PIRAMIDA.ID- Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Jakarta Timur St. Petrus Kanisius (PMKRI Cab. Jakarta Timur) menyoroti dua poin yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam amar putusan MK No. 91/PUU-XIII/2020 tentang pengujian formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja (UU Cipta Kerja).
Dua poin tersebut berkaitan dengan keputusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 dan keputusan MK yang menyatakan agar pemerintah menangguhkan segala tindakan/kebijakan strategis yang berkaitan dengan UU Cipta kerja.
“Merujuk pada dua poin dalam amar putusan MK tersebut, nampak bahwa MK membedakan “proses pembuatan” dan “materi muatan” UU Cipta Kerja, sehingga dalam Putusan MK No. 91/PUU-XIII/2020 yang digunakan adalah istilah inskonstitusional bersyarat, istilah yang baru dalam pengujian formil UU di MK. Kami menilai putusan ini hanyalah “jalan tengah” yang ditawarkan oleh MK bagi para pihak yang bersengketa,” beber Henri Silalahi selaku Ketua Presidium PMKRI Cab. Jakarta Timur dalam siaran pers yang diterima redaksi, Sabtu (27/11/2021).
Henri menyatakan dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) tidak dikenal istilah inskonstitusional bersyarat sebagaimana termaktub dalam putusan MK tentang pengujian formil UU Cipta Kerja. Menurut dia, istilah inskontitusional bersyarat selama ini hanya digunakan MK dalam memutus pengujian materil bukan dalam pengujian formil UU.
“Kalau merujuk pada UU Mahkamah Konstitusi, kita tidak akan menemukan nomenklatur “inskonstitusional bersyarat”, sehingga wajar putusan ini menjadi ambigu bagi banyak kalangan masyarakat. Namun apabila melihat tradisi pengujian UU di MK, penggunaan istilah inskonstitusional bersyarat selama ini hanya digunakan bagi permohonan pengujian materil UU saja, bukan pada pengujian formil UU. Hal ini tentu akan berbeda pemaknaannya, karena pengujian materil UU hanya menguji sebagian materi muatan, seperti pasal-pasal dan ayat-ayat dalam suatu UU, berbeda dengan pengujian formil, yang menguji keseluruhan proses pembuatan UU,” lanjutnya.
PMKRI Cab. Jakarta Timur juga mencermati poin-poin putusan MK yang memisahkan secara tegas “proses pembuatan” dan “materi muatan” UU Cipta Kerja, seakan-akan proses pembuatan UU tidak memiliki kaitan dengan materi muatan UU yang dihasilkan. Menurut mereka, putusan MK yang memisahkan secara tegas proses pembuatan dan materi muatan UU Cipta Kerja tersebutlah yang menghasilkan putusan MK No. 91/PUU-XIII/2020.
“Kami mencermati putusan MK tersebut, MK membedakan “proses pembuatan” dan “materi muatan” UU Cipta Kerja, seakan-akan proses pembuatan UU tidak memiliki kaitan dengan materi muatan UU yang dihasilkan. Hal ini tentu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, sebab bagaimana mungkin proses yang terbukti inskonstitusional dapat menghasilkan materi muatan yang konstitusional,” katanya.
“Di sisi lain, ketidakpastian hukum juga muncul karena MK memerintahkan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan strategis yang berdampak luas serta melarang pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja, hal ini berimplikasi pada tidak jelasnya nasib peraturan pelaksana sampai pada perjanjian kontrak kerja karyawan yang menginduk pada UU Cipta kerja, kita tidak tahu 2 (dua) tahun ini akan ada perbaikan atau tidak, dan kalaupun ada, harus dipastikan perbaikan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku,” pungkasnya mengakhiri.(*)