Tommy Leonardus Sinaga*
PIRAMIDA.ID- Marhaenisme merupakan paham yang membela kaum-kaum tertindas atau paham yang menentang penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa.
Secara etimologi, marhaenisme diambil dari nama seorang petani yang bernama Mang Aen saat dijumpai Bung Karno pada tahun 1926-1927 di daerah Bandung, Jawa Barat. Di mana petani itu mempunyai lahan pertanian, cangkul, dan lainnya yang diolah sendiri tetapi hasilnya hanya cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya yang sangat sederhana.
Kondisi inilah yang kemudian memicu berbagai pertanyaan dalam benak Bung Karno dan akhirnya melahirkan berbagai dialektika pemikiran. Kepribadian yang lugu, bersahaja namun tetap memiliki semangat juang yang luar biasa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, nama petani “Mang Aen” kemudian menjadi inspirasi dan diabadikan dalam setiap rakyat Indonesia yang hidupnya tertindas oleh sistem kehidupan yang berlaku.
Nama “Mang Aen” kemudian menjadi marhaen. Kalau disederhanakan, marhaen adalah pemilik produksi kecil-kecilan yang tidak mempekerjakan orang lain dan hasil produksinya untuk kebutuhan sendiri.
Marhaenisme pada hakikatnya merupakan sebuah ideologi perjuangan yang terbentuk dari 3 nilai penting (versi Bung Karno), yakni Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Apabila marhaenisme dikembangkan maka akan melahirkan: sosio-nasionalisme menjadi nasionalisme, perikemanusiaan; sosio-demokrasi menjadi demokrasi, kedaulatan politik dan keadilan sosial
Pancasila lahir pada 1 Juni 1945 dan ditetapkan sebagai ideologi dasar negara Indonesia. Lahirnya Pancasila ini tak lepas dari peran penting oleh panitia kecil yang terdiri dari 9 orang (panitia Sembilan) di mana Soekarno juga ikut tergabung dalam kepanitiaan itu.
Dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan Indonesia (nasionalisme), Kemanusiaan (internasionalisme), Mufakat (demokrasi), Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan.
Akumulasi sari pemikiran itu kemudian disempurnakan menjadi Pancalisa.
Pancasila merupakan dasar dalam kehidupan bangsa Indonesia. Secara etimologi (asal usul kata) Pancasila terdiri dari dua suku kata, yakni Panca dan Sila yang berarti lima prinsip atau asas. Kelima sila itu, yakni
- Ketuhanan Yang Maha Esa;
- Kemanusiaan yang adil dan beradab;
- Persatuan Indonesia;
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari sekian banyaknya rakyat Indonesia mungkin hanya sedikit yang mengetahui bahwa akar dari Pancasila itu adalah marhaenisme – suatu ideologi yang mendahului Pancasila. Di masa penjajahan Belanda dulu, ideologi marhaenisme itulah yang lebih dikenal masyarakat karena pada saat itu, Pancasila belum ada.
Kemudian konsep ideologi itu diangkat kembali oleh Bung Karno dalam pidatonya di 1 Juni 1945 sewaktu menyampaikan Pancasila sebagai ideologi negara dalam sidang PPKI. Tetapi pada saat itu marhaenisme tidak diperkenalkannya; hanya saja dia memasukkan rumusan ideologi itu ke dalam ideologi Pancasila yang ditawarkannya dalam sidang tersebut, yaitu sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
Pada awalnya “Ketuhanan yang maha esa” belum lagi muncul. Itu baru muncul ketika ditampilkan di dalam Pancasila dan setelah dinyatakan bahwa marhaenisme itu identik dengan Pancasila barulah sila Ketuhanan tadi dimasukkan dalam ideologi marhaenisme.
Tetapi yang menjadi pertanyaan, kenapa dikatakan kedua ideologi tersebut identik sementara ideologi marhaenisme ada tiga sila dan Pancasila ada lima sila?
Kita kembali ke awal di mana pada saat Pancasila itu digagaskan. Bung Karno mengatakan, “Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalime-kebangsaan dan perikemanusiaan saya peras menjadi satu. Itulah yg dulu saya namakan sosionasionalisme. Selanjutnya demokrasi yang bukan demokrasi barat tetapi politiek-economische demokratie, yaitu politieke demokratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan saya peras menjadi satu dan saya namakan sosio-demokrasi.”
Pancasila merupakan sebuah ide dasar pembentukan masa depan negara, sebab itu Pancasila tidak akan berbenturan dengan globalisasi maupun modernisasi. Nilai yang berbenturan dengan Pancasila adalah budaya kekerasan dan budaya westernisasi (kebarat-baratan).
Kedua budaya tersebut dapat menjadi penghalang bagi modernisasi yang dicita-citakan para founding father negeri ini.
Berbicara korelasi ideologi interaktif antara Pancasila dengan marhaenisme, biarkanlah ideology itu mempertahankan jumlah silanya masing-masing. Maka dalam kedudukan seperti itu perlu digarisbawahi adanya perbedaan antar sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Beda yang terletak di antara kedua sila itu adalah pada letak aktualisasinya.
Sosio-nasionalisme lebih difokuskan kepada pembangunan bangsa dan untuk membentuk sikap mental yang nasionalis – terlebih lagi pada masa sekarang bangsa kita sedang mengalami krisis ideologi, maka sila sosio-nasionalisme yang terdapat dalam tubuh marhaenisme ini sangat diperlukan dan dituntut agar dihidupkan kembali di tengah masyarakat.
Sementara untuk sosio-demokrasi yang lebih ditekankan bagaimana mengantarkan bangsa ini untuk mencapai apa yang telah dicita-citakan oleh proklamator kita, yaitu menjadi Indonesia merdeka – terlebih lagi pada masa sekarang ini, di mana kita sedang menuju ke tahap bonus demografi, Revolusi Industri 4.0 dan menuju Indonesia emas. Maka dari itu kedua sila tadi bersifat dinamis harus mampu menjadi sila yang sensitifitas semua perkembangan bangsa.
Karenanya, menurut penulis, ideologi marhaenisme masih sangat relevan di zaman sekarang. Masih banyak kaum-kaum marhaen yang belum merdeka.
Hanya saja yang perlu dilakukan sekarang adalah perluasan ideologi marhaenisme tersebut diselaraskan dengan Pancasila agar bisa berkembang menjadi ideologi perjuangan yang canggih dan harus sesuai dengan nafas perkembangan zaman dan terlebih lagi dapat memerdekakan kaum-kaum marhaen.
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Simalungun. Aktif di Organisasi GMNI Cab. Pematangsiantar.
Editor: Red/Hen