Aurelius Haseng*
PIRAMIDA.ID- Dini hari, sebelum ayam bangun, Bertus tergesa-gesa ayunkan langkah tinggalkan kampung. Ia menjinjit-jinjit seperti kucing keluar rumah, tidak berisik di antara gang-gang rumah dan gubuk.
Ia takut, jangan-jangan orang melihat dan menangkapnya. Bawaannya hanya pakaian di tubuh dan tas di punggung.
Ia menuruni perbukitan kapur, berkelok-kelok, dan berbatuan tajam. Bagi dirinya, ini sudah biasa. Kaki dan lilitan urat di sekujur tubuhnya sudah telaten memanggul beban dan nasib.
Pikirannya hanya tertuju ke dermaga Reo. Di situ, dari yang didengarnya kemarin dari tetangga, kapal menuju Surabaya akan berangkat pagi-pagi.
Di punggungnya, ijazah S1 dan uang 15 juta dari orang-orang PT sudah bisa menjamin hidupnya di tanah rantau. Keputusannya ini adalah yang terbaik. Ia tidak mau mati sia-sia di sini, dan menanggung malu atas perjuangannya.
Ia tahu, usahanya tidak akan pernah bisa meyakinkan warga kampungnya untuk menerima orang-orang PT. Warganya lebih percaya dengan Gereja dibanding dirinya.
Sebelum naikkan kaki di tangga kapal, ia ambil Hp-nya membuka aplikasi e-katolik dan mendapatkan kitab Mazmur 91. Seperti ingin melepaskan segala kutukan, bencana, dan kesialan, ia membaca kitab itu dengan kidmat.
“Tempat perlindunganku dan kubu pertahananku, Allahku, yang kupercayai. Sungguh, Dialah yang akan melepaskan aku dari jerat penangkap burung, dari penyakit sampar yang busuk”.
**
“Pokoknya aku jual bagianku di Golo Lolok. Toe ngance todo apa-apa nitu. Konem weri sampe ngger wa ulu, toe keta kin,” Bertus serukan keputusannya di hadapan pertemuan kampung.
“Bertus, lancang sekali kamu. Apa kamu tidak sadar, caramu itu tidak menghargai leluhurmu. Ingat pesan bapa, kita tidak pernah diperintahkan untuk menjualkan tanah. Semiskin apapun kita, tanah tidak akan pernah menjadi alat tukar untuk mendapatkan uang,” Sipri menerangkan nasihat ayah dan leluhur dengan marah-marah. Nasihat yang turun temurun dituturkan.
Bertus dan Sipri tetap berbeda pendapat. Akibat pertemuan itu pun, warga Satar Lolok terbelah menjadi dua kubu. Mereka berbeda pendapat tentang tanah yang berisi batu-batu putih dan hitam, yang selama ini diinjak-injak dan diremehkan.
Di dalam rumah, ayah dan anak, kakak dan adik, antara para tetua, masing-masing berpihak pada pilihannya. Sejak itu pun, di sore hari, halaman natas yang biasanya ramai bertanding voli, yang dihiasi kejar-kejaran anak-anak, dan yang berseri-seri dengan keakraban para tetua, berubah sepi dan diam. Kampung seolah-olah tanpa penghuni.
Golo Lolok, lingko milik warga Satar Lolok, memang tidak bisa ditanami tanaman pertanian. Dari permulaan leluhur menghuni, tak ada yang berkebun di sana. Dan, sekeras apapun usaha dan peralatan pacul, skop, bancik, dan kope yang digunakan, barang-barang itu tidak akan mempan menembusi tanah.
Golo Lolok ibarat tanah mati, yang dibiarkan terlantar di antara lingko-lingko lainnya.
Golo Lolok, bila dipandang mata dari sudut kampung, mulai dari kakinya di pantai, hingga di puncak tertinggi, akan terlihat jelas hamparan batu-batu menutupi tanah putih itu. Tumbuhannya hanya varietas tahan panas, yang tumbuh tanpa ditanam, seperti alang-alang, rumput liar, lamtoro, bidara, kaweng, kesambi, dan jati.
Bagi warga Lolok, lingko itu hanya sebagai tempat melepas ternak, agar mencari makan sendiri dan jauh dari pemukiman. Kesaksian warga Lolok yang melepas kambing, katakan, bila berjalan di kaki perbukitan itu, akan terasa perihnya kulit, karena dipanggang oleh bebatuan dan panas matahari.
Berpulang dari sanapun ditandai debu putih, menempel dari telapak hingga lutut, mirip seperti kaos kaki.
Meskipun demikian, tak ada yang pernah mencapai puncak Golo Lolok. Di sana dipercayai, berdiam ceki-ceki yang telah meninggal. Saat upacara adat di compang, mbaru gendang, atau teing hang, roh-roh itu akan dipanggil ke kampung. Ceki-ceki itu dipercayai akan makan makanan persembahan dari hati dan usus babi atau ayam kurban yang dibakar.
Bila ada yang melanggar, akan terlihat tanda-tanda aneh pada tubuh. Beberapa warga yang meninggal dan sakit tak wajar, mengakui hal itu. Dalam mimpi, mereka didatangi leluhur yang marah, karena mengganggu dan merusak kediaman mereka.
Kepercayaan ini mengkramatkan Golo Lolok, sebagai hunian para leluhur. Cerita ini sudah selalu dituturkan turun-temurun kepada anak-anak saat upacara adat.
***
Mulanya, warga Satar Lolok tidak tahu tentang nilai dari batu-batu itu. Semenjak Bertus mendampingi orang-orang PT ke kampung, warga pun sadar dan tahu, batu-batu itu bernilai. Batu-batu itu bisa menghasilkan uang.
Batu-batu itu bisa mengubah kampung dan memberi yang mereka inginkan. Listrik, air minum, jalan beraspal, dan mobil untuk transportasi ke kota, akan menghiasi kampung mereka. Apalagi orang-orang PT menulis janji-janji itu pada kertas, yang akan penuhi semua tuntutan warga. Sejak itu, bagai menyebut abrakadabra, batu-batu itu dalam sekejap menjadi berlian.
Tapi mimpi untuk menguangkan batu-batu itu tidak mudah. Lebih dari sebagian warga Satar Lolok tidak izinkan orang-orang PT menambang. Kelompok warga itu tidak mau, gara-gara PT, ceki-ceki di Golo Lolok akan marah, harus pindah rumah, compang dan mbaru Gendang dinodai, kuburan leluhur dicungkil, dan debu-debu berterbangan merusak asupan udara mereka.
Apapun pilihannya, mereka tidak akan menjual warisan dan pindah dari Satar Lolok. Jika diteruskan, halaman kampung akan menjadi arena pertumpahan darah. Tali kekeluargaan akan putus.
Penolakan ini sangat berat bagi Bertus, karena ia sudah terima uang dari orang-orang PT. Dari diaspora luar daerah pun, terbentuk aliansi penolakan dan petisi pencabutan izinan.
Penolakan paling besar adalah kelompok Gereja. Orang-orang Gereja menolak kehadiran PT, karena bertentangan dengan ajarannya.
Pemimpin Gereja dan jajarannya pernah merayakan misa di Kapel milik warga Satar Lolok, dan menanam pohon beringin di sana, simbol perdamaian dengan alam ciptaan. Gereja mengajak, agar warga tidak boleh menjual tanahnya. Karena hal itu sama dengan menjual martabat warga Satar Lolok.
Bertus tahu, dukungan Gereja ini sangat berakar di hati warga Satar Lolok. Warga lebih takut dengan Gereja, karena takut dengan kutukan, takut dengan neraka, takut tidak dimisakan saat meninggal, takut anak-anak tidak sambut baru dan permandian, pokoknya takut tidak dilayani dalam kehidupan menggereja.
Ketakutan-ketakutan ini membuat warga Satar Lolok seperti orang lugu, yang tidak berani kritis dengan Gereja. Alhasil, apapun permintaan Gereja, pasti akan mereka turuti.
“Membayar iuran tahunan untuk Gereja, tanpa pelayanan misa saja, mereka turuti, apalagi hal berhubungan dengan tanah,” pikir Bertus di hati kecilnya, saat duduk sendirian di belakang tenda dapur, pandangi arus muara Wae Pesi.
***
Pada pertemuan terakhir, tua-tua Satar Lolok berkumpul di dalam mbaru gendang. Sedangkan warga lain, berkumpul di sekitarnya. Hampir semua warga lolok hadir dalam pertemuan itu.
“Gereja tidak beri kita apa-apa. Tidak tahu kesusahan kita. Mereka datang ke sini, hanya setahun sekali. Tidak masuk akal, mereka meminta kita menolak tambang ini, hanya dengan datang tanam pohon di depan kapela, lalu pulang”.
Pernyataan keras Bertus terdengar sampai di luar mbaru Gendang. Di luar, warga yang tidak kebagian tempat, harus meloi-loi di jendela dan cela-cela dinding papan untuk melihat pertemuan itu.
“Harusnya kita menerima orang-orang PT. Mereka akan gunakan mesin-mesin raksana dan mobil-mobil besar untuk manfaatkan batu-batu itu. Dan kita, bisa dapatkan uang dari sana. Dari pada percaya Gereja, mereka tidak akan beri apapun pada kita. Mereka hanya tau omong tetang hidup susah, tapi tidak beri jalan untuk perubahan,” lanjut Bertus dengan nada menyindir
“Bertus, jaga omonganmu. Jangan macam-macam dengan Gereja,” Sipri, kakak tertua Bertus memotong pembicaraannya.
“Siapa di antara kita yang mendapat bantuan dari Gereja, tidak ada kan? Justru kita yang setiap tahun membayar kewajiban Gereja, entah punya uang atau tidak. Gereja mau kita hidup dalam penderitaan dan kemiskinan. Kalau memang kita ingin pembangunan dan kemajuan, seharusnya kita terima orang-orang PT,” Bertus menyindir.
“Bertus, hanya karena sekolah, kau enak saja bicara. Kau tidak tahu apa-apa di sini. Dengar dulu pertimbangan dari para warga dan tua-tua di sini. Sikapmu terlalu gegabah,” Pa Nadus, guru agama dan yang dipandang bijak di Satar Lolok menyahut Bertus.
Hingga bubar saat siang, pertemuan itu tidak menghasilkan keputusan apapun. Kedua kubu, masing-masing kembali ke rumahnya, tanpa ada lagi kelakar dan pembicaraan sebagaimana keakraban biasanya.
Yang ada hanya was-was dan takut, jangan-jangan ada penyerangan oleh salah satu pihak. Untuk itu, tiap-tiap rumah menyiapkan kope lewe dan korung di samping pintu rumahnya.
***
“Bertus…, Bertus…., ooo… Tusss,… Nia hau Bertus?” ibunya Bertus berteriak.
Sontak, seluruh warga Satar Lolok keluar rumah, berkumpul, dan kaget. Mereka saling tatap dan bertanya-tanya, mengapa Bertus hilang. Para pemuda dan tua-tua mencari di rumah-rumah, tapi tak ada jejak yang ditemukan. Bertus menghilang.
Kemarin bilangnya, dia tidak akan pergi dari kampung sampai persoalan dengan orang-orang PT selesai. Tapi, itu hanya bualan semata. Orang-orang PT sudah dalam perjalanan, mendatangi kampung Satar Lolok.
Entah apa yang pernah disepakati oleh Bertus dengan orang-orang PT, tak ada satupun di Satar Lolok yang tahu. Mereka hanya tahu, hari ini orang-orang PT datang.
Sementara itu, empat Fortuner hitam beriringan masuk ke kampung, menerbangkan debu putih di jalan dan halaman. Warga tercengang menatap mobil-mobil itu. Mobil-mobil yang sebelumnya pernah ditumpangi Bertus. Mobil orang-orang PT yang akan bertemu dengan warga Satar Lolok.
Melihat itu, para pemuda dan tua-tua yang menolak tambang dengan segera berlari ke rumah masing-masing, mengambil panah, kope lewe, dan korung, untuk berjaga-jaga jika ada ancaman dan serangan dari orang-orang PT. Mereka pun menghadang mobil-mobil itu.
“Mana Bertus?” seorang pria berkaca mata hitam, turun, dan menanyai warga.
“Bertus tidak ada, dia menghilang tadi subuh,” Sipri yang berdiri paling depan menjawab. Di pinggangnya diikat kope lewe dengan sarung.
“Ah,… sial… Kita ditipu,” seorang dari orang-orang PT berkomentar. Tanpa berpikir panjang, mereka masuk lagi ke dalam mobil dan melajukan kendaraan, menjauhi kampung Satar Lolok.
“Gara-gara batu dan Bertus, kita tidak bisa hidup tenang,” cetus warga, melihat orang-orang PT pergi dan melangkah ke rumah masing-masing.*
Kata-kata bahasa Manggarai:
Toe ngance todo apa-apa nitu: tidak bisa tumbuh apa-apa di situ.
Konem weri sampe ngger wa ulu, toe keta kin: biar tanam sampai kepala ke bawah, tidak akan bisa.
Bancik: alat kerja seperti skop, tapi berbentuk persegi panjang
Ceki-ceki: arwah leluhur
Compang: tugu/altar persembahan
Golo : bukit/gunung
Golo Lolok: bukit/gunung bernama Lolok
Kope : parang
Kope Lewe: Parang panjang
Korung: tombak
Lingko: tanah ulayat
Mbaru Gendang: rumah adat Manggarai
Natas : halaman/lapangan
Nia hau Bertus? : Kamu di mana Bertus?
Satar Lolok: nama kampung/
Teing hang: kasih makan nenek moyak
Wae pesi: nama sungai di Reo, yang membatasi Kab. Manggarai dan Manggarai Timur
Penulis merupakan pengangguran filsafat di kaki gunung Ranaka, Manggarai, NTT. Akrab disapa Exefer Joak-im.