemerintahan”.

Pemberian gelar tersebut melanggar beberapa aturan administrasi, salah satunya adalah penerima gelar kehormatan harus berlatar pendidikan minimal S1.

Megawati tidak pernah menyelesaikan program sarjana yang sempat ia tempuh di Universitas Padjadjaran, Bandung pada tahun 1965 dan juga Universitas Indonesia, Jakarta pada tahun 1970.

Komisi Komponen Ahli yang berperan sebagai dewan pertimbangan pemberian gelar dari IPDN ini juga terdiri dari figur seperti AM Hendropriyono dan Da’i Bachtiar, masing-masing Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kepala Polisi Republik Indonesia (POLRI) ketika Megawati menjabat.

Terjadinya berbagai pelanggaran tentang pemberian gelar kehormatan ini mengindikasikan bahwa gelar Dr HC rawan menjadi instrumen balas budi, serta ajang membangun jaringan dan perjanjian politik.

Pemberian gelar Dr HC ini berbahaya jika dipolitisasi untuk kepentingan alat politik seseorang, seperti yang ditunjukkan pada kasus rektor UNY. Hal ini bisa berdampak lebih parah lagi untuk universitas yang kredibilitas dan integritasnya di mata publik bisa tergerus.

Mengkhianati proses akademik

Pemberian gelar Dr. HC yang diberikan begitu saja atas dasar kesepakatan politik juga mengkhianati proses akademik yang harus ditempuh seseorang untuk mendapatkan gelar doktor.

Seseorang membutuhkan waktu tiga sampai empat tahun untuk menyelesaikan studi di Inggris dan 5.8 tahun di Amerika Serikat. Selama kurun waktu tersebut, mereka mengorbankan kedudukan, penghasilan, keluarga dan kehidupan sosial mereka.

Dari segi proses, mahasiswa doktoral di luar negeri juga melewati berbagai fase perjuangan dari awal menyiapkan keberangkatan hingga kembali pulang saat pulang ke negara asal.

Suatu analisis tahun 2019 di majalah Nature tentang kehidupan mahasiswa doktoral menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga responden (36%) menderita depresi yang disebabkan oleh studi PhD mereka.

Mayoritas (76%) responden menghabiskan waktu mereka lebih dari 41 jam/minggu untuk studi doktoral, dan sekitar 10% responden bertanggung jawab untuk merawat anak di bawah usia 12 tahun.

Sulit bagi mereka untuk menjadi mahasiswa PhD sekaligus menjadi orang tua yang baik secara bersamaan.

Sementara itu, penerima gelar Dr HC tidak perlu mengalami itu semua. Mereka cenderung pasif karena proses lebih banyak dilakukan pihak perguruan tinggi dan pemerintah.

Apa yang harus diperbaiki?

Karena sifatnya yang rawan kepentingan politis, pemberian gelar Dr HC di Indonesia bisa dihilangkan. Universitas terkemuka di Amerika seperti Cornell, Stanford dan UCLA yang memilih untuk tidak memberikan gelar kehormatan tersebut.

Jika ingin tetap memberikan gelar tersebut, saya merekomendasikan tiga prinsip utama yang seharusnya dijalankan dalam pemberian gelar Dr HC untuk menghindari konflik kepentingan.

Pertama, pemberi dan penerima gelar kehormatan harus memiliki komitmen untuk tidak saling “menggoda”.

Artinya, anggota senat universitas dan rektor tidak memberi rekomendasi untuk memberi gelar kepada pejabat publik. Sebaliknya, pejabat publik juga harus berkomitmen untuk untuk tidak menerima tawaran tersebut saat dia sedang menjabat.

Selama ini, tidak ada etika atau aturan tertulis yang melarang promotor untuk mengusulkan seseorang dengan jabatan publik. Dengan banyaknya kasus yang terjadi maka sudah waktunya etika ini dijadikan pedoman entah tertulis atau tidak untuk menghindari obral gelar tersebut.

Kedua, perguruan tinggi harus berkomitmen untuk tidak memberikan gelar Dr HC saat momen politik seperti pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden untuk menghindari konflik kepentingan.

Idealnya, setahun sebelum dan sesudah tanggal pemilihan umum merupakan jangka waktu ideal untuk tidak memberikan gelar doktor kehormatan ini.

Ketiga, pemberian gelar Dr HC harus fokus kepada kontribusi akademik yang diberikan secara selektif.

Saat ini, pemberian gelar Dr HC tidak berdampak secara nyata kepada peningkatan atmosfer akademik di perguruan tinggi. Karena bersifat simbolik, hampir tidak ada sumbangsih keilmuan dari penerima gelar kehormatan setelah mereka mendapatkan gelar Dr HC tersebut.

Harusnya, pemberian gelar ini bergantung pada seberapa besar ide-ide pemikiran mereka dikutip atau dijadikan landasan keilmuan oleh masyarakat umum dan masyarakat akademik.

University of Virginia, Amerika Serikat sudah memberikan contoh. Mereka memang memiliki kebijakan tegas untuk tidak memberikan gelar kehormatan. Sebagai gantinya, mereka mempersembahkan “Thomas Jefferson Foundation Medal” bagi tokoh berprestasi di luar universitas, dalam bidang arsitektur dan hukum.

Penghargaan ini lebih elegan karena sesuai dengan prinsip akademik dan tidak menimbulkan keresahan politik.


Penulis merupakan pengajar Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Islam Indonesia. Artiken ini pertama kali diterbitkan untuk The Conversation.

Tags: #akademik#gelarkehormatan#integritas#pendidikan
Share40SendShare

Related Posts

Pidato Lengkap Jefri Gultom di Dies Natalis GMKI ke-74: Bangkit Ditengah Pergumulan

26/02/2024

Bangkit Ditengah Pergumulan Pidato 74 tahun GMKI Jefri Edi Irawan Gultom Para peletak sejarah selalu berpegang pada prinsip ini, ‘’perjalanan...

Pewaris Opera Batak

11/07/2023

Oleh: Thompson Hs* PIRAMIDA.ID- Tahun 2016 saya menerima Anugerah Kebudayaan dari Kemdikbud (sekarang Kemendikbudristek) Republik Indonesia di kategori Pelestari. Sederhananya,...

Mengapa Membahas Masa Depan Guru “Dianggap” Tidak Menarik?

01/05/2023

Oleh: Agi Julianto Martuah Purba PIRAMIDA.ID- “Mengapa sejauh ini kampus kita tidak mengadakan seminar tentang tantangan dan strategi profesi guru di...

Membangun Demokrasi: Merawat Partisipasi Perempuan di Bidang Politik

14/04/2023

Oleh: Anggith Sabarofek* PIRAMIDA.ID- Demokrasi, perempuan dan politik merupakan tiga unsur yang saling berkesinambungan satu dengan yang lain. Berbicara mengenai...

Dari Peristiwa Kanjuruhan Hingga Batalnya Indonesia Tuan Rumah Piala Dunia U-20

03/04/2023

Oleh: Edis Galingging* PIRAMIDA.ID- Dunia sepak bola tanah air sedang merasakan duka yang dalam. Kali ini, duka itu hadir bukan...

Prinsip-Prinsip Disiplin Kelas

02/04/2023

Oleh: Muhammad Muharram Azhari* PIRAMIDA.ID- Pengertian disiplin menurut Elizabeth Hurtock mengemukakan bahwa; Disiplin itu berasal dari kata "discipline", yaitu seseorang...

Load More

Tinggalkan KomentarBatalkan balasan

Terkini

Berita

Robot Polri Tuai Kritik Netizen, Fawer Sihite: Inovasi Harus Disambut Baik, Tapi Polri Perlu Bangun Instrumen Komunikasi yang Efektif

30/06/2025
Berita

Tokoh Cipayung Plus Gabung Golkar Lewat AMPI, Jefri Gultom: Politik Adalah Etika untuk Melayani

28/06/2025
Berita

Tokoh Cipayung Plus Login Golkar Pada HUT AMPI, Bahlil Lahadalia : Adik-Adik Saya Sudah di Jalan Yang Benar

28/06/2025
Berita

IRKI Nilai Tafsir UU Tipikor atas Pedagang Pecel Lele Menyesatkan

22/06/2025
Dunia

Perang Israel-Iran Menunjukkan Pentingnya STEM, Fawer Sihite: Dukung Sikap Presiden Prabowo

22/06/2025
Berita

Buntut Viralnya Dugaan Kekerasan Terhadap Tunanetra di Siantar, ILAJ Minta KND Periksa Wali Kota dan Jajaran Terkait

19/06/2025

Populer

Berita

Tokoh Cipayung Plus Login Golkar Pada HUT AMPI, Bahlil Lahadalia : Adik-Adik Saya Sudah di Jalan Yang Benar

28/06/2025
Edukasi

Keterbatasan Jumlah Guru Terampil

09/12/2021
Berita

Tokoh Cipayung Plus Gabung Golkar Lewat AMPI, Jefri Gultom: Politik Adalah Etika untuk Melayani

28/06/2025
domain publik
Dialektika

Daoed Joesoef, Hakikat Pendidikan, dan Nilai Keindonesiaan

17/09/2021
Berita

IRKI Nilai Tafsir UU Tipikor atas Pedagang Pecel Lele Menyesatkan

22/06/2025
Dunia

Sumber Air Bersih dan Air Minum di Arab Saudi

07/06/2020
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba

No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba