Fauzul Iman*
PIRAMIDA.ID- Peristiwa pandemi COVID-19 yang belum kunjung padam ini masih dihadapkan dengan tradisi sosial yang mengakar di tengah masyarakat. Sebagian besar masyarakat Indonesia yang sangat kuat tradisi/ budaya kumpul mengalami persoalan serius terkait dengan penerapan protokol kesehatan.
Di sisi lain pengamalan religius masyarakat yang menganut aliran teologi tradisional cukup menggelayuti cara dan tindakan pemahaman mereka.
Dari sudut sosiologi, seperti digambarkan Emile Durkheim, dalam bukunya The Elementary Forms of religious Life, ide masyarakat merupakan ruh dari agama. Dalam konteks ini, komunitas yang di dalamnya sarat dengan keberagamaan menempati posisi penting dan suci.
Sudah dipastikan, demikian Durkheim, komunitas dengan segala dimensinya yang meliputi keberagamaan, tradisi, seni, hukum dan moralitas, akan selalu menjalani ritual keagamaan yang suci (sosiety as sacred).
Nilai suci komunitas makin terlihat kompleks jika dikaitkan dengan keyakinan teologi yang dianut oleh komunitas. Di sinilah terjadi konspirasi tak sengaja (unintended conspiration) untuk melakukan pengepungan alamiah terhadap siapapun pihak yang mengganggu keberlangsungan komunitas suci.
Bayangkan komunitas suci yang terbiasa membangun ritual kumpulan/riungan atas dasar rembukan sesama rasa dan silaturrahim. Kegiatan tahlilan, marhabanan, tadarusan, salat berjamaah dan lain-lain yang dipandang ritual suci, tidak mudah dianulir secara sekejap oleh karena adanya virus corona.
Ditambah dengan masih menggelayutnya aliran teologi tradisional yang dianut komunitas. Semua itu tantangan tersendiri yang membutuhkan kepiawaian dan kearifan komunikasi dari instansi berkepentingan.
Sikap dan keyakinan tradisional yang masih mengakar kuat di masyarakat akan memunculkan kembali diskusi langit yang amat panjang. Dalam diskursus teologi, diskusi langit mengitari dua aliran teologi Qadariyah dan Jabariah. Qadariyah merupakan aliran teologi yang memandang sebab kejadian yang timbul pada manusia karena dilakukan oleh manusia sendiri.
Tuhan tidak pernah intervensi. Manusia diberi otoritas akal yang mampu menentukan baik buruknya perbuatan. Kegagalan manusia dalam melakukan sesuatu bukan karena Tuhan tetapi kelalaian manusia yang tidak mampu berikhtiar berdasarkan akal sehatnya.
Berbeda dengan aliran Qadariyah, Jabariyah merupakan aliran tradisional yang memandang kejadian pada seseorang berasal dari Tuhan. Sukses atau tidaknya manusia dalam melakukan suatu kehidupan, Tuhan telah menentukan nasib manusia sebelum ia lahir.
Manusia, menurut aliran ini adalah wayang golek yang segala nasibnya ditentukan Tuhan. Manusia yang berada di atas pesawat yang canggih sekalipun, menurut aliran ini tidak akan mampu menolak bila Tuhan berkehendak menjatuhkan pesawat dimana manusia sendiri sebagai penumpang menjadi korbannya.
Pandangan ekstrem aliran Jabariyah yang dibawa oleh Jahm Ibnu Safwan ini, ditengahi oleh Muhammad An – Najar yang berpandangan moderat. Menurut An- Najar betul bahwa Tuhanlah yang menentukan seluruh skenario kehidupan umat manusia tetapi sebatas menciptakan.
Terwujud dan tidaknya, sebagaimana dikemukakan Harun Nasution dalam bukunya Teologi Islam: Aliran-Aliran dalam Sejarah dan Analisa Perbandingan, perbuatan manusia diberi daya (kasbu). Daya kasbu inilah yang menentukan otoritas akal manusia berperan memilih mana yang baik dan buruk.
Manusia tidak lagi menjadi wayang golek atau agen pasif yang terdiam oleh arus gelombang badai yang melabraknya.
Aliran moderat ini diadopsi Al-Baqilani murid Abu Hasan Al- Asya’ri pendiri aliran Asya’riyah. Dalam bukunya Maqalat al- Islamiyyin wa Ikhtilaf al- Mushallin, Asya’ri mengulas panjang lebar teori kasbu tersebut. Di Indonesia aliran teologi moderat ini dianut oleh NU, ormas terbesar, yang pengikutnya juga tinggal di kota dan sebagian besar tinggal di desa.
Dilihat dari deskripsi sosio-komunitas dan corak teologi masyarakat seperti tergambar di atas, protokol kesehatan yang dibuat untuk mengantisipasi penyebaran COVID-19 akan berhadapan dengan tradisi comunitas ritual dan teologi masyarakat yang bersangkutan.
Aturan social distancing/physical distancing dan aturan penggunaan masker yang selama ini dibuat pemerintah masih dilanggar oleh komunitas/masyarakat tersebut.
Masyarakat dengan teologi yang dianutnya berkeyakinan hadirnya virus corona diutus Tuhan untuk mengazab orang-orang jahat. Di mana pun dan kapan pun manusia tidak akan mampu menolak takdir kematian karena hadirnya virus corona merupakan takdir dari Tuhan.
Namun mereka berkeyakinan bagi hamba Tuhan yang patuh dan menjalankan perintah-Nya seperti shalat berjamaah dan zikir bersama, Tuhan pasti akan melindungi dari bahaya virus corona. Tradisi kumpul bersama dalam suasana membangun rasa silaturrahim dan tolong menolong sudah tertanam lama di masyarakat.
Mereka berkeyakinan interaksi ritual suci ini akan mendapatkan kasih sayang, pahala dan keselamatan dari Tuhan di dunia dan akhirat. Dibanding dengan orang-orang yang selalu kumpul di tempat maksiat/ kotor, menurut mereka, pasti akan diazab oleh virus corona tentara Tuhan.
Pandangan teologi ini memang tidak sesuai dengan realitas di lapangan karena yang korban virus corona tidak hanya orang jahat . Virus juga menyerang pada orang-orang yang baik. Dalam sejarah, sahabat Nabi yang bernama Abu Dzar terkenal orang yang sangat saleh juga meninggal diserang wabah/virus di saat menjalankan tugasnya sebagai gubernur.
Terlepas dari semua itu, yang jelas kondisi masyarakat seperti ini merupakan tantangan berat bagi protokol kesehatan pemerintah. Tidak mudah menganulir interaksi sosial ritual yang sudah mengakar kuat hanya dengan peraturan tertulis atau imbauan pengeras suara yang berbusa-busa.
Sejatinya ormas NU dengan para tokoh kharismatiknya –yang juga menganut teologi moderat Asya’riyah– mampu memberikan pencerahan teologisnya di tengah komunitas tersebut sehingga mereka mematuhi protokol kesehatan.
Upaya ini tidak semudah seperti membalikkan tangan karena selain tradisi ritual yang sangat kuat mengakar juga kemungkinan ada faktor lain seperti tingkat keawaman, kebutuhan ekonomi dan atau faktor keteladanan baik dari pimpinan/tokoh mereka maupun dari pembuat kebijakan itu sendiri.
Akan tetapi, setidaknya upaya pencerahan profetik kharismatik dari mereka dengan cara berketahapan, bukan tidak mustahil betapapun mengakar kuatnya tradisi ritual masyarakat dari perspektif lain bisa mengalami perubahan.
Bukankah para ulama sufitik dan kharismatik masa lalu mampu mengubah pola laku dan pola pemikiran masyarakat dari hiruk-pikuk keramaian, kegalauan dan kegelamoran ke pola laku “ketersendirian” (uzlah). Wallahu A’lam!.
Penulis merupakan Rektor UIN SMH Banten.