Juan Ambarita*
PIRAMIDA.ID- Peristiwa bentrok antara warga dengan aparat kepolisian yang terjadi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Jumat (24/4/2021) yang viral di sosial media mengundang berbagai kecaman dari warganet dan juga mempertanyakan tugas polri sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
Bagaimana tidak, video yang diposting oleh akun Twitter @LBHyogyakarta ini memperlihatkan tindakan brutal oleh aparat kepolisian dalam merespon aksi ujuk rasa warga Desa Wadas dalam rangka penolakan terhadap proyek pembangunan Bendungan Bener yang merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) Pemerintah.
Penolakan warga terhadap PSN ini sudah muncul sejak tahap sosialisasi pengadaan tanah untuk pembangunan bendungan bener pada 27 Maret 2018. Dalam sosialisasi oleh Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWS-SO) warga Wadas melakukan walk out dari forum karena warga menilai pelaksanaannya jauh dari musyawarah untuk mencapai mufakat.
Sementara itu, Direktur Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Jarot Widyoko menyatakan bahwa mayoritas warga setempat telah menyetujui pembebasan lahan tersebut. Total, ada 2.800 bidang tanah untuk membangun bendungan yang jadi Proyek Strategis Nasional (PSN) ini dan telah dibebaskan 100 persen.
Peristiwa yang terjadi di Wadas baru-baru ini memperpanjang deretan konflik agraria di Indonesia. Melansir dari situs KPA, sepanjang tahun 2020 telah terjadi 30 letusan konflik agraria di sektor pembangunan infrastruktur. Dari angka tersebut, 17 di antaranya disebabkan oleh pembangunan proyek PSN termasuk di dalamnya pembangunan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), mulai dari pembangunan bandara, jalan tol, bendungan, pelabuhan, dan kawasan pariwisata beserta infrastruktur penunjangnya.
Proses pengadaan tanah untuk proyek pembangunan infrastruktur dari tahun ke tahun kerap menghasilkan persoalan pelik. Proses yang tertutup, intimidatif, manipulatif, hingga penggunaan cara-cara kekerasan masih sering digunakan dalam menghadapi aspirasi atau protes dari masyarakat terdampak.
Sejatinya UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum telah menyediakan pilihan ganti kerugian kepada warga terdampak selain uang ganti rugi, yaitu melalui opsi pemberian tanah pengganti, permukiman kembali, penyertaan modal (kepemilikan saham), dan bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Namun sayangnya teori tidak sesuai dengan praktek di lapangan, berdasarkan pemberitaan di media massa yang menyangkut konflik agraria, seringkali hak warga terdampak atas opsi-opsi itu seringkali tidak diberikan, atau sengaja ditutupi dengan memanfaatkan ketidaktahuan warga atas hak-hak mereka sebagaimana diatur UU tersebut.
Alih-alih membuka opsi-opsi tersebut, pemerintah cenderung langsung mengarahkan dan mendorong kepada pilihan ganti-rugi uang, yang seringkali tidak menguntungkan warga terdampak sebab praktik-praktik koruptif dan manipulative aparat di lapangan. Mengambil uang ganti rugi di pengadilan menjadi cara ampuh untuk mengintimidasi warga yang tidak setuju tanahnya dijadikan objek pengadaan tanah, atau tidak setuju dengan nilai ganti-kerugian yang diberikan.
Terkait pengadaan tanah, Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah melakukan revisi yang begitu besar sehingga diprediksi akan memberi dampak lebih buruk. Hal ini disebabkan Omnibus Law telah memperluas cakupan “kepentingan umum”. Cakupan kepentingan umum kini tidak hanya mencakup proyek-proyek infrastruktur, tetapi mencakup juga pengadaan tanah untuk PSN, KEK, Pariwisata, pertambangan, bisnis properti, hingga kebutuhan untuk pengembangan kawasan ketahahan pangan kini dapat menggunakan instrumen hukum baru ini.
Termasuk dampak yang diakibatkan oleh semakin dihilangkannya hak warga untuk berkeberatan dan partisipasi dalam proses dan akses informasi. Partisipasi publik dalam menentukan persetujuan atau keberatan atas lokasi proyek pembangunan yang dijamin dalam UU No. 2/2012, kini telah dihapus dalam Omnibus Law dengan menghilangkan kesempatan bagi warga yang terdampak untuk melakukan veto terhadap rencana pembangunan apabila dirasa lebih banyak mendatangkan kerugian.
Ini merupakan bentuk praktik mal-administratif, dengan meniadakan unsur kerelaan dari petani sebagai pemilik tanah yang sah. Dengan kealpaan dari partisipasi publik maka semakin membuka celah bagi para pihak yang ingin mengeruk atau mengekspolitasi suatu lahan tanpa peduli kondisi sosial masyarakatnya, cukup dengan dalih kepentingan umum atau pembukaan lapangan pekerjaan semua proses administrasi dan sebagainya bisa diselesaikan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Ketika ada gejolak yang timbul aparat diturunkan untuk menghadapi masyarakat setempat, gejolak masyarakat semakin panas tinggal ditangkapi saja sama seperti yang dialami oleh warga desa wadas baru-baru ini.
Penulis sendiri memandang tindakan aparat yang melakukan penangkapan sewenang-wenang disertai kekerasan dan gas air mata merupakan bentuk penggunaan kekuatan yang buta. Cara ini merupakan bentuk pencideraan terhadap usaha warga masyarakat sebagai pemilik lahan yang sah dalam memperjuangkan keadilan sosial dan ekologis.
Pemerintah seharusnya bisa meminimalisir konflik melalui cara-cara yang demokratis, masyarakat setempat seharusnya didengarkan aspirasinya melalui di bukanya ruang-ruang diskusi mengenai Proyek Strategis Nasiona (PSN) ini dan memberikan apa yang seharusnya menjadi hak warga setempat sesuai dengan ketentuan UU terkait pengadaan tanah.
Dalam negara demokrasi sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk melindungi dan mendengarkan aspirasi warga masyarakatnya. Kepentingan masyarakat umum memang suatu hal yang harus di perhatikan, namun sekelompok masyarakat kecil tidak seharusnya ditumbalkan, apalagi dengan dalih kepentingan umum.(*)
Penulis merupakan mahasiswa Fakuktas Hukum Universitas Jambi.