PIRAMIDA.ID- Coba anda ketik ‘Friedrich Nietzsche’ di mesin pencari online. Anda kemungkinan besar mendapatkan akun Twitternya. Atau, salah satu dari banyak akun Twitter Nietzsche.
Nietzsche punya sekitar 100 akun Twitter yang aktif. Lumayan mengesankan untuk seseorang yang sudah tiada selama 130 tahun. Lebih mengesankan lagi kalau melihat sosok-sosok terkenal lain yang aktif di Twitter ‘dari alam kubur,’ seperti William Shakespeare yang juga hadir di Twitter, atau bahkan Yesus Kristus.
Namun tidak seperti kameradnya, kata-kata Nietzsche bukan yang lazim ditemui dalam kurikulum sekolah menengah tinggi. Kebanyakan, kalau sudah pernah mendengar karya filsuf tersebut, dapat dijumpai di tingkat kuliah atau bahkan setelah itu.
Mungkin filsuf Jerman yang sudah tiada tengah menjadi mode? Immanuel Kant, bapak era pencerahan yang pemikiran ‘imperatif kategoris’-nya masih dibahas tak hanya dalam kelas filosofi di Cambridge, memiliki 15 akun bayangan. Hegel, otak di balik dialektika majikan-budak dan penulis salah satu teks terpadat dalam sejarah filosofi, ‘Phenomenology of Spirit,’ punya satu akun.
Lalu apa yang menjelaskan daya tarik Twitter-nya Nietzsche?
Ringkas adalah cerdas
Selain merupakan salah satu pemikir terhebat dalam sejarah pemikiran, Nietzsche dikenal di kalangan cendekia saat ini sebagai bapak aforisme – atau istilah filosofi untuk sebuah tweet – sebuah pemikiran atau pepatah dalam bentuk ringkas, kerap kali dalam satu atau dua kalimat.
“Tanpa musik, hidup menjadi sebuah kesalahan.”
“Tidak ada yang namanya fenomena moral, yang ada interpretasi moral atas fenomena.”
“Banyak membual tentang diri sendiri juga dapat menjadi cara untuk merahasiakan diri sendiri.”
Ini adalah tiga contoh Tweet klasik dari Nietzsche. Hanya tiga dari ribuan aforisme yang memenuhi buku-buku karya Nietzsche sepanjang kariernya. Tidak jarang, buku-buku Nietzsche tidak mengandung isi lain selain aforisme.
“Nietzsche menulis dengan melibatkan pembaca, sementara Kant menulis dalam bentuk prosa filosofis yang begitu padat,” menurut Kirk Wetters, profesor bahasa dan literatur Jerman di Universitas Yale.
“Nietzsche dianggap sebagai filsufnya individualisme radikal (atau bahkan macho). Ironis karena filosofi yang konon individualis justru menghasilkan 100 akun peniru.”
Sementara Arthur Schopenhauer hanya memiliki 10 akun Twitter bayangan. Keterusterangan dalam bahasa dan pemikiran Schopenhauer yang menarik hati Nietzsche muda. Sesuatu yang tidak malu-malu diakui oleh Nietzsche.
Ia jelas-jelas menyebut Schopenhauer sebagai pendidiknya, dan ia mencoba untuk meniru cara Schopenhauer menulis secara langsung dan terus terang.
“Adalah ambisi saya untuk mengatakan dalam 10 kalimat apa yang penulis lain katakan dalam sebuah buku – atau apa yang penulis lain tidak katakan dalam satu buku.”
Contoh Tweet lain dari Nietzsche. Dan memang, Nietzsche tidak mengadopsi benang merah di antara para filsuf Jerman yang mendahuluinya dalam hal kepanjang-lebaran, bertele-tele, berbelit-belit atau – mari kita biarkan Hegel menjelaskan…
Sebuah kasus ‘tl;dr’
“Kesadaran moral, sebagai pengetahuan dan kerelaan tugas murni, dipersembahkan, oleh proses mengerjakan, ke dalam hubungan dengan sebuah objek yang bertentangan dengan kesederhanaan abstrak, ke dalam hubungan dengan aktualitas berganda yang dipersembahkan sejumlah kasus, dan oleh karena itu membentuk sikap moral terlihat dan terwujud dalam karakter.”
Georg Wilhelm Friedrich Hegel – nama filsuf ini saja sudah terlalu panjang untuk Twitter
Coba ulangi lagi? Kalimat-kalimat semacam ini – menurut Nietzsche pada zamannya – tak lain adalah batu sandungan menuju pengetahuan. Sususan pemikiran yang memusingkan dan beberapa – termasuk kandidat PhD filosofi – hanya bisa berharap untuk mengerti.
Dan, mereka tak punya peluang di Twitter. Kalimat Hegel (sebelum diterjemahkan) di atas memiliki 259 karakter, termasuk spasi. Bisa jadi Tweet? Lupakan saja. Jumlahnya hampir dua kali lipat dari 140 yang diperbolehkan. Tak mengherankan berarti kalau Hegel hanya memiliki satu akun bayangan.
Tapi apakah ini berarti pemikir zaman sekarang telah mengubah cara mereka menulis? Apakah pemikiran harus bisa di-tweet?
Menurut komentar di antero internet, iya. Kolom-kolom komentar diramaikan koleksi huruf dan angka yang dikenal sebagai ‘tl;dr.’ Yang merupakan singkatan dari “Too long; didn’t read” atau “Terlalu panjang; tidak dibaca.”
Kalau Kant dan Hegel punya masalah itu, aforisme Nietzsche tidak. Bahkan, tulisannya bebas dari komentar ‘tl;dr’ untuk waktu yang lama.
Sang filsuf hebat mengklaim karyanya hanya dapat dimengerti 200 tahun setelah ia wafat – berarti masih ada 70 tahun lagi untuk menikmati karya Nietzsche.
Sumber: DW Indonesia