Oleh: Nabilatum Masruroh*
PIRAMIDA.ID- Pencemaran lingkungan tak lagi menjadi isu baru bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Berbagai faktor penghancur lingkungan sampai saat ini masih belum bisa dikontrol baik oleh masyarakat yang hidup di daerah setempat maupun pemerintahnya.
Krisis ekologi dari waktu ke waktu banyak mengalami peningkatan bahkan sampai saat ini pola hidup masyarakat serta lemahnya sistem dari pemerintah dalam usaha menjaga lingkungan masih relatif rendah sehingga permasalahan lingkungan masih saja terjadi.
Salah satu tokoh sosiologi teori klasik yang di mana ia paling tidak diakui sebagai komentator lingkungan, Emile Durkheim cukup tegas dalam menyatakan bahwa fenomena sosial tidak dapat dijelaskan melalui lensa psikologi individu.
Ini adalah aturan sentral dari metode sosiologis bahwa penyebab yang menentukan dari fakta sosial harus dicari di antara fakta-fakta sosial yang mendahului dan bukan di antara keadaan kesadaran individu.
Meskipun pembelaan yang kuat atas fakta-fakta sosial dan kesadaran kolektif ini pasti mendukung kemandirian teoretis sosiologi, hal itu juga memiliki efek memperingatkan para anggota disiplin baru dari pendekatan non-sosiologis yang bersifat reduksionis, yaitu mereka mereduksi penjelasan menjadi faktor biologis atau psikologis.
Namun demikian, Durkheimhimselff sering menggunakan konsep dan metafora biologi dalam mempresentasikan teorinya tentang transformasi masyarakat.
Lebih jauh, teori ini pasti diilhami oleh model evolusi Darwin yang populer di kalangan intelektual. Catton (2002: 92) mengemukakan bahwa teori Durkheim sangat merupakan upaya untuk menemukan solusi untuk apa yang pada dasarnya adalah krisis ekologi dari peningkatan populasi yang dipasangkan dengan sumber daya yang langka.
Ketika masyarakat menjadi lebih besar dan lebih padat, akan menjadi bencana jika semua orang terus terlibat dalam pertanian. Spesialisasi pekerjaan semakin mengurangi persaingan atas tanah subur, bahkan saat tanah tersebut menjadi lebih produktif berkat inovasi teknologi.
Kemerosotan yang terjadi di dunia tentang bagaimana keadaan lingkungan di setiap sejarahnya bukan lagi hal baru. Banyak akibat negatif yang yang dimunculkan dan mempengaruhi peradaban.
Seiring dengan perkembangan zaman kecanggihan teknologi juga semakin banyak memberikan kontribusinya terhadap kehidupan manusia terlepas dari itu banyak juga teknologi yang sanggup menciptakan kerusakan lebih besar terhadap lingkungan bahkan bisa terjadi lebih cepat apalagi dengan sistem ekonomi yang kita miliki yang tidak kenal batas.
Jika dilihat juga kerusakan pada hari ini sangat besar dan bergitu luas bukan hanya mengakibatkan kemerosotan ekologi dalam skala lokal maupun regional saja tapi juga mempengaruhi lingkungan pada skala planet.
Para pemerhati lingkungan setuju dengan anggapan bahwa melanjutkan bisnis seperti biasa akan membawa kita pada jalan menuju bencana global bahkan kehancuran.
Bagi banyak orang disebutkan bahwa kita perlu membatasi jejak ekologis manusia dan kita juga perlu membuat perekonomian terutama negara yang memiliki ekonomi yang sangat maju dan juga pesat untuk berhenti tumbuh, dan semisal output dari dunia terus bertambah kemudian dilanjutkan dengan masyarakat yang ingin berkembang dan berusaha mencapai standar hidup negara-negara kapitalis kaya, kemudian negara kapitalis yang kaya ini juga terus berusaha untuk bisa mempertinggi lagi kekayaan perkapitanya yang telah besar.
Yang tentunya dengan kejadian ini akan menimbulkan efek negatif kepada sumber daya yang tak terbaharukan yang terbatas dan juga akan menimbulkan banyaknya polusi yang akan terus bertambah melebihi yang mampu diserap oleh bumi. Daya tampung lingkungan maupun penyediaan sumber daya penting yang terbarukan diperkirakan akan melebihi daya tampung yang absolut.
Contoh konkret dari rusaknya lingkungan ialah kerusakan pada hutan yang terus terkikis akibat serakahnya para kaum kapitalis, kemudian contoh selanjutnya misalkan pencemaran udara yang terjadi pada kota metropolitan Indonesia, yaitu Jakarta yang di mana disana telah memasuki pada tahap udara yang sudah tak layak di hirup karna tingginya tingkat polusi yang bisa menyebabkan berbagai macam penyakit bagi masyarakat yang ada di sekitarnya.
Cerita mengenai 32 warga negara yang menjadi penggugat polusi udara yang memasukan gugatannya ke pengadilan terhadap pemerintah pusat dan juga daerah hanya karena untuk bisa mewujudkan mimpi akan kualitas udara yang lebih baik untuk kita semua.
Sidang dilakukan hampir selama dua tahun lamanya dengan mengalami penundaan hampir sekitar 8 kali yang pada akhirnya pengadilan memutuskan kemenangan atas penggugat serta mewajibkan bagi tergugat untuk melakukan langkah-langkah yang seharusnya telah mereka lakukan demi memperbaik kualitas udara yang berada di ibu kota Indonesia, yaitu Jakarta.
Para 4 tergugat, yaitu Presiden RI, Mendagri, Men-KLHK serta Menteri Kesehatan malah mengajukan banding atas keputusan yang telah ditetapkan oleh penegak hukum yang seakan meremehkan bahaya dari polusi udara yang mengancam ibu kota. Lemahnya sistem pada pemerintah tentunya berdampak pula pada lemahnya sistem penegak hukum, karena hukum tidak akan berjalan jika tidak ada penggeraknya terutama pemimpin tertinggi dari sebuah kelompok, karena hukum merupakan alat pengatur yang tidak bisa bergerak sendirian apalagi pincang dengan tidak didukungnya dengan sistem pemerintahan tertinggi.
Faktor utama dari kerusakan polusi di Jakarta sendiri ialah kurangnya pengawasan administratif kepada para pengusaha yang bergerak di bidang industri yang seharusnya ditanamkan konsep pencegahan dari pencemaran yang seharusnya menerapkan teknologi yang lebih bersih sehingga dapat menwujudkan peningkatan efisiensi serta efektifitas produksi yang bisa meningkatkan keuntungan dari perusahaan sekaligus bisa menjaga lingkungan hidup.
Hukum dari lingkungan ialah hukum yang bisa mendasari penyelenggaraan untuk bisa memberikan perlindungan serta tata pengelolaan untuk bisa meningkatkan ketahanan lingkungan.
Untuk para pelaku dari pencemaran lingkungan terdiri dari beberapa aspek, yaitu aspek administrasi, perdata, serta pidana yang diatir dalam Pasal 76 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta dijabarkan mengenai sanksi administrasi di sini yang berupa teguran tertulis, pembekuan izin lingkungan, paksaan dari pemerintah, serta pencabutan izin dari lingkungan.
Sedangkan untuk menyelesaikan persoalan sengketa lingkungan hidup di sini sesuai dengan Pasal 84 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang menjabarkan untuk menggugat biaya pemulihan atau ganti kerugian lingkungan ada 2 jalur, yaitu melalui penyelesaikan sengketa lingkungan hidup yang dilaksanakan di luar pengadilan serta penyelesaian melalui pengadilan.
Hal yang diperlukan untuk bisa menindaklanjuti kerusakan lingkungan ialah diperlukannya sistem penegak hukum yang kuat untuk bisa menindaklanjuti secara cepat persoalan dari gugatan pencemaran lingkungan agar langkah-langkah perbaikan bisa segera ditindaklanjuti.
Penguatan dari sistem Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang dari hasilnya akan memberikan banyak kontribusi seperti bisa memberikan informasi tentang bagaimana lingkungan agar dari masyarakat dan pemerintah bisa menghindari kerusakan pada lingkungan hidup.
Minimnya perhatian pemerintah serta tidak maksimalnya penegak hukum lingkungan juga merupakan menjadi salah satu faktor lingkungan menjadi tak terurus sehingga diperlukan perencanaan serta perhatian yang masif.
Hukum yang didefinisikan secara konseptual ialah sebagai piranti yang bisa diandalkan untuk bisa menangani kerusakan yang ada pada lingkungan. Dalam konteks rusaknya lingkungan hukum sendiri amat sangat diharapkan untuk bisa menyelesaikan permasalahan secara ilegal.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Jember Prodi Sosiologi Angkatan 2019 yang sedang mengikuti Program Kemendikbud Pertukaran Pelajar di Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH).