Oleh: Cornelius Corniado Ginting, S.H.
PIRAMIDA.ID- Silicon Valley Bank (SVB) awalnya didirikan pada tahun 1983. Lembaga yang berbasis di Santa Clara California ini, menyediakan layanan perbankan dan mengambil simpanan untuk perusahaan rintisan Silicon Valley, firma modal ventura, dan kelas berat teknologi.
Berdasarkan Federal Reserve Statistical release dan Neraca unaudited 2022, Silicon Valley Bank (SVB) merupakan bank terbesar ke-16 di Amerika Serikat (US) dengan total aset sebesar USD 209.026 Juta (±Rp3.235 Triliun) dan total simpanan sebesar USD 173.109 Juta (±Rp2.679 Triliun). Angka yang sangat mirip dengan realisasi pendapatan negara Indonesia dalam APBN 2022 sebesar Rp2.626 Triliun.
Menariknya, besarnya aset dan simpanan SVB ternyata ditopang oleh hampir setengah populasi start-ups seperti perusahaan terkenal yang terdaftar sebagai pelanggan SVB termasuk Pinterest, ZipRecruiter, dan Shopify sejalan dengan fokus utama SVB, yaitu earlystages companies.
“SVB menawarkan layanan keuangan dan perbankan untuk membantu, saat Anda memanfaatkan peluang bisnis, meningkatkan modal, melindungi ekuitas, mengelola arus kas, dan mengakses pasar global,” demikian pernyataan SVB.
Mengapa SVB bisa gagal? Pertama, adanya perubahan rezim pengaturan perbankan di US pasca Global Financial Crisis 2008. Pada waktu itu, Barrack Obama menandatangani Dodd Frank Act yang memberikan pengaturan lebih strict kepada perbankan untuk memastikan penerapan prinsip prudential banking. Tetapi di tahun 2018 terjadi penyesuaian pengaturan di perbankan yang menjadikan bank-bank dengan aset di bawah USD 250 miliar menjadi lebih loose antara lain terkait pengelolaan aset, termasuk SVB.
Kedua, bank run. Terjadi penurunan dana simpanan SVB sebesar USD 30 miliar (Rp461 triliun) dari Maret s.d. Desember 2022. Penarikan dana nasabah yang terus menerus terjadi ini tidak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa start-ups mulai kehabisan nafas kemudian menarik dana segar miliknya di SVB untuk kegiatan operasional.
Ditambah, para deposan besar dari Venture Capital juga mulai khawatir dengan keberlangsungan SVB. 10 Maret 2023, simpanan SVB mengalami penurunan sebesar USD 2 miliar (Rp645 Triliun). SVB ran out of cash!
Ketiga, kenaikan agresif FFR mempengaruhi portofolio aset SVB yang 55%-nya didominasi oleh surat berharga. Ditambah, SVB hanya mencatat kredit sebesar 35% dari total aset. Kondisi di mana SVB menyalahi kodrat bank sebagai lembaga intermediasi dengan hanya mencatat 43% loan to deposit ratio, lebih rendah dari rasio peers sebesar 75%. Investasi SVB pada surat berharga yang besar ini seketika mengalami penurunan nilai dari USD 100 miliar (Rp1.536 triliun) menjadi USD 83 miliar (Rp1.275 triliun) setelah dilakukan perbandingan nilai bukunya dengan nilai wajar (mark to market).
Pada 8 Maret 2023, SVB menjual sebagian besar surat berharganya secara rugi sebesar Rp30.95 Triliun demi mendapatkan kas untuk memenuhi kebutuhan penarikan dana yang terus dilakukan oleh Nasabah. Ini menjadikan SVB sebagai bank gagal terbesar kedua di US setelah Lehman Brothers pada 2008 silam.
Respons Regulator Perbankan US
Untuk melindungi kepentingan para nasabah dengan nilai simpanan s.d. USD250.000 (Rp3,8 miliar), Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) – LPS-nya US mentransfer simpanan ini ke “Deposit Insurance National Bank of Santa Clara” (DINB). FDIC juga memastikan bahwa nasabah yang dijamin (insured depositors) dapat mengakses seluruh simpanannya paling lambat pada Senin, 13 Maret 2023 melalui DINB.
Grafik ini menunjukkan bahwa lebih dari 90% total simpanan SVB dimiliki oleh nasabah korporasi (start-ups, venture capital, dan sejenisnya) yang memiliki nilai di atas batas penjaminan FDIC – USD 250.000. Tak ayal, simpanan SVB yang dijamin oleh FDIC hanya 3%, jauh lebih rendah dari rata-rata indsustri sebesar 35%.
Lantas bagaimana nasib uninsured depositors sebanyak 37.000 akun dengan nilai simpanan lebih dari Rp2.319 Triliun ini? 90% nasabah SVB ini akan menerima pembayaran awal oleh FDIC namun diyakini hanya dapat meng-cover 30-50% dari total dananya. Pengembalian sisa simpanannya akan menunggu dari hasil likuidasi SVB selesai (jika masih terdapat sisa). Pada intinya, SVB tidak akan diselamatkan atau bail-out.
Ancaman Kondisi Pasar Keuangan Indonesia
Dampak ke perbankan Indonesia relatif hampir tidak ada mengingat karakteristik portofolio aset perbankan di Indonesia tidak ada yang sama seperti SVB dengan portofolio surat berharga sangat signifikan maupun start-ups sebagai klien utamanya. Ditambah, level permodalan perbankan nasional yang kuat sebesar 25,93% per Januari 2023. Dalam hal bank mengalami kesulitan likuiditas, banyak alternatif yang bisa ditempuh seperti interbank loan hingga Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) atau Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah (PLJPS) milik Bank Indonesia (BI) sebagai lender of the last resort (LoLR). LoLR ini ditujukan untuk membantu mengatasi mismatch yang disebabkan oleh risiko kredit atau pembiayaan, risiko manajemen, dan risiko pasar.
Dalam kondisi kegagalan bank, Indonesia juga telah memiliki Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang memiliki fungsi antara lain menjamim simpanan nasabah penyimpan dengan nilai maksimal Rp2 Miliar per nasabah per bank dan melakukan resolusi Bank, baik melalui metode Bank Penerima (Purchase & Assumptions), Bank Perantara (Bridge Bank), Penyertaan Modal Sementara, atau Likuidasi.
Lesson learnt
Terlepas dari terbatasnya dampak kegagalan SVB terhadap perbankan dan sistem keuangan di Indonesia, tidak ada alasan untuk tidak waspada. Kita tetap perlu mencermati dinamika kondisi pasar dan dunia, termasuk pergerakan FFR sebagai kiblat suku bunga karena berhubungan erat dengan pergerakan BI7DRR dan harga obligasi dalam negeri. Serta sentimen negative akibat kejatuhan SVB. Sehingga, pengelolaan treasuri perbankan juga harus semakin jeli membaca kondisi pasar secara forward looking di tengah kondisi yang penuh ketidakpastian.
Pada akhirnya, bank adalah bisnis yang berlandaskan trust, tidak ada satu pun bank di dunia ini yang fully liquid. Sehingga, tidak peduli seberapa besar atau kecil suatu bank, pengelolaan bisnis berbasis manajemen risiko dan tata kelola yang baik sangat diperlukan untuk memastikan bisnis yang sustainable dalam menjaga kepercayaan nasabah.(*)
Penulis merupakan Founder Pusat Advokasi dan Dalil Hukum (PADHI).