Lailaturrahmi*
PIRAMIDA.ID- Dalam serial drama terbaru Jepang Unsung Cinderella: Midori, the Hospital Pharmacists, seorang pasien di ruang perawatan rumah sakit yang mengalami henti jantung mendapat suntikan obat adrenalin. Namun jantung pasien tetap tidak berdetak walau dadanya telah ditekan (resusitasi) untuk membantu pernafasan.
Di tengah kesulitan itu, seorang apoteker di rumah sakit tersebut menemukan tablet obat beta-blocker di saku pasien, yang sebagiannya tampaknya telah diminum pasien. Obat ini berlawanan kerjanya dengan adrenalin. Apoteker ini menyarankan pada dokter untuk memberikan suntikan glukagon untuk melawan kerja beta-blocker yang telah diminum pasien. Hasilnya, jantung pasien kembali berdetak.
Namun, keluarga pasien justru hanya berterima kasih kepada dokter. Mereka tidak menyadari peran apoteker dalam menyelamatkan nyawa pasien.
Tak hanya di Jepang, umumnya masyarakat Indonesia juga mengidentikkan tenaga kesehatan dengan sosok dokter atau perawat, dua profesi yang dianggap sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan. Padahal, dengan kompetensinya di bidang penyediaan farmasi (obat, bahan obat, dan obat tradisional), profesi apoteker juga tak kalah penting dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan menyelamatkan nyawa pasien.
Baik pada masa normal maupun wabah, apoteker memberikan pelayanan kefarmasian yang tak tergantikan. Ketika rumah sakit dan puskesmas menutup layanan sementara akibat tenaga kesehatan yang terdampak COVID-19, apotek tetap memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap obat dan alat kesehatan.
Apoteker, tak sekadar menunggui apotek
Apoteker merupakan sebutan bagi profesi farmasi di Indonesia. Di negara-negara berbahasa Inggris disebut pharmacist, sementara di Belanda, Jerman, dan Belgia dinamakan apotheker.
Untuk menjadi apoteker, seseorang harus lulus sarjana (S1) program farmasi (per Oktober 2019 ada 264 program studi S1 Farmasi di Indonesia), ditambah dua semester pendidikan profesi apoteker dan mengucapkan sumpah profesi sebagai apoteker. Mereka baru bisa masuk ke dunia profesi apoteker setelah dinyatakan lulus dari Ujian Kompetensi Apoteker Indonesia (UKAI) yang diselenggarakan oleh Panitia Nasional UKAI.
Saat ini, ada sekitar 80.000 apoteker di Indonesia yang bekerja dalam berbagai bidang pekerjaan kefarmasian meliputi produksi, distribusi, dan pelayanan obat dan obat tradisional.
Di industri farmasi, apoteker umumnya bekerja dalam pengendalian mutu, pemastian mutu, dan produksi obat. Peran apoteker juga sangat dibutuhkan dalam penelitian dan pengembangan (R&D), seiring dengan ditemukannya obat-obatan baru bagi berbagai penyakit.
Dalam delapan tahun terakhir, misalnya, setidaknya 209 obat baru disetujui oleh Administrasi Obat dan Pangan (FDA) Amerika Serikat. Data obat baru ini menjadi acuan bagi produksi obat-obatan di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Obat-obatan yang diproduksi oleh industri farmasi Indonesia maupun obat impor didistribusikan oleh distributor atau Pedagang Besar Farmasi (PBF). Di Indonesia ada sekitar 2.000 PBF per Februari 2020. Setiap PBF setidaknya memiliki satu apoteker sebagai penanggung jawab. Pendistribusian obat harus dilakukan sesuai dengan cara distribusi obat yang baik (CDOB) agar produk sampai dalam kondisi yang baik, aman dan khasiatnya terjaga.
Obat-obat tertentu dan vaksin, misalnya, sangat sensitif terhadap perubahan suhu. Vaksin dan obat tersebut harus didistribusikan dalam wadah dingin, agar tidak rusak, dari tempat penyimpanan besar di kota hingga ke tempat layanan kesehatan terdekat pasien.
Tak hanya melayani resep obat
Di apotek, puskesmas, dan rumah sakit, apoteker tidak hanya melayani resep dan menyerahkan obat. Apoteker juga melakukan penelusuran riwayat penggunaan obat, evaluasi penggunaan obat, pemantauan terapi obat, pelayanan informasi obat, dan konseling.
Dalam memberikan pelayanan, apoteker kerap berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain seperti dokter, perawat, atau ahli gizi agar pengobatan yang diberikan aman dan efektif bagi pasien. Apoteker pun memberikan pelayanan informasi obat, serta konseling bagi pasien yang membutuhkan. Di rumah sakit, apoteker berperan menyiapkan obat kanker serta pencampuran obat suntik dan sediaan steril lainnya.
Selain memberikan pelayanan langsung kepada pasien, apoteker juga berperan dalam pengelolaan obat dan alat kesehatan. Tanpa ada apoteker yang bergerak di bidang pengelolaan, pelayanan kesehatan akan terkena imbasnya karena kekurangan stok obat, atau stok obat menumpuk sehingga kedaluwarsa.
Di Kementerian Kesehatan, apoteker terlibat dalam menyusun regulasi farmasi, mensupervisi perusahaan farmasi dan apotek, dan mengendalikan ketersediaan obat-obatan bagi masyarakat.
Di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), apoteker berperan dalam mengevaluasi obat, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan. Apoteker juga mengawasi obat yang beredar di pasar melalui audit rutin, pengujian sampel, dan monitoring efek samping obat dan obat tradisional. Apoteker juga berperan dalam mengawasi penggunaan narkotika dan psikotropika.
Apoteker juga berperan di BPJS Kesehatan, industri kosmetik, lembaga penelitian, universitas, hingga sebagai entrepreneur apotek. Ada banyak pekerjaan yang bisa dimasuki oleh apoteker. Peran apoteker di berbagai sektor ini saling berhubungan dalam mewujudkan ketersediaan sediaan farmasi dan pelayanan kefarmasian berkualitas bagi masyarakat.
Tantangan dan peluang apoteker
Ikatan Apoteker Indonesia menyatakan sekitar 800 apoteker positif COVID-19. Hal ini membuka mata publik bahwa apoteker juga merupakan salah satu profesi kesehatan yang terdampak COVID-19.
Tingginya risiko apoteker untuk terpapar COVID-19 mendorong penerapan inovasi pelayanan kefarmasian, seperti pelayanan farmasi jarak jauh (telepharmacy), tanpa tatap muka langsung.
Di Indonesia, baru-baru ini BPOM menerbitkan peraturan untuk mengawasi penjualan obat secara daring. Penerapan telepharmacy tidak terbatas pada penyerahan obat saja, tapi juga pada pemantauan penggunaan obat, konseling, bahkan sebagai alternatif solusi keterbatasan jumlah apoteker di suatu wilayah.
Meski Peraturan Menteri Kesehatan No 20 Tahun 2019 telah mengatur pelayanan kesehatan jarak jauh di Indonesia, perlu pedoman dan pelatihan bagi apoteker agar telepharmacy dapat diterapkan.
Indonesia juga menghadapi tantangan dalam memenuhi kebutuhan obat nasional. Sebagai sebuah bisnis, industri farmasi Indonesia memenuhi 70% kebutuhan obat dalam negeri. Namun, sekitar 90% bahan baku obat harus diimpor dari Cina dan India.
Sebagai negara dengan biodiversitas terkaya kedua setelah Brazil, Indonesia memiliki 1.645 spesies tanaman obat yang teridentifikasi sebagai tanaman obat. Namun, baru sekitar seperlimanya dari tanaman obat tersebut yang terdaftar di BPOM sebagai obat.
Dalam konteks menjawab tantangan COVID-19, Vaksin Merah Putih sedang dikembangkan oleh Konsorsium Vaksin COVID-19, yang diharapkan dapat diproduksi massal akhir 2021. Para apoteker akan berperan penting dalam produksi dan penjaminan kualitas vaksin ini.
Era disruptif dan tantangan global menuntut apoteker untuk tanggap terhadap berbagai isu kesehatan. Institusi pendidikan farmasi dan IAI berperan penting dalam mengembangkan profesi apoteker yang tidak hanya kompeten secara nasional, tapi juga mampu menghadapi tantangan global.
Dengan demikian, apoteker tidak lagi menjadi ‘pahlawan tak terlihat’ seperti potret yang ditampilkan pada drama serial Unsung Cinderella, tapi menjadi profesi yang disadari dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Penulis merupakan Lecturer, Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinis, Fakultas Farmasi, Universitas Andalas. Pertama kali dipublikasi untuk The Conversation.