Piramida.id
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy
Selasa, Juni 17, 2025
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
Piramida.id
  • Berita
  • Dialektika
  • Dunia
  • Edukasi
  • Ekologi
  • Ekosospolbud
  • Kabar Desa
  • Pojokan
  • Sains
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Spiritualitas
Home Dialektika

Mengapa di Era Digital Masih Ada yang Percaya Teori Konspirasi?

by Redaksi
30/01/2022
in Dialektika
ilustrasi/HolaMigo.id

ilustrasi/HolaMigo.id

101
SHARES
719
VIEWS
Bagikan ke FacebookBagikan ke WhatsappBagikan ke Telegram

Carolina Leonard*

PIRAMIDA.ID- Seorang penulis di The New York Times menyampaikan kekhawatirannya: “Apa jadinya jika vaksin Covid-19 ditemukan tapi setengah penduduk [Amerika Serikat] menolak untuk divaksin?”

Pertanyaan itu ia ajukan sebab adanya beragam misinformasi yang beredar mengenai wabah Covid-19, terlebih dari orang-orang yang percaya dengan teori konspirasi. Ia khawatir karena para penganut teori konspirasi percaya bahwa Covid-19 adalah buatan kelompok elit global yang mencari untung dari hasil penjualan vaksin.

Inilah kenyataan yang harus kita hadapi di tengah wabah virus corona: wabah teori konspirasi.

Douglas, dkk. (2019) mendefinisikan teori konspirasi sebagai “upaya untuk menjelaskan penyebab kejadian sosial dan/atau politik sebagai plot rahasia oleh dua atau lebih aktor”. Teori konspirasi bukan sekadar obrolan ringan semata; ia bisa potensial berkaitan dengan gerakan ekstrimisme, politik radikal, hingga terorisme.

Ketidakpercayaan penganut teori konspirasi pada data dan fakta, membuat keberlangsungan bumi (misalnya gerakan anti-pemanasan global) dan kesehatan masyarakat (misalnya gerakan anti-vaksin) menjadi taruhannya.

Meski teori konspirasi menghasilkan cerita yang mengada-ada, lantas mengapa masih ada orang yang percaya pada teori konspirasi?

Menurut Douglas, Sutton, & Cichocka (2017, 2019), ada tiga motivasi utama yang mendasari kepercayaan orang terhadap penjelasan konspiratif.

Pertama, kebutuhan seseorang untuk memiliki kerangka pikir atau informasi dasar untuk dapat menjelaskan suatu fenomena. Ini hal yang lumrah sebenarnya, manusia memang punya rasa ingin tahu yang tinggi, tidak suka pada ketidakpastian, dan ingin memaknai suatu kejadian yang ganjil.

Tapi bagi penganut teori konspirasi, penjelasan umum tidaklah cukup. Maka dari itu, biasanya dalam penjelasan konspiratif ada tambahan lain: spekulasi (ada agenda tertentu yang tidak diketahui publik), kompleks (biasanya melibatkan beberapa aktor), dan tidak dapat dibuktikan ketidakbenarannya.

Motivasi kedua didorong oleh kebutuhan manusia akan rasa aman dan kontrol atas lingkungannya. Seperti penjelasan sebelumnya, para penganut teori konspirasi tidak puas hanya mengacu pada penjelasan umum (dalam menjelaskan fenomena atau kejadian tidak terduga).

Mereka lalu beralih ke teori-teori konspirasi karena narasinya mengidentifikasi sederet aktor dan ancaman yang berbahaya. Komponen inilah yang membuat para penganut teori konspirasi merasa lebih aman karena sudah tahu kambing hitamnya. Mereka juga merasa lebih punya kuasa atas kejadian tidak terduga karena merasa lebih tahu daripada masyarakat awam.

Ketiga adalah motivasi sosial, yaitu kebutuhan seseorang untuk menjaga pandangan positif dirinya dan kelompok sosialnya. Di sini, narasi konspiratif dijadikan alat pelindung seseorang dan kelompoknya untuk menyudutkan dan menyalahkan kelompok lain atas peristiwa negatif.

Kontribusi ekosistem digital

Lalu bagaimana dunia digital hari ini berkontribusi pada berkembang dan tersebarnya teori konspirasi?

Menurut Douglas, dkk. (2019), sirkulasi teori-teori konspirasi ada dan berkembang dalam komunitas online yang memang sejak awal berpandangan konspiratif. Teori konspirasi tidak secara acak dapat menggaet pengikut baru karena, ya, nggak semua orang percaya, share, dan posting teori-teori ini.

Mereka yang sudah percaya (atau secara psikologis rentan untuk percaya) pada teori-teori konspirasi saling berkomentar atau membagikan “bukti-bukti” konspirasi di dalam kelompok online mereka saja. Artinya, dalam hal narasi konspiratif, internet berperan penting dalam membuat mereka semakin homogen dan radikal (Douglas, dkk., 2019).

Hal ini kemudian diperparah dengan ekosistem di ranah digital, yakni adanya filter bubble dan echo chambers.

Filter bubble adalah kondisi dalam dunia digital di mana pandangan yang tidak sesuai dengan keyakinan seseorang dikurangi keterpaparannya. Ini merupakan konsekuensi dari peran algoritma yang menyebabkan kita lebih terpapar dengan konten yang sejalan dengan pemahaman kita pribadi. Seseorang kemudian senang hidup dalam “gelembungnya” karena ia mendapatkan afirmasi atas apa yang ia yakini.

Sedangkan echo chamber adalah sebuah metafora untuk menamai sebuah situasi di mana seseorang mempertebal keyakinannya pada suatu hal dalam sistem komunikasi yang tertutup. Sesuai namanya, echo chamber hanya memantulkan balik suara atau pandangan yang satu paham.

Seseorang bisa saja menemui konten informasi dari pandangan yang berseberangan, tapi ia langsung menilai bahwa informasi tersebut tidak valid dan tidak dapat dipercaya. Intinya, echo chamber mengisolasi orang dari pandangan lain yang berbeda.

Melalui dua konsep ini kita bisa memahami bagaimana teori konspirasi subur di ekosistem digital: karena informasi yang beragam disingkirkan dan kepercayaan seseorang terhadap pandangannya sendiri meningkat. Ketika penganut teori konspirasi berada dalam echo chamber-nya, mereka menganggap bahwa pandangan yang kontradiktif dengan pandangan mereka sebagai bagian dari teori konspirasi.

Penelitian lain menunjukkan bahwa pemeluk teori konspirasi punya kecenderungan untuk  meminjam teori-teori konspirasi dari kelompok konspiratif lain pada topik yang berbeda. Ini tentu saja membuat semacam siklus tiada henti ketika membahas teori-teori konspirasi.

Apalagi, para pendukung narasi konspiratif juga secara aktif mencari medium dan orang-orang yang sepaham. Di Indonesia, ini bisa dilihat dari menjamurnya teori-teori konspirasi di berbagai media sosial.


Artikel ini memakai lisensi Creative Commons Atribution-Noncommercial. Pertama kali dimuat di laman Remotivi.or.id

 

 

Tags: #digitalisasi#konspirasi#penganut
Share40SendShare

Related Posts

Pidato Lengkap Jefri Gultom di Dies Natalis GMKI ke-74: Bangkit Ditengah Pergumulan

26/02/2024

Bangkit Ditengah Pergumulan Pidato 74 tahun GMKI Jefri Edi Irawan Gultom Para peletak sejarah selalu berpegang pada prinsip ini, ‘’perjalanan...

Pewaris Opera Batak

11/07/2023

Oleh: Thompson Hs* PIRAMIDA.ID- Tahun 2016 saya menerima Anugerah Kebudayaan dari Kemdikbud (sekarang Kemendikbudristek) Republik Indonesia di kategori Pelestari. Sederhananya,...

Mengapa Membahas Masa Depan Guru “Dianggap” Tidak Menarik?

01/05/2023

Oleh: Agi Julianto Martuah Purba PIRAMIDA.ID- “Mengapa sejauh ini kampus kita tidak mengadakan seminar tentang tantangan dan strategi profesi guru di...

Membangun Demokrasi: Merawat Partisipasi Perempuan di Bidang Politik

14/04/2023

Oleh: Anggith Sabarofek* PIRAMIDA.ID- Demokrasi, perempuan dan politik merupakan tiga unsur yang saling berkesinambungan satu dengan yang lain. Berbicara mengenai...

Dari Peristiwa Kanjuruhan Hingga Batalnya Indonesia Tuan Rumah Piala Dunia U-20

03/04/2023

Oleh: Edis Galingging* PIRAMIDA.ID- Dunia sepak bola tanah air sedang merasakan duka yang dalam. Kali ini, duka itu hadir bukan...

Prinsip-Prinsip Disiplin Kelas

02/04/2023

Oleh: Muhammad Muharram Azhari* PIRAMIDA.ID- Pengertian disiplin menurut Elizabeth Hurtock mengemukakan bahwa; Disiplin itu berasal dari kata "discipline", yaitu seseorang...

Load More

Tinggalkan KomentarBatalkan balasan

Terkini

Berita

Refleksi Hari Lahir Pancasila, Fawer Sihite: Kita Harus Dengarkan Hati Nurani Rakyat

01/06/2025
Berita

Kalah Sebagai Calon Ketua Umum, Fawer Sihite Pastikan Dukung Kepemimpinan Prima Surbakti dan Jessica Worouw di GMKI

28/05/2025
Berita

Aliansi Mahasiswa Siantar Se-Jabodetabek Akan Kepung Mabes Polri: Tuntut Penangkapan Wali Kota Wesli Silalahi

11/05/2025
Berita

Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH): Penegakan Hukum atau Alibi Militerisasi Atas Nama Konservasi?

09/05/2025
Berita

Ketua Front Justice: Kepemimpinan Wesly Silalahi Dinilai Gagal, Siantar Mengarah ke Kemunduran dan Kota Gelap

07/05/2025
Berita

GMKI Cabang Bandar Lampung Ungkap Krisis Kepolisian di Daerah Lampung: “Kekuasaan Tanpa Kendali, Rakyat Tanpa Perlindungan”

01/05/2025

Populer

Dunia

Sumber Air Bersih dan Air Minum di Arab Saudi

07/06/2020
Dialektika

Prinsip-Prinsip Disiplin Kelas

02/04/2023
Berita

Aliansi Mahasiswa Siantar Se-Jabodetabek Akan Kepung Mabes Polri: Tuntut Penangkapan Wali Kota Wesli Silalahi

11/05/2025
Ekologi

Mengenal Prof. Mr. St. Munadjat Danusaputro, Guru Besar Hukum Lingkungan Hidup

22/06/2020
Pojokan

Pesan Tersembunyi Ki Narto Sabdo Dalam Lagu Kelinci Ucul

23/09/2020
Berita

Ketua Front Justice: Kepemimpinan Wesly Silalahi Dinilai Gagal, Siantar Mengarah ke Kemunduran dan Kota Gelap

07/05/2025
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba

No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba