Oleh: Dewy Sri Widiyaningsih
PIRAMIDA.ID- Keluarga ialah unit terkecil dalam masyarakat yang didasari dari sebuah ikatan perkawinan atau pernikahan yang setelahnya memunculkan figur-figur, seperti suami, istri dan juga anak yang memilik perannya masing-masing.
Keluarga merupakan tempat di mana seseorang mendapatkan sosialisasi pertamanya sebelum ia mensosialisasikan diri dengan lingkungan dan masyarakat. Maka dari itu keluarga berperan penting dalam membentuk sistem sosial pada anak lewat pembentukan sikap, perilaku, agama dan budaya.
Sehingga perilaku seorang individu dalam masyarakat akan tercermin sebagaimana sistem sosial yang diterapkan di dalam keluarganya. Selain berperan sebagai penanaman nilai, keluarga juga berfungsi sebagai support system utama seorang individu secara fisik, mental, emosional, dan juga ekonomi atau finansial.
Kedua peran dan fungsi keluarga sebagai sistem sosial harus berkesinambungan agar menghasilkan individu yang berkualitas.
Penanaman nilai dapat dilakukan dengan berbagai pola asuh orang tua dalam mendidik anak. Pola asuh atau parenting didefinisikan oleh tokoh Diana Baumrind ialah acuan bagaimana orang tua mendidik, mengasuh, memberi bimbingan, serta turut andil dalam pendampingan anak dalam proses pendewasaannya.
Ada beberapa macam jenis pola asuh atau parenting terhadap anak, di antaranya, yakni:
Pola Asuh Demokratis “Authotitative Parenting”
Pola asuh ini bertumpu pada kebebasan anak dalam melakukan hal apapun namun masih dalam pengaruh batasan dan kendali dari orang tua. Model pola asuh seperti ini memotivasi anak untuk bersikap mandiri.
Pada pola asuh atau parenting ini pun juga terjalin komunikasi dua arah yang hangat sehingga berimbas pada cerminan kultur pribadi sang anak yang lebih percaya diri, dewasa, ceria, mampu mengendalikan diri dan tidak mudah stres.
Pola Asuh Permisif “Permissive Parenting”
Berbeda dengan authotitative parenting, pola asuh permisif ini justru membebaskan anaknya tanpa kendali dan batasan aturan dan pengawasan orang tua. Mereka cenderung acuh dan tidak melakukan tugas serta perannya sebagai figur orang tua terhadap anak.
Anak diberikan kebebasan melakukan apapun tanpa pengawasan dari orangtua. Orangtua cenderung tidak menegur atau memperingatkan, sehingga acap kali pola ini disukai oleh anak namun tentunya akan berimbas pada kultur aksi sang anak yang dicerminkan sebagai anak yang tidak memiliki kendali atas dirinya sendiri, memilik kepercayaan diri yang minim, serta acap kali merasa kesepian karena terasingkan dari keluarga.
Pola Asuh Otoriter “Authoritarian Parenting”
Berbanding terbalik dengan pola asuh demokratis yang membebaskan hak anak, pola asuh otoriter atau authoritarian parenting ini justru membatasi ruang gerak anak dan acap kali memberikan punishment terhadap anak.
Orang tua dengan pola ini sangat ketat dalam memberikan batasan dan kendali yang tegas terhadap anak-anak, serta komunikasi verbal yang terjadi juga lebih satu arah. Orang tua tipe otoriter umumnya menilai anak sebagai obyek yang harus dibentuk oleh orang tua yang merasa “lebih tahu” mana yang terbaik bagi anak-anaknya.
Anak yang diasuh dengan pola otoriter sering kali terlihat kurang bahagia, ketakutan dalam melakukan sesuatu karena takut salah, minder, dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah.
Dari ketiga pola asuh di atas tidak ada yang salah. Namun sebuah pola asuh orang tua dikatakan menyimpang apabila dilakukan diluar batas yang melanggar Hak Asasi Manusi (HAM). Di sini yang akan dikupas lebih dalam adalah bagaimana pola asuh otoriter yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya di rumah menjadi suatu hal yang berlebihan, sebab mampu melukai fisik sang anak dan bagaimana penilaian dalam kacamata sosiologi hukum.
Dalam kancah sosiologi, hal seperti ini merupakan salah satu bentuk disfungsionalitas yang terjadi di dalam keluarga. Sebagai orang tua, kerap kali menganggap bahwa mereka telah memiliki hak hidup sepenuhnya terhadap anak yang dilahirkannya. Sehingga memudahkan mereka untuk melakukan hal apa saja terhadap anak dan berdalih bahwa segala hal yang dilakukannya itu “demi kebaikan” anaknya juga.
Padahal hak hidup setiap manusia itu ditanggung dan menjadi legalitas setiap individu yang tidak boleh dipergunakan oleh orang lain sebab hak hidup ini berkaitan dengan HAM.
Sosiologi hukum berbeda dengan hukum yang secara empiris memberikan hukuman yang jelas dalam bentuk perdata maupun pidana. Namun peran sosiologi hukum di sini ialah berusaha menggali “quid facti” atau mengembalikan fakta-fakta sosial yang terselubung dari adanya sebuah penyimpangan.
Sosiologi hukum dipandang oleh ahli hukum dapat menghancurkan semua hukum sebagai norma dan asas yang mengatur fakta-fakta, sebagai suatu penilaian. Para ahli khawatir, kehadiran sosiologi dapat menghidupkan kembali penilaian baik-buruk (value judgement) dalam penyelidikan fakta sosial.
Sebagai contoh kasus yang cukup banyak terjadi di Indonesia, yakni kekerasan orang tua terhadap anak. Orang tua seringkali memiliki ekspetasi yang tinggi terhadap anaknya dan mengharuskan anaknya untuk mewujudkan ekspetasinya dengan cara apapun.
Misalnya anak dituntut untuk selalu menjadi juara kelas di sekolahnya dengan nilai yang harus stabil tidak boleh turun, jika turun maka akan diberikan punishment atau hukuman berupa pukulan, tamparan, pengurungan, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya dan berdalih bahwa itu pelatihan untuk menguatkan mental sang anak dan juga itu dilakukan demi kebaikan dan masa depan sang anak yang justru menghancurkan mental, fisik, serta psikis sang anak.
Jika kita memandangnya dengan menggunakan perspektif hukum, maka orang tua bisa saja dikenakan sanksi karena telah melanggar hukum dengan melakukan penganiayaan terhadap anak yang diatur khusus dalam Pasal 76C UU 35 tahun 2014 yang berbunyi: “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.”
Sementara, sanksi pidana bagi orang atau pelaku kekerasan/penganiayaan yang melanggar pasal di atas ditentukan dalam Pasal 80 UU 35 tahun 2014 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.
Lain halnya jika kita menggunakan perspektif sosiologi hukum. Orang tua yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak mayoritas memiliki motif dan tujuannya tersendiri.
Seperti yang dicontohkan di atas, terlihat bagaimana orang tua ingin sekali anaknya berprestasi dalam bidang akademik namun menggunakan cara didik atau pola asuh yang kurang baik dengan melakukan tindak kekerasan.
Kita bisa menganalisis terlebih dahulu, faktor apa yang menyebabkan orang tua mendidik anaknya menggunakan kekerasan? Bisa saja tertanam memori buruk sang ibu (orang tua) yang di masa silamnya diperlakukan serupa oleh orang tuanya sehingga secara tidak sadar ia menurunkannya kembali kepada sang anak.
Atau bisa juga ada keinginan orang tua yang tidak tercapai sewaktu sueusia anaknya, misalnya masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) favorit, selalu menjadi juara kelas, dan lain sebagainya. Sehingga menuntut anaknya untuk melanjutkan kegagalan cita-cita dari orang tuanya dengan memaksakan anak sesuai kehendaknya menggunakan kekerasan.
Kemungkinan lain yang dapat dijadikan sebagai fakta sosial, yakni adanya kemungkinan permasalahan pribadi yang dialami orang tua yang menyebabkan emosional orang tua tak terkendali sehingga anak dijadikan sebagai objek pelampiasannya karena sebagai anak tentu tidak akan berani melawan apa yang dilakukan oleh orang tua.
Inilah pentingnya penanaman moral dan sikap yang baik sedari kecil. Memori buruk yang didapatkan karena luka di masa lalu dan pola asuh otoriter yang mengandung kekerasan seharusnya dibiarkan sembuh terlebih dahulu dengan berusaha memaafkan tindakan represif berupa kekerasan dan ikhlas menerimanya sehingga tidak terjadi hal yang sama secara turun temurun pada anak, cucu, dan generasi berikutnya.
Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki apa yang sudah retak atau rusak. Yang salah justru jika kita terus menerus melazimkan hal tersebut.
Untuk memperbaiki pola otoriter yang menyimpang, orang tua bisa menerapkan pendidikan nilai dan norma melalui cara yang lebih manusiawi dibandingkan dengan cara kekerasan yang dapat merusak jiwa, mental, psikis, serta hati nurani.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Jember Prodi Sosiologi Angkatan 2019 yang sedang mengikuti Program Kemendikbud Pertukaran Mahasiswa di Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH).