Asrida Sigiro*
PIRAMIDA.ID- Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi, di mana sistem pemerintahannya diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Demokrasi tercermin dari diselenggarakannya pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Setelah hampir 32 tahun menganut sistem yang sentralistik, pada era reformasi awal (1999-2004), terjadi dinamika perubahan ketatanegaraan yang luar biasa; UUD’45 diamandemen, bahkan hingga empat kali amandemen di tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.
Pada era reformasi yang ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto dan diselenggarakannya Pemilu 1999, menjadi babak awal dalam sejarah perkembangan demokratisasi di negeri ini.
Dari hasil amandemennya, MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara yang berwenang memilih, menetapkan, dan melantik presiden dan wakil presiden.
Kemudian, sistem pemerintahan daerah didorong pada wacana desentralisasi dan otonomi daerah yang berujung pada pilkada secara langsung. Sejak awal dorongan disentralisasi sebagai pola dalam sistem NKRI pasca reformasi, segala yang terkait dengan pemerintahan daerah hingga bagaimana pemilihan kepala daerahnya, diatur dalam UU tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).
Hingga kemudian ada pemisahan UU yang khusus mengatur tentang Pilkada di luar UU tentang Pemda.
Meraih tiket running dalam pemilihan kepala daerah memang tidak mudah. Bahkan, calon perseorangan pun harus mempersiapkan pendukung dengan mengumpulkan puluhan ribu hingga jutaan KTP.
Demikian juga yang dicalonkan partai politik (parpol), harus melalui tahapan seleksi yang rumit. Calon kandidat harus presentasi mengikuti uji kelayakan dan kepatutan, melakukan sosialisasi kepada pendukung, berkampanye dengan pelbagai media, serta harus bersibuk ria dengan komunikasi politik intensif kepada jajaran aktivis parpol.
Tahapan perjuangan rekom tak cukup sampai di situ. Sebab, kemudian pengurus parpol lokal biasanya melakukan survei dan jaring aspirasi ke warga sebelum menetapkan siapa yang bakal diajukan ke pengurus parpol pusat untuk mendapatkan rekomendasi.
Setelah lulus dan ditetapkan menjadi paslon, pertarungan pun baru dimulai. Suara rakyatlah penentunya, siapa yang akan mendapatkan kursi sebagai pimpinan suatu daerah tertentu. Karenanya, menjadi PR besar bagi kandidat paslon untuk meraih hati masyarakat pemilihnya.
Apalagi pada era globalisasi ini, adalah pekerjaan mudah bagi pemilih untuk mengenali calon bukan hanya dari visi-misi yang dikampanyekan, akan tetapi juga bisa menelisik lebih tajam latarbelakang dari paslon-paslon yang sedang bertarung.
Secara umum memahami pemilih tidaklah mudah. Riset Malik (2018) menjelaskan bahwa pemilih Indonesia terpilah dalam tiga kategori: pemilih emosional, pemilih rasional, dan pemilih rasional-emosional.
Pemilih emosional merupakan pemilih yang memiliki hubungan emosional sangat kuat dengan identitas yang membentuk dirinya sejak lahir. Identitas itu berkaitan dengan ideologi, agama, dan budaya. Lazimnya, pemilih kategori itu lebih mengental pada kawasan rural. Kurang kuat di kawasan perkotaan (urban).
Pemilih rasional adalah pemilih berpikir. Mereka punya nalar argumentatif terhadap alasan memilih. Tidak emosional. Pemilih rasional mengedepankan diskusi aktif dan terbuka, disertai data, dalam menentukan suatu pilihan.
Pemilih rasional-emosional adalah pemilih yang cenderung akan diam menarik diri (withdraw) dalam perdebatan isu yang bersifat agama, identitas, dan simbol lainnya yang sedang berlangsung. Sebab, mereka membutuhkan waktu untuk memproses informasi dan isu tersebut..
Karakter pemilih di Indonesia bisa dikatakan cenderung didominasi pemilih rasional-emosional. Karakter itu terbentuk lantaran sistem perpolitikan di Indonesia belum mapan (establish).
H-1 menjelang pesta demokrasi memalingkan perhatian hampir seluruh rakyat Indonesia yang merujuk pada kontestasi Pilkada Serentak yang digelar pada Rabu, 09 Desember 2020, dan yang diikuti oleh 270 daerah, yang memperebut 9 kursi gubernur/wakil gubernur, 37 kursi wali kota/wakil wali kota, dan 244 kursi bupati/wakil bupati.
Setelah ditunda pelaksanaanya dari bulan September menjadi bulan Desember, akibat pandemi COVID-19 yang tak kunjung usai, dengan penuh pertimbangan, persiapan dan kesungguhan akhirnya Pilkada Serentak tahun 2020 ditetapkan digelar pada Rabu, 09 Desember, meski sebelumnya sempat dihembuskan akan kembali ditunda.
Meski di tengah pandemi, masyarakat tidak perlu takut datang ke TPS.
Karena TPS sedemikian rupa telah didesain sesuai protokoler kesehatan, sebelum masuk wajib cuci tangan, diperiksa suhu tubunhya, wajib memakai masker, sarung tangan, disediakan tisu, cairan disenfektan, untuk dilakukan penyemprotan secara berkala, dan bahkan disediakan APD dan bilik khusus untuk pemilih yang suhu tubuhnya lebih besar atau sama dengan 37,3 derajat celcius.
Demikian juga dengan jajaran penyelenggara yang berada di TPS, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) juga mengikuti protokoler kesehatan, mencuci tangan, memakai masker, memakai sarung tangan.
Begitu pun dengan petugas ketertiban TPS, saksi, pengawas, dan masyarakat pemilih wajib mengikuti anjuran protokoler kesehatan, demi terlaksananya pilkada yang sehat.
Pilkada yang berlangsung di tengah pendemi ini, menambah kebutuhan logistik yang banyak dari sebelumnya, begitu pun dengan anggaran dana yang dibutuhkan.
Kerja keras dan sinergis penyelenggara, mulai dari jajaran KPU-RI, KPU-Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK di tingkat Kecamatan, PPS di tingkat Kelurahan/Nagori, dan sampai kepada KPPS di tiap-tiap TPS, dalam segala persiapan demi berlangsungnya Pilkada Serentak ini, diharapkan membuahkan hasil.
Pilkada serentak berjalan lancar dan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin daerah yang terbaik.
Ayo ke TPS! Gunakan hak pilihmu! Pemilih berdaulat, negara kuat!(*)
Penulis merupakan PPS di Nagori Laras Dua, Kabupaten Simalungun. Pendidik di SD Swasta HKBP. Founder di Komunitas Kartini Indonesia (Kokasi).